Ejaan bahasa Indonesia (EBI) terbaru yang kita gunakan sehari-hari baru saja terbentuk pada tahun 2015, yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50, Tahun 2015.
Lha, kok baru ya? Jangan terkejut dulu, karena disebutkan bahwa perkembangan pengetahuan, teknologi, dan seni menjadi latar belakang keluarnya keputusan ini.
Namun sebenarnya, perubahan tidak terjadi secara signifikan, karena hanya merupakan perbaikan dari Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Ejaan van Ophuisjen yang dibentuk pada tahun 1901, dan digunakan dalam Soempah Pemoeda adalah merupakan ejaan pertama Bahasa Indonesia resmi, setelah itu, sebelum EBIÂ yang kita gunakan saat sekarang, tercatat ada 5 ejaan yang mengalami perubahan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Bahasa Indonesia, telah mengalami 7 kali tahap evolusi.
Setelah Ejaan van Ophuisjen, pada tanggal 19 Maret 1937, bahasa Indonesia resmi mendapatkan Ejaan Soewandi yang dibuat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomer 264/Bhg.A.
Disebut Ejaan Soewandi karena penyusunnya adalah Raden Soewandi yang kala itu juga menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Ejaan ini memiliki nama lain, yaitu Ejaan Republik.
Sebenarnya perubahan ini memiliki latar belakang unsur politik yang cukup kental, yaitu setelah merdeka, Indonesia ingin mengikis citra Belanda yang terwakili oleh Ejaan van Ophuisjen.
Ejaan Pembaharuan.
Ditetapkan pada tahun 1954, melalui Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Namun ejaan yang diusulkan oleh Prof. M. Yamin ini tidak jadi diresmikan. Pun pembaharuan yang disarankan hanya berupa standar fonem dan diftong yang minor.
Ejaan Melindo.