Bahasa adalah alat politik. Dalam hal ini, para pemimpin bangsa kita telah berhasil menjadikan bahasa sebagai propaganda dahsyat, agar persatuan negara kita dapat terciptakan.
Jauh sebelum Republik ini terbentuk, adalah bahasa Melayu Kuno yang dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Beberapa prasasti huruf Pallawa pada zaman kerajaan Sriwijaya telah membuktikan eksistensi bahasa Melayu Kuno di Nusantara sejak jaman dahulu kala.
Perkawinan bahasa Melayu Kuno dengan bahasa Latin, pertama kali diperkenalkan oleh Pigafetta, yang dicatat dalam bukunya Vocabuli de Questi Populi Mori (1522).
Buku ini dibuat berdasarkan bunyi fonetik dalam bahasa Melayu, yang diterjemahkan langsung dalam ejaan bahasa Latin, seperti 'Perempuan' ditulis 'Poran-poran', dan 'kening' sebagai 'cening.'
Penerjemahan ini terasa perlu, karena aktivitas niaga membuat bahasa Melayu berkembang dengan pesat diantara para pedagang. Lama-kelamaan, bahasa ini menjadi populer di daerah pelabuhan dan pusat perniagaan.
Sebagai contoh, para pedagang China berusaha memelajari bahasa ini agar aktivitas perdagangan dapat berjalan lancar. Mereka berhasil menyusun sebuah daftar berisikan 500 lema, yang kemudian dianggap sebagai leksikografi bahasa Cina-Melayu tertua. (Lukman Ali, Ikhtisar Sejarah Ejaan Bahasa Indonesia, 1998).
Pun halnya dengan kehadiran orang-orang Arab dalam aktivitas perdagangan yang memengaruhi bahasa Melayu, khususnya dalam buku-buku sastra dan pelajaran agama Islam, sehingga terbentuklah huruf Arab-Melayu.
Pertengahan abad ke-17, bahasa Melayu kemudian menjadi semakin populer setelah Frederick de Houtman, Casper Witens, Sebastianus Dancakerst, dan Joanes Rouman, menuliskan kata-kata Melayu dalam ejaan bahasa Belanda, seperti: 'kardja'an' (kerajaan), elmoe (ilmu), dan 'kolouar' (keluar).
Setelah itu bahasa Melayu semakin berkembang di kalangan Belanda, hingga akhirnya pada abada ke-20, untuk kepentingan pendidikan bagi Kaum Ningrat Bumiputra, Belanda membuat pembakuan lewat 'Kitab Logat Melajoe' yang terdiri dari 10.130 kata-kata Melayu dalam ejaan baru, dengan prinsip ejaan bahasa Belanda. Â
Kitab ini disusun oleh Charles Adriaan Van Ophuijsen, seorang professor bahasa Melayu dari Universitas Leiden, Belanda dan dibantu oleh Engku Nawawi Soetan Mamo'er, dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim pada tahun 1901.
Dari kitab inilah, bahasa Indonesia bermula, setelah beberapa perwakilan pemuda di Nusantara berkumpul dalam Kongres Pemuda Kedua, atau yang kita kenal dengan Soempah Pemoeda, yang kemudian menjadi tonggak penting dalam proses Kemerdekaan Republik Indonesia.