Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Terapi "Bersih-bersih Lemari", Rasanya Bahagia Banget, Deh!

31 Agustus 2020   11:10 Diperbarui: 31 Agustus 2020   11:01 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Acara Bersih-bersih Lemari (sumber: mirror.co.uk)

Kalau baju sudah menumpuk, tiba saatnya untuk acara "bersih-bersih lemari". Manfaatnya banyak, selain untuk membuang barang yang tidak lagi terpakai, bisa juga untuk disedekahkan ke orang lain.

Istri tercinta malah punya alasan yang lebih masuk akal lagi (atau tidak masuk akal),

"Kan kapasitas lemari terbatas, jadi kalau kita kosongkan sebagian, artinya sudah saatnya beli baru."

"Ya,ya,ya... terserah kamu lah."

Acara "bersih-bersih lemari" ini selalu menimbulkan pro dan kontra, penuh pertimbangan dan strategi, bagai memilih Menteri Kabinet Indonesia Maju berikutnya.

Yang pasti, yang pantas jadi sasaran reshuffle adalah baju yang sudah sobek, yang sudah luntur, yang sudah lama, yang sudah bosan, yang ukurannya sudah tidak pas, dan lain sebagainya.

Yang masih layak menjabat adalah baju yang baru dibeli, baju yang masih sering dipakai, baju yang ukurannya masih cocok, baju favorit, baju kenangan, dan ratusan alasan lainnya.

Akibatnya, bukannya berkurang, isi lemari malah semakin hari semakin bertambah. Itupun kegiatan 'bersih-bersih lemari', seringkali dilakukan dengan acara 'lepas-ambil'.

"Eh, ini baju mahal lho", diambil lagi, meskipun sudah tidak pas.

"Tapi mungkin si Anu cocok ya." Disimpan lagi, mau nyumbang kok pakai pilih-pilih ya!

Kegiatan ini sebenarnya kegiatan yang lumrah dilakukan, namun prosesnya tidak lumrah. Sebabnya adalah melepaskan milik kita adalah hal yang paling susah dilakukan.

Oleh sebab itu, setiap kali kehilangan sesuatu yang dirasa berharga, nangisnya bisa tujuh hari tujuh malam.

Mengapa rasa sedih karena kehilangan itu tidak enak rasanya? Karena ada faktor "Ku" disini. Baju-Ku, mobil-Ku, suami-Ku, istri-Ku, dan Ku-Ku lainnya.

Padahal kalau mau dipikir, pada akhirnya kita juga akan kehilangan. Tidak ada yang abadi di dunia ini.

Apakah handphone lama yang ditukar dengan merek terbaru akan menimbulkan rasa sedih? Tentu tidak, karena 'Ku' pada handphone lama, telah kehilangan jabatannya.

Pun halnya dengan suami orang yang direbut oleh wanita lain, sedih? Tidak, malah bawaannya gossip melulu. Tapi, kalau... tidak usah dilanjutkan lagi deh, 'amit-amit jabang bayi'.

Apakah sebenarnya 'Ku' dalam diri kita ini? 'Ku' dalam konteks sosiologi, adalah penanda batas antara diri dan orang lain yang didukung secara sosial. Sebagai bentuk kepemilikan, agar orang lain paham adanya kekuasaan yang dimiliki secara eksklusif terhadap objek 'Ku' oleh pemiliknya.

Namun dalam filsafat Buddhisme, kata 'Ku' ini memiliki istilah sebagai 'Anatta' atau 'Tanpa Inti'. Dengan berpedoman bahwa segala sesuatu tidak kekal adanya, 'Anatta' menjelaskan bahwa pada akhirnya 'Ku' adalah sebuah produk delusi.

Singkatnya, tidak ada kepemilikan yang sejati, bahkan tubuh dan jiwa itu sendiri. Yang ada hanyalah rasa kemelekatan terhadap rasa kepemilikan.

Tanpa disadari, rasa kemelekatan ini lah yang menimbulkan perasaan sakit, sedih, gelisah, amarah, dan lain sebagainya, jika rasa kemelakatan terusik. Sebagai contoh,

"Ponsel keluaran terbaru Mas Kevin hancur berkeping-keping" Apakah pernyataan ini membuat kamu sedih? Tidak... Apakah kita senang? Tergantung!

"Ponsel keluaran terbaru-Ku hancur berkeping-keping" Walah, tidak usah dibilang lagi, sakitnya itu lho disini!!!

Nah, sama-sama ponsel, sama-sama keluaran terbaru, sama-sama hancur berkeping-keping. Bedanya dimana? Jelas, yang satu milik Mas Kevin, yang satunya lagi milik-Ku.

'Ku' disini lah yang membuat perbedaan. Kita sedih karena Ku, kita Bahagia karena Ku.

Memang kelihatannya enteng, namun penulis pun akan nangis berkeping-keping jika handphone keluaran terbaru-Ku sisa puing-puing.

Oke, terima faktanya, 'Ku' meninggalkan air mata yang entah kapan akan mengering. Namun durasi waktu tetesan air mata akan sangat bergantung kepada suasana hati yang muncul dari persepsi pribadi.

Semakin berharga sesuatu, semakin besar kemelekatan. Pun dengan hilangnya pulpen yang sudah macet-macet, ah... enteng rasanya...

Dengan demikian, setuju kah kita untuk mulai belajar menangani kemelekatan ini? Bukan melenyapkannya, karena pada dasarnya seseorang yang masih normal pasti akan sedih jika kehilangan sesuatu.

Namun, siapapun bisa mulai melatihnya, agar rasa kepemilikan ini dapat berkurang. Kuncinya adalah Kerelaan.

Memberikan sedekah kepada fakir miskin tanpa mengharapkan balasan adalah salah satu caranya. Namun, istilah 'ala kadar' nya sering disamakan dengan harga 'pulpen yang sudah macet-macet'.

Kendati disisi lain, kita juga tidak mungkin memberikan sedekah bilamana memberatkan. Walaupun demikian, masih banyak cara yang dapat digunakan untuk melatih kemelekatan ini.

Misalnya, membantu seseorang tanpa pamrih, menghargai hak orang lain, hingga hal yang lebih sederhana seperti memberikan kebahagiaan lewat seyuman. Mudah bukan?

Bagi penulis sendiri, acara "bersih-bersih lemari" seringkali juga dijadikan terapi untuk mengurangi rasa kemelekatan. Caranya adalah;

Diantara tumpukan baju bekas yang sudah sobek, yang sudah luntur, yang sudah lama, yang sudah bosan, yang ukurannya sudah tidak pas, dan lain sebagainya, akan kusisipkan satu atau dua lembar baju kesukaanku.

Sederhana, tapi percayalah, rasanya... Bahagia Banget Deh.

Semoga Bermanfaat.

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun