Nah, sama-sama ponsel, sama-sama keluaran terbaru, sama-sama hancur berkeping-keping. Bedanya dimana? Jelas, yang satu milik Mas Kevin, yang satunya lagi milik-Ku.
'Ku' disini lah yang membuat perbedaan. Kita sedih karena Ku, kita Bahagia karena Ku.
Memang kelihatannya enteng, namun penulis pun akan nangis berkeping-keping jika handphone keluaran terbaru-Ku sisa puing-puing.
Oke, terima faktanya, 'Ku' meninggalkan air mata yang entah kapan akan mengering. Namun durasi waktu tetesan air mata akan sangat bergantung kepada suasana hati yang muncul dari persepsi pribadi.
Semakin berharga sesuatu, semakin besar kemelekatan. Pun dengan hilangnya pulpen yang sudah macet-macet, ah... enteng rasanya...
Dengan demikian, setuju kah kita untuk mulai belajar menangani kemelekatan ini? Bukan melenyapkannya, karena pada dasarnya seseorang yang masih normal pasti akan sedih jika kehilangan sesuatu.
Namun, siapapun bisa mulai melatihnya, agar rasa kepemilikan ini dapat berkurang. Kuncinya adalah Kerelaan.
Memberikan sedekah kepada fakir miskin tanpa mengharapkan balasan adalah salah satu caranya. Namun, istilah 'ala kadar' nya sering disamakan dengan harga 'pulpen yang sudah macet-macet'.
Kendati disisi lain, kita juga tidak mungkin memberikan sedekah bilamana memberatkan. Walaupun demikian, masih banyak cara yang dapat digunakan untuk melatih kemelekatan ini.
Misalnya, membantu seseorang tanpa pamrih, menghargai hak orang lain, hingga hal yang lebih sederhana seperti memberikan kebahagiaan lewat seyuman. Mudah bukan?
Bagi penulis sendiri, acara "bersih-bersih lemari"Â seringkali juga dijadikan terapi untuk mengurangi rasa kemelekatan. Caranya adalah;