Kata Melindo berasal dari Melayu-Indonesia. Draf penyusunan yang dibuat pada tahun 1959 ini atas kerja sama Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia) atas dasar menyeragamkan ejaan yang berasal dari rumpun kebudayaan yang sama.
Namun karena konflik politik Indonesia dan Malaysia pada saat itu, maka sekali lagi, ejaan ini tidak jadi diberlakukan.
Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan).
Merupakan lanjutan dari Ejaan Melindo, dan panitianya juga masih dari dua negara yang dibentuk pada tahun 1967. Ejaan LBK inilah yang menjadi cikal bakal Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Yang paling menyolok dari ejaan ini dibandingkan dengan ejaan-ejaan sebelumnya adalah penggunaan 1 vokal saja yang menggantikan kata 'oe'Â menjadi 'u'Â dan serapan bahasa asing seperti 'extra (ekstra)' dan 'qalb (kalbu).'
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Nah, bagi yang mulai belajar menulis di atas tahun 1972, maka anda tidak perlu meniroe-niroe gaya Belanda. EYD yang kita gunakan saat ini adalah yang paling awet, sebelum disempurnakan dengan EBI pada tahun 2015.
Selain itu, menurut banyak pengamat, EYD juga merupakan ejaan yang paling lengkap dalam mengatur kaidah penulisan Bahasa Indonesia, termasuk bahasa serapan, tanda baca, pemakaian kata, penggunaan huruf kapital, huruf cetak miring, dan lain sebagainya.
Namun, ejaan yang diresmikan oleh presiden Soeharto sejak 16 Agustus 1972 ini sempat membuat seluruh pihak dari Sabang hingga Merauke kalang kabut. Bayangkan ejaan yang berubah drastis ini membuat banyak orang harus memelajari ulang dan menyesuaikan diri dengan tatanan bahasa baru yang masih terasa asing.
Namun namanya juga manusia yang suka menghubung-hubungkan kebijakan dengan politik. Salah satunya berasal dari Benedict Anderson, seorang pakar politik dunia dari Amerika Serikat, yang sangat anti-Soeharto.
Ia mengatakan bahwa EYD adalah bentuk dari pemerintahan Orde Baru untuk menghapus 'peradaban' Soekarno dengan gaya bahasa yang betul-betul baru. Dengan demikian seluruh literasi di zaman Soekarno akan terkikis secara perlahan dengan tidak ada lagi kata 'djakarta, tjahaya, achirnya, atau njai.'Â