Ganja resmi menjadi binaan Kementerian Pertanian (Kementan)Â dengan kategori komoditas tanaman obat.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo menetapkan hal tersebut melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 184/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian.
Surat tersebut sekaligus menggantikan Keputusan Menteri Pertanian nomor 141/KPTS/HK.150M/2/2019 dengan perubahan / penambahan / pengurangan jenis tanaman binaan sebelumnya.
Dengan demikian, maka Ganja telah berada pada lebel yang sama dengan 66 jenis tanaman obat lainnya yang juga masuk dalam daftar, seperti temu lawak, kolesum, hingga kina.
Di Indonesia, ganja sendiri masuk dalam jenis narkotika golongan I menurut Undang-Undang Nomer 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang selevel dengan golongan psikotropika lainnya, seperti kokain, opium, hingga heroin.
Polri sebagai institusi hukum Indonesia, menyikapi keputusan Mentan tersebut dengan pernyataan "Belum ada ketentuan (hukum) di Indonesia yang melegalkan ganja atau tanaman ganja sebagai obat."
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Krisno Siregar, mengatakan keputusan Menteri Pertanian itu tidak tepat dan bertentangan dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Terkait dengan pembinaan yang masuk dalam komoditas tanaman obat, Kresno juga mengatakan bahwa ganja dan seluruh hasil turunannya hanya diperkenankan untuk kepentingan penelitian dan pengetahuan, bukan kesehatan.
Hal yang sama juga dinilai oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Selain bernada sama dengan Polri yang menegaskan keputusan Mentan ini melawan Undang-Undang, Karo Humas BNN, Brigjen Sulistyo Pudjo mengatakan bahwa Kepmen tersebut harus segera dianulir.
Ini bukan kali pertama, ganja menjadi komoditas perdebatan di Indonesia. Sebelumnya pada bulan Februari 2020, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Rafli Kande sempat mengusulkan agar ganja dapat dilegalkan sebagai komoditas ekspor RI. Sontak pernyataan ini menimbulkan kontroversi. Â
Pantas saja isu ini akan selalu menuai kontroversi. Meskipun sebagian besar negara telah menempatkan ganja sebagai barang haram berbahaya, namun tidak sedikit juga negara yang menganggap barang ini sebagai bagian dari pengobatan resmi.
Daftar penyakit yang bisa disembuhkan dengan obat berbahan dasar ganja ini, antara lain adalah epilepsi, glaukoma, nyeri kronik, hingga HIV/AIDS. Akan tetapi, peredaran terbatas dan pengawasan dokter atas penyalahgunaan obat ini tetap dijalankan dengan ketat.
Namun demikian sikap tak kompromi penegak hukum di Indonesia bisa dimaklumi. Masalah yang terbesar, sistem proteksi di Indonesia dan kedisiplinan pengawasan masih relatif rendah dibandingkan dengan negara yang telah berani melegalkan ganja.
Untungnya sesaat setelah artikel ini dibuat, penulis menerima pesan pada lini masa. Isinya adalah Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo telah mencabut aturan yang ia buat ini.
Mentan menyatakan bahwa pihaknya akan mengkaji dan berkoordinasi dengan BNN, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
"Kepmentan 104/2020 tersebut sementara akan dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi berkoordinasi dengan stakeholder (pemangku kepentingan) terkait," ujar Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha.
Semoga Keputusan Menteri Pertanian atau pernyataan Tommy Nugraha ini, bukanlah "Slip of Tongue" (keseleo), seperti pernyataan Tifatul Sembiring menanggapi pernyataan teman sejawatnya, Rafli Kande, terkait usulan legalisasi ganja awal tahun ini. Â
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H