Mayor di Zaman Kolonial Belanda adalah sebuah gelar yang diberikan oleh Ratu Belanda kepada seorang  tokoh masyarakat Tionghoa. Gelar ini bukan hanya sekedar penghargaan saja, namun juga wewenang bagi dirinya untuk mengatur warganya.
Gubernur Hindia Belanda sebagai penguasa di zaman kolonial memiliki aturan tertulis dengan Mayor ini. Mereka tidak boleh asal mengintervensi keputusan dari sang Mayor.
Selain sang tokoh yang terpilih, biasanya sudah memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat, anugrah yang diberikan juga disertai dengan sebuah tongkat komando yang didapatkan langsung dari Ratu Belanda, melalui sebuah acara resmi.
Keberadaan para Mayor ini juga memiliki hubungan 'simbiosis mutualisme' dengan pihak Belanda. Di satu sisi, mereka bertindak sebagai kaki tangan dalam memungut pajak, dan di sisi lain, para Mayor yang memiliki kuasa penuh atas urusan adminsitratif perdagangan setempat, seringkali diuntungkan dengan berbagai fasilitas lebih dari pemerintah Hindia Belanda.Â
Pun halnya di kota Makassar, adalah seorang tokoh yang mungkin tidak banyak diketahui, bernama Mayor Thoeng.
Pria yang bernama resmi Thoeng Liong Hoei ini berasal dari dari Provinsi Hokkian, China. Konon kabarnya, keluarganya masih memiliki garis keturunan langsung dari keluarga kerajaan Dinasti Shang (1600-1046SM).
Sebagai Mayor pertama di Kota Makassar, Thoeng sangat bangga dengan kekuasaan yang diberikan langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Tak disangka, pada saat Jepang menduduki Indonesia dan meringsek masuk ke Kota Makassar, Mayor Thoeng menolak untuk dijadikan kaki tangan penjajah Jepang.
Sebagai akibatnya, tentara Jepang, Tokketai membunuh sang Mayor dan keluarganya. Untungnya istri dan beberapa anaknya selamat karena masih sempat melarikan diri ke daerah Barombong.
Tidak banyak literasi yang menceritakan mengenai sepak terjang sang Mayor ini, namun salah satu kisahnya sudah pernah dimuat di majalah Warta Inti Sul-sel Edisi 2/2016, yang ditulis oleh M. Dahlan Abubakar, wartawan senior.
Warta Inti Sul-sel sebuah majalah komunitas untuk PD INTI (Indonesia Tionghoa) Sul-sel. Penulis yang tergabung dalam tim redaksi, pernah berkesempatan untuk menulusuri jejak-jejak peninggalannya yang dikutip dari wawancara eksklusif langsung dengan cucu sang Mayor yang masih hidup.
Freddy Thoeng Cucu Sang Mayor.
Dua kali tim penulis mengitari jalanan di sekitar daerah pecinan Kota Makassar, antara Jalan Sulawesi dan Jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo (dulunya jalan Irian), untuk menemukan rumah tua di jalan Bacan nomer 5 yang kini dilabeli Bengkel Utama.
Freddy Thoeng namanya, orang yang dicari sedang tidak ada. Seseorang yang kemudian diketahui adiknya, memberi nomor ponsel Freddy.
Rumah tersebut hanya memiliki sedikit perubahan. Dulu, bangunannya terbuat dari kayu bayam dan pintunya sudah rusak, sehingga banyak yang diganti. Sekarang sudah menggunakan pintu besi. Â Rumah ini direnovasi sedikit demi sedikit sekitar tahun 1980-an, setelah ayah Freddy meninggal dunia.
Tak lama kemduian, seseorang dengan postur tinggi, kurus, dan mengenakan kemeja lengan panjang, muncul melewati ruang depan bengkel yang memang terbuka. Sejenak dia mencari seseorang yang telah mengontaknya beberapa menit sebelumnya.
"Oh Iya, Pak Freddy, saya yang mengontak tadi,'' ujar tim WARTA INTI sambil berdiri menyalaminya. Freddy kemudian mengajak ke ruang sebelah yang agak tertutup dan berpendingin dan wawancara pun berlangsung santai dan menyenangkan.
Mayor Thoeng memiliki sepuluh orang anak. Delapan putra dan dua putri. Anaknya semua sudah meninggal. Anak Mayor Thoeng yang terakhir meninggal bernama Fie Sengke.
Juga ada ayah Harry Kumala, yakni Thoeng Tiong Tjoang. Harry Kumala kini menjabat Wakil Ketua Yayasan Marga Thoeng di Jl. Sulawesi yang bergerak pada kegiatan mengatur upacara sembahyang para leluhur.
"Kalau anggota marga Thoeng di Sulsel itu ribuan banyaknya. Mereka datang sejak 150 tahun lalu ke Sulawesi Selatan,'' kata ayah empat orang anak ini.
Marga Thoeng ini berasal dari provinsi Hokkian, China dan bergabung ke dalam Yayasan Sapta Mulia yang berlokasi di Jl. Sangir. Yang duduk sebagai pengurus di Yayasan ini kebanyakan Marga Thoeng.
Mayor Thoeng, kata Freddy, sedikitnya memiliki 60 cucu, namun di Makassar hanya tidak sampai 10 orang saja. Freddy anak kedua dari 7 bersaudara. Dua dari saudara-saudaranya sudah meninggal dunia.Â
Tidak terlalu banyak yang dikisahkan ayahnya tentang Kakek Mayor Thoeng. Kebanyakan hanya berkaitan dengan kegiatan bisnis sang kakek yang membuatnya memiliki hubungan erat dengan beberapa sesepuh raja di Sulawesi Selatan, seperti Raja Bone, Raja Gowa, dan Keluarga Pangeran Diponegoro.
Memeringati kepergian Mayor Thoeng, kalangan keluarga masih kerap melaksanakan upacara sembahyang. Namun, sejak ayah Freddy (Benyamin Thoenger) meninggal dunia tahun 1979, peringatan itu tidak pernah lagi dilakukan.Â
Jika di setiap nama warga keturunan Tionghoa ada nama Thoeng dan akar kata turunannya, kata Freddy, dipastikan kebanyakan masih ada hubungan dengan keturunan kakeknya dulu.
"Saya tidak berani mengatakan 100%, namun kira-kira 90% ada hubungan,'' kata Freddy.
Nama-nama itu bisa ditandai dengan kata Thoeng, Thoengka (Tungka), Edenton, Tungadi, Tumewa, dan Tunggeleng. Nama-nama ini diperkirakan berasal dari satu rumpun keturunan marga.
"Semua marga Thoeng di Makassar ini memiliki hubungan kekeluargaan. Mereka itu dari satu cabang dan yang lainnya sebagai rantingnya," ungkap sang cucu.
Freddy tidak tahu perihal perhatian pemerintah terhadap jasa kakeknya dulu. Keluarga Thoeng sendiri tidak tertarik mempersoalkannya, kecuali jika pemerintah sendiri yang menilai apakah sosok almarhum dianggap berjasa terhadap bangsa dan negara. Kebanyakan keluarga Thoeng lebih sibuk mengurus usahanya masing-masing.
Namun ada juga marga Thoeng yang memperoleh bintang veteran, yakni Thoeng Boen Tjiang (Musa Edenton) nomor 17.063.953. Thoeng Wan Ting (Fatimah) nomor Veteran 17.039.495/ 31 Juli 1982, Thoeng Tiong Too (Sonny Tunru)  17.038.836/ 31 Juli 1982, dan Thung Kan Sang dengan nomor Veteran 17.038.722/ 31 Agustus 1989.
Menurut Freddy, dulu para orangtua Tionghoa saling membantu dalam hal perjuangan, tetapi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak berani terang-terangan.
"Perjuangan mereka misalnya menyembunyikan para pejuang indonesia di rumah dagang warga Tionghoa. Termasuk saat para pejuang Indonesia melakukan pertemuan-pertemuan tertutup."
Yang Freddy dengar, keluarga Thoeng saat itu menjadi target operasi Jepang, karena marga ini jelas mengikhrarkan perlawanan terhadap Jepang, setelah sang Mayor terbunuh.
Informasi yang diperoleh Freddy, Mayor Thoeng itu ditembak oleh Jepang di sekitar jembatan kembar Sungguminasa, Gowa, sekarang. Jenazahnya ditemukan di tempat itu setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu.
Makam Mayor Thoeng ada di Bolangi Kabupaten Gowa, setelah dipindahkan dari Batujangang yang kini sudah menjadi Kantor Gubernur Sulsel, pada tahun 1984.
"Di Bolangi itu ada dua kuburan yang paling besar, salah satu di antaranya adalah makam Mayor Thoeng,'' kunci Freddy.
Kharismatik, tegas, itulah kesan pertama tim penulis saat melihat langsung lukisan sang Mayor berukuran 3x1 meter ini.  Sulit membayangkan ia tewas karena menolak bekerja sama dengan tentara Jepang.  Lebih sulit lagi membayangkan saat ia tak dikenang sebagai tokoh di Makassar.
"Barangkali karena pemerintah di sana lebih peduli. Sebab, pemberian Mayor itu, tak lepas dari keluarga kerajaan di sana,"Â ucap Freddy.
Keturunan Marga Thoeng di Makassar.
Bisa dibilang Marga Thoeng banyak berjasa di Makassar. Selain keturunan Mayor Thoeng, adalagi keluarga Thoeng lain yang berjasa. Keluarga ini berjasa menyiarkan agama islam di Makassar. Â Namanya, Thoen Chen Ting atau terkenal dengan sebutan Haji Baba Guru.
Putranya bernama Thoeng Tian Kiem atau Haji Faisal Thung. Â Dia adalah seorang pengelola pertama Stadion Mattoangin Makassar, sekaligus pendiri dan ketua pertama Pengurus Perhimpunan Islam Tionghoa tahun 1970-an. Tidak hanya itu, Faishal Thung juga termasuk salah seorang pengurus Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 1970-an.
"Sejak Indonesia di bawah era Soeharto bapak mengganti namanya menjadi Haji Faisal Thung," kata cucu perempuan Thoeng Tian Kim, Lusie Faisal Thung.Â
"Kakek saya, bisa dibilang warga keturunan penganut agama Islam pertama di Makassar. Dahulu, sehari-harinya ia mengajar mengaji di Jl Muchtar Luthfi yang terkenal dengan kampung Maluku," ungkapnya.
Paul Tan yang masih keluarga jauh Haji Baba Guru mengatakan, Marga Thoeng tidak hanya menyebar di Makassar.  Haji Baba Guru misalnya, ia menyebutkan, tiba pertama kali di Kabupaten Pangkep.
"Mereka menyerap Agama Islam di sana, lalu menyebarkannya ke Makassar saat ada aturan Belanda yang mewajibkan setiap pendatang ditempatkan di utara kota Makassar," katanya.
Tentu masih banyak keturunan Thoeng yang lain di Makassar ini, yang tidak terlacak lagi.  Kalau mau melihat langsung silsilah keluarga Thoeng, silakan mampir ke Yayasan atau klenteng marga Thoeng di Jalan Sulawesi. (MDA)
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H