Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waspadai Arwah Gentayangan di Bulan Hantu 2020 yang Dimulai pada Hari Ini!

19 Agustus 2020   06:17 Diperbarui: 19 Agustus 2020   06:16 4509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Festival Hantu Kelaparan (sumber: squline.com)

Dalam penanggalan imlek, terdapat banyak hari-hari besar yang berasal dari tradisi Tiongkok Kuno. Selain imlek, ada Festival Chen Beng atau ziarah makam leluhur, Festival Musim Gugur yang ditandai dengan kue bulan, dan masih banyak lagi.

Namun diantara semuanya, ada sebuah festival yang paling menyeramkan, yang disebut sebagai Festival Hantu Kelaparan atau Festival Para Roh.

Apa sih makna festival ini dan bagaimana sejarahnya?

Masyarakat Tionghoa memercayai bahwa kematian membagi ruh menjadi dua bagian. Jiwa yang pertama melakukan perjalanan ke dunia leluhur, sementara jiwa yang satu masih berada di dunia manusia.

Hal inilah yang menjelaskan, mengapa setiap orang yang meninggal (yang disebut dengan leluhur) harus dikenang dalam bentuk plakat pada rumah dari keluarga yang ditinggalkan.

Gambar Plakat Leluhur (sumber: dhammamanggala.com)
Gambar Plakat Leluhur (sumber: dhammamanggala.com)
Plakat ini tidak saja berbentuk kenangan atau penghargaan, namun juga sebagai 'medium' bagi para leluhur yang sudah terlebih dulu meninggalkan kita.

Pada hari-hari perayaan tertentu, seringkali kita melihat keluarga Tionghoa mempersembahkan makanan dan minuman di hadapan altar. Semuanya memiliki makna agar arwah para leluhur tidak sampai kelaparan di alam sana.

Namun dalam situasi tertentu, jika para kerabat lupa untuk melakukan persembahan, atau sudah tidak lagi melakukan ritual karena alasan tertentu, maka konon jiwa dari mendiang akan keluar dari kubur sebagai hantu kelaparan.

Menurut legenda, Giam Lo Ong, Raja Neraka yang memahami situasi akan banyaknya pengabaian dari keluarga, kemudian menentukan sebuah waktu selama sebulan membebaskan seluruh hantu neraka untuk berlibur ke alam manusia dan memuaskan nafsu duniawi mereka.

Periode tersebut berada pada bulan ke-7 imlek, yang kemudian dikenal sebagai Bulan Hantu atau Festival Hantu Kelaparan. Bahasa Mandarinnya adalah Festival Zhongyuan.

Sejarah dan Legenda.

Asal-usul kepercayaan ini berasal dari abad ketiga, periode Dinasti Song. Waktu itu, ada seorang Bhiksu yang bernama Mu-lian. Konon suatu waktu, ibunya yang telah meninggal kembali menghantui dirinya sebagai hantu yang rakus dan berlumuran darah

Setelah melalui meditasi dan pencerahan, Mu-lian kemudian mengunjungi kuil dan mempersembahkan makanan, uang, dan segala hal yang dipercayakan dapat memuaskan arwah ibunya yang penasaran. Keberhasilan Mu-lian ini lah yang menjadi awal mula tradisi Bulan Hantu Kelaparan.

Ilustrasi Legenda Mu-lian (sumber: tionghoa.info)
Ilustrasi Legenda Mu-lian (sumber: tionghoa.info)
Namun ada juga versi yang berbeda.

Konon di zaman dahulu, setiap tanggal 15 bulan 7 imlek adalah waktu bagi pemerintahan kerajaan melaksanakan eksekusi kepada semua narapidana hukuman mati.

Acara eksekusi ini berlaku serentak di seluruh negeri, sehingga membuat tanggal ini menjadi keramat. Malam eksekusi menjadi sangat mencekam. Seluruh keluarga terpidana akan menangis meraung-raung di seluruh negeri.

Untuk menghantar arwah yang meninggal, para keluarga kemudian memasang altar dengan nama terhukum mati, lengkap dengan persembahan berupak makanan, uang-uangan kertas, dan perlengkapan lainnya yang dapat mereka bawa dalam perjalanan menuju ke alam baka.

Suasana yang mencekam ini kemudian membuat seluruh rakyat ketakutan didatangi oleh para arwah gentayangan. Untuk itu, maka mereka ikut-ikutan mempersembahkan sesuatu kepada arwah yang mati penasaran pada malam hari itu.

Kegiatan dilakukan secara masif setiap tahunnya di seluruh negeri, sehingga lama-kelamaan menjadi sebuah tradisi yang diwariskan secara turun-temuruan. Jadilah setiap tanggal 15 bulan 7 imlek, sebagai puncak hari Festival Bulan Hantu.

**

Bulan Hantu sangat memberikan pengaruh besar bagi perekonomian bagi masyarakat Tionghoa. Diyakini bahwa melakukan sesuatu yang besar, seperti perjalanan jauh, perkawinan, atau pengikatan kontrak dagang, adalah hal yang membawa sial.

Pun ada juga beberapa hal yang dianggap pantangan selama bulan hantu ini, seperti bersiul atau berteriak di malam hari, aktivitas di kolam atau laut, berjalan sendirian di malam hari, hingga tidak memungut benda apapun di jalan.

Sebuah penelitian di tahun 2015 oleh Universitas Nasional Singapura menyimpulkan bahwa selama bulan ini, pembelian perumahan terbukti menurun.

Untuk menolak bala, ritual-ritual khusus, berupa membakar 'Uang-uangan Kertas', memasang lampion merah di rumah, dan bersembahyang di kelenteng umum dilakukan sebagai langkah preventif.

Masyarakat Tionghoa percaya, bilamana ritual tidak dilakukan, maka hantu dari para arwah gentayangan akan mencari jalan untuk mencelakakan yang masih hidup.

Gambar Uang-uangan Kertas (sumber: trippingunicorn.com)
Gambar Uang-uangan Kertas (sumber: trippingunicorn.com)
Puncak dari ritual-ritual ini disebut disebut sebagai Sembahyang Rebutan atau Ulambana, yang dirayakan pada tanggal 15 bulan 7 imlek.

Sembahyang Rebutan biasanya ditandai dengan menaruh papan arwah / foto dari leluhur, menyiapkan persembahan aneka makanan, membakar dupa, bagi para keluarga yang sudah meninggal.

Kadang dupa, uang kertas, dan berbagai jenis makanan yang sama juga ditempatkan di sudut-sudut jalan yang dikhususkan bagi para arwah yang sudah tidak memiliki keluarga lagi.

Ilustrasi persembahan kepada arwah gentayangan di pinggir jalan (sumber: pride.kindness.sg)
Ilustrasi persembahan kepada arwah gentayangan di pinggir jalan (sumber: pride.kindness.sg)
Setelah ritual sembahyang selesai dilakukan, maka para keluarga akan kumpul bersama untuk acara makan malam, dan tidak lupa menyediakan satu atau dua buah kursi kosong bagi arwah sang buyut yang akan datang mengunjungi keluarga untuk makan malam bersama.

Di beberapa kota di Asia dengan mayoritas suku Tionghoa, seperti di Singapura, Penang-Malaysia, Hong Kong, dan Taiwan, festival ini kadang juga dirayakan secara besar-besaran, sehingga dapat menjadi atraksi turis.

Kadang kita menemukan deretan kursi kosong serta hiburan berupa layar tancap atau pementasan opera china di ruang publik.

ilustrasi kursi kosong bagi arwah leluhur (sumber: chineseamericanfamily.com)
ilustrasi kursi kosong bagi arwah leluhur (sumber: chineseamericanfamily.com)
Puncak acara akan ditandai dengan melepas lampion atau perahu kertas di sungai. Nama-nama para leluhur akan ditulis pada lampion atau perahu kertas, yang dimaksudkan agar mereka dapat tenang kembali ke alamnya.

Acara yang biasanya berlangsung dari siang hingga menjelang malam hari ini, dipersembahkan bagi arwah leluhur dan para hantu yang bergentayangan pada acara puncak Ulambana ini.

Ilustrasi Opera China (sumber: iexplore.com)
Ilustrasi Opera China (sumber: iexplore.com)
Perayaan Bulan Hantu di Indonesia tidak semeriah negara lain. Pada umumnya, masyarakat Tionghoa Indonesia hanya melakukan Sembahyang Rebutan di kelenteng atau Vihara.

Seluruh persembahan kepada leluhur tidak lagi dilakukan di rumah masing-masing, namun dikumpulkan menjadi satu di rumah-rumah ibadah Buddhisme maupun Taoisme.

Ilustrasi perayaan Sembahyang Rebutan di Kelenteng (sumber: tripsavvy.com)
Ilustrasi perayaan Sembahyang Rebutan di Kelenteng (sumber: tripsavvy.com)
Acara akan dipimpin oleh Bhiksu atau pemuka agama, berupa ritual pembacaan doa. Makanan yang berlimpah-ruah dan disusun tinggi di altar, kemudian akan dibagikan kepada seluruh peserta untuk mendatangkan rejeki.  

**

Pada tahun 2020, Bulan hantu akan dimulai pada hari ini tanggal 19.08.2020, dan puncak perayaan Festival adalah pada tanggal 2.09.2020 nanti.

Hal ini berarti bahwa di sekitar kita, akan banyak hantu-hantu penasaran yang berkeliaran. Hiiii... Seram!!!

Referensi: 1 2 3 4 5

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun