"Bertanah Air Satoe, Berbangsa Satoe, dan Berbahasa Satoe." Ini adalah isi Soempah Pemoeda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928.
Jika membaca tulisan ini, pikiran kita langsung melayang kepada zaman kolonial, dimana mungkin bapakmu belum lahir dan kakekmu masih remaja.
Secara umum ejaan ini dikenal dengan 'Ejaan Lama' atau Bahasa Indonesia yang digunakan pada saat Indonesia merdeka, dan bahkan lebih jauh dari itu.
Meskipun kelihatan Loetjoe dan Membingoengkan, namun tetap adalah bagian dari sejarah kita. Lucunya, hingga saat ini, penulis masih banyak menemukan pesan-pesan whatsapp dari beberapa kawan senior, yang tanpa sengadja masih menggoenakan ejaan lama ini.
Indonesia memang hebat, sepanjang pengetahuan penulis, Bahasa Indonesia memang terbukti bisa menyatukan bangsa ini.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura, ternyata masih banyak warganya yang kurang begitu menguasai bahasa Melayu yang disebut sebagai Bahasa Nasional.
Sebagai warga keturunan Tionghoa yang memiliki sejarah keluarga yang "kurang memahami Bahasa Indonesia yang baik dan benar," penulis merasa bersyukur dengan aturan ketat yang pernah dilakukan di zaman Soeharto mengenai aturan berbahasa.
Waktu kecil, bahasa Mandarin adalah bahasa 'daerah' yang lazim digunakan sebagai alat percakapan dalam rumah. Akhirnya, bahasa ini kemudian ikut-ikutan terbawa ke sekolah.
Penulis masih ingat, sewaktu duduk di bangku SMP, pernah 'diketok' oleh guru Bahasa Indonesia, karena kedapatan menggunakan bahasa Mandarin, pada saat sedang istirahat di kantin sekolah.
Mungkin ada sebagian pembaca yang menganggap bahwa tindakan represif sang guru adalah sebuah tindakan kebencian terhadap kesukuan, namun jangan lupa, pada saat bertemu dengan teman warga negara Malaysia yang masih terpatah-patah berbahasa Melayu, penulis merasakan sungguh harga 'ketokan' tersebut bernilai sangat tinggi.
Bagaimana mungkin seorang warga negara tidak fasih berbahasa nasional?
Bahasa adalah alat politik. Dalam hal ini, para pemimpin bangsa kita telah berhasil menjadikan bahasa sebagai propaganda dahsyat, agar persatuan negara kita dapat terciptakan.
Jauh sebelum Republik ini terbentuk, adalah bahasa Melayu Kuno yang dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Beberapa prasasti huruf Pallawa pada zaman kerajaan Sriwijaya telah membuktikan eksistensi bahasa Melayu Kuno di Nusantara sejak jaman dahulu kala.
Perkawinan bahasa Melayu Kuno dengan bahasa Latin, pertama kali diperkenalkan oleh Pigafetta, yang dicatat dalam bukunya Vocabuli de Questi Populi Mori (1522).
Buku ini dibuat berdasarkan bunyi fonetik dalam bahasa Melayu, yang diterjemahkan langsung dalam ejaan bahasa Latin, seperti 'Perempuan' ditulis 'Poran-poran', dan 'kening' sebagai 'cening.'
Penerjemahan ini terasa perlu, karena aktivitas niaga membuat bahasa Melayu berkembang dengan pesat diantara para pedagang. Lama-kelamaan, bahasa ini menjadi populer di daerah pelabuhan dan pusat perniagaan.
Sebagai contoh, para pedagang China berusaha memelajari bahasa ini agar aktivitas perdagangan dapat berjalan lancar. Mereka berhasil menyusun sebuah daftar berisikan 500 lema, yang kemudian dianggap sebagai leksikografi bahasa Cina-Melayu tertua. (Lukman Ali, Ikhtisar Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia, 1998).
Pun halnya dengan kehadiran orang-orang Arab dalam aktivitas perdagangan yang memengaruhi bahasa Melayu, khususnya dalam buku-buku sastra dan pelajaran agama Islam, sehingga terbentuklah huruf Arab-Melayu.
Pertengahan abad ke-17, bahasa Melayu kemudian menjadi semakin populer setelah Frederick de Houtman, Casper Witens, Sebastianus Dancakerst, dan Joanes Rouman, menuliskan kata-kata Melayu dalam ejaan bahasa Belanda, seperti: 'kardja'an' (kerajaan), elmoe (ilmu), dan 'kolouar' (keluar).
Setelah itu bahasa Melayu semakin berkembang di kalangan Belanda, hingga akhirnya pada abada ke-20, untuk kepentingan pendidikan bagi Kaum Ningrat Bumiputra, Belanda membuat pembakuan lewat 'Kitab Logat Melajoe' yang terdiri dari 10.130 kata-kata Melayu dalam ejaan baru, dengan prinsip ejaan bahasa Belanda. Â
Kitab ini disusun oleh Charles Adriaan Van Ophuijsen, seorang professor bahasa Melayu dari Universitas Leiden, Belanda dan dibantu oleh Engku Nawawi Soetan Mamo'er, dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim pada tahun 1901.
Dari kitab inilah, bahasa Indonesia bermula, setelah beberapa perwakilan pemuda di Nusantara berkumpul dalam Kongres Pemuda Kedua, atau yang kita kenal dengan Soempah Pemoeda, yang kemudian menjadi tonggak penting dalam proses Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ejaan bahasa Indonesia (EBI) terbaru yang kita gunakan sehari-hari baru saja terbentuk pada tahun 2015, yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50, Tahun 2015.
Lha, kok baru ya? Jangan terkejut dulu, karena disebutkan bahwa perkembangan pengetahuan, teknologi, dan seni menjadi latar belakang keluarnya keputusan ini.
Namun sebenarnya, perubahan tidak terjadi secara signifikan, karena hanya merupakan perbaikan dari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Ejaan van Ophuisjen yang dibentuk pada tahun 1901, dan digunakan dalam Soempah Pemoeda adalah merupakan ejaan pertama Bahasa Indonesia resmi, setelah itu, sebelum EBIÂ yang kita gunakan saat sekarang, tercatat ada 5 ejaan yang mengalami perubahan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Bahasa Indonesia, telah mengalami 7 kali tahap evolusi.
Setelah Ejaan van Ophuisjen, pada tanggal 19 Maret 1937, bahasa Indonesia resmi mendapatkan Ejaan Soewandi yang dibuat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomer 264/Bhg.A.
Disebut Ejaan Soewandi karena penyusunnya adalah Raden Soewandi yang kala itu juga menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Ejaan ini memiliki nama lain, yaitu Ejaan Republik.
Sebenarnya perubahan ini memiliki latar belakang unsur politik yang cukup kental, yaitu setelah merdeka, Indonesia ingin mengikis citra Belanda yang terwakili oleh Ejaan van Ophuisjen.
Ejaan Pembaharuan.
Ditetapkan pada tahun 1954, melalui Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Namun ejaan yang diusulkan oleh Prof. M. Yamin ini tidak jadi diresmikan. Pun pembaharuan yang disarankan hanya berupa standar fonem dan diftong yang minor.
Ejaan Melindo.
Kata Melindo berasal dari Melayu-Indonesia. Draf penyusunan yang dibuat pada tahun 1959 ini atas kerja sama Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia) atas dasar menyeragamkan ejaan yang berasal dari rumpun kebudayaan yang sama.
Namun karena konflik politik Indonesia dan Malaysia pada saat itu, maka sekali lagi, ejaan ini tidak jadi diberlakukan.
Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan).
Merupakan lanjutan dari Ejaan Melindo, dan panitianya juga masih dari dua negara yang dibentuk pada tahun 1967. Ejaan LBK inilah yang menjadi cikal bakal Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Yang paling menyolok dari ejaan ini dibandingkan dengan ejaan-ejaan sebelumnya adalah penggunaan 1 vokal saja yang menggantikan kata 'oe'Â menjadi 'u'Â dan serapan bahasa asing seperti 'extra (ekstra)' dan 'qalb (kalbu).'
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Nah, bagi yang mulai belajar menulis di atas tahun 1972, maka anda tidak perlu meniroe-niroe gaya Belanda. EYD yang kita gunakan saat ini adalah yang paling awet, sebelum disempurnakan dengan EBI pada tahun 2015.
Selain itu, menurut banyak pengamat, EYD juga merupakan ejaan yang paling lengkap dalam mengatur kaidah penulisan Bahasa Indonesia, termasuk bahasa serapan, tanda baca, pemakaian kata, penggunaan huruf kapital, huruf cetak miring, dan lain sebagainya.
Namun, ejaan yang diresmikan oleh presiden Soeharto sejak 16 Agustus 1972 ini sempat membuat seluruh pihak dari Sabang hingga Merauke kalang kabut. Bayangkan ejaan yang berubah drastis ini membuat banyak orang harus memelajari ulang dan menyesuaikan diri dengan tatanan bahasa baru yang masih terasa asing.
Namun namanya juga manusia yang suka menghubung-hubungkan kebijakan dengan politik. Salah satunya berasal dari Benedict Anderson, seorang pakar politik dunia dari Amerika Serikat, yang sangat anti-Soeharto.
Ia mengatakan bahwa EYD adalah bentuk dari pemerintahan Orde Baru untuk menghapus 'peradaban' Soekarno dengan gaya bahasa yang betul-betul baru. Dengan demikian seluruh literasi di zaman Soekarno akan terkikis secara perlahan dengan tidak ada lagi kata 'djakarta, tjahaya, achirnya, atau njai.'Â
Bahasa memang unik, dengan perkembangan zaman, akan terasa perlu untuk diadakan perubahan atau penambahan. Fungsinya pun bermacam-macam, mulai dari kebanggaan bangsa, alat kampanye, hingga gerakan-gerakan catur politik.
Hari ini Ejaan Yang Disempurnakan genap berusia 45 Tahun. Marilah kita menjunjung tinggi Bahasa Indonesia dan berharap pada usia Indonesia yang ke-75 ini, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa resmi Masyarakat Ekonomi Asean. (MEA).
Jika itu terjadi, maka negara-negara Asia Tenggara akan mewarisi keunikan Bahasa Indonesia yang memiliki 91.000 kosa kata dan strategi gramatik untuk menciptakan kosa kata baru, seperti kata 'Kenthir' ciptaan Prof. Felix Tani, yang hanya ada di Kompasiana.
Tidak percaya? Coba saja cari di Gugel!
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H