Tahu ngga bedanya remaja zaman kolonial dan milenial itu apa? Yang era kolonial pasti pernah bersinggungan dengan karya literasi seorang pujangga terbesar di zamannya, yaitu Enny Arrow.
Bagi milenial, khususnya yang baru belajar ingusan, Enny Arrow itu adalah novelis esek-esek yang paling produktif di zaman bapak kamu. Jadi setelah selesai membaca artikel ini, boleh tuh minta ke bapak kamu, siapa tahu saja dia masih menyimpan satu atau dua buku ini.
Selesai sekolah, bapakmu pergi ke warung rokok dan membeli sebotol air soda. Sambil melepas dahaga, ia membuka-buka buku TTS sambil celengak-celenguk menunggu warung sepi, "bang ada stensilan gak?"
Buku ini biasanya dibaca pada malam hari, di saat semua orang sudah terlelap, atau diselipkan di buku pelajaran sekolah supaya nenek kamu terkecoh. Biasanya juga dibawa ke sekolah dan dibaca di pojokan bersama dengan om-om yang baru belajar merokok.
Beginilah sekelumit kisah bapakmu dengan stensilan Enny Arrownya. Hal ini juga dibenarkan oleh sebuah survei yang pernah dilakukan oleh majalah Men's Health pada tahun 2003.
Survei yang berisi pertanyaan, "darimanakah sumber pengetahuan mereka tentang seks?" Hasilnya sebanyak 17.2% yang menjawab dari karya Enny Arrow. Tentunya, yang disurvei rata-rata remaja seusia bapakmu.
Pasti pembaca bingung, di zaman orde baru yang terkenal ketat, kok bisa ya, masih ada saja karya esek-esek yang lolos sensor? Masalahnya, siapa sebenarnya Enny Arrow pun tidak diketahui oleh pemerintah Orde Baru.
Diambil dari sumber, Enny Arrow adalah nama pena dari seorang wanita yang bernama Enny Sukaesih Probowidagdo, yang lahir di Hambalang, Bogor pada tahun 1924 dan meninggal di tahun 1995.
Karirnya sebagai jurnalis lahir di saat Republik ini belum terbentuk. Ia sempat direkrut menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa revolusi kemerdekaan, Eni bekerja di harian Republiken dan mewartakan pertempuran rakyat melawan penjajah di sekitar Bekasi.
Peristiwa G30S di tahun 1965, membuat suasana politik menjadi tidak kondusif. Hal ini yang kemudian membuat Eni berkelana ke Filipina, Hong Kong, sebelum akhirnya menetap di kota Seattle, negara bagian Washington, Amerika Serikat pada bulan April 1967.
Gaya jurnalis Eni banyak terpengaruh oleh gaya kreatif Steinbeck di negeri ini. Ia penah menghasilkan beberapa literasi yang dikirim ke beberapa penerbit dan koran ternama di Amerika Serikat, salah satu karya novelnya yang sempat terkenal berjudul "Mirror Mirror."
Pada tahun 1974, Eni kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai seorang copy-writer. Selama bekerja di perusahaan asing ini, Eni memiliki banyak waktu untuk menerbitkan karya novelnya.
Salah satu karyanya yang terkenal adalah "Kisah Tante Sonya" yang mampu mengalahkan popularitas "Ali Topan Anak Jalanan" karya Teguh Esha yang cukup terkenal di saat itu.
Pada era 1980an, ia memulai menulis novel-novel erotis yang bergaya stensilan. Ia termasuk sangat produktif, karena selama satu dekade, ia mampu menelurkan ratusan judul di bawah Penerbit Mawar yang misterius.
Lucunya, Penerbit Mawar yang menjadi satu-satunya identitas pada buku, hadir tanpa alamat, dan tanpa nomer telpon. Pun para penjual dan loper koran, semuanya bungkam jika ditanyakan, darimana asal novel picisan yang dijualnya.
Meskipun nama Enny Arrow baru terkenal sejak tahun 1980an, namun sebenarnya pada tahun 1965, ia telah menggukanan nama samaran ini pada karangannya yang berjudul "Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta."
Kata "Arrow" sendiri diambil dari toko penjahit di Kalimalang, karena ia pernah bekerja sebagai penjahit di sana. Banyak yang bertanya, apa motivasi Enny Arrow menelurkan novel-novel seputaran seks dan selangkangan ini?
Menurut sumber, Eni memiliki idealisme yang tinggi terhadap dunia literasi. Pandangannya yang luas tentang sastra barat yang bebas, membuat dirinya bergelut dengan gayanya sendiri untuk mengkritik sastra Indonesia yang dianggap terlalu normatif.
Enny Arrow jelas adalah seorang yang "anti-mainstream". Ia tidak memikirkan royalti, apalagi ketenaran. Pun harga bukunya yang dibanderol dari 3000 hingga 5000 rupiah tergolong murah. Bahkan diragukan dapat menutup ongkos kertas dan cetak untuk 40 halaman stensil pada saat itu.
Namun sepertinya Eni tidak peduli, karena siapapun berhak untuk membacanya, dari segala usia dan berbagai kalangan. Covernya yang terbilang berani dengan isi yang luar biasa vulgar, meskipun judulnya lebih banyak terbalut dengan metamorphosis kata, seperti Selembut Sutra, Malam Kelabu, dan Gairah Cinta.
Kekuatan Enny Arrow berada pada deskripsi yang detail dan hiperbola. Pembacanya yang setia selalu menantikan bagaimana Eni mendeskripsikan kisah persenggamaan yang sangat dahsyat dan jarang ditemukan pada karya novel lain di negeri ini.
Namun demikian, buku-buku ini tidak melulu membahas mengenai seks saja. Kelebihan dari karya Eni adalah selalu menitipkan pesan moral pada akhir cerita.
Sebagai contoh, tokoh protagonis dalam ceritanya selalu mendapatkan kebaikan melalui pengorbanan, dan sebaliknya, tokoh antagonis akan mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Satu hal yang pasti, meski jati dirinya yang sebenarnya masih tersembunyi hingga wafat, ia telah berhasil mengklaim dirinya sebagai penulis esek-esek Indonesia terbesar sepanjang masa.
Hasil karyanya tidak penah terkesan kuno, dan masih tersedia di berbagai toko on-line hingga kini.
Sesinis apapun pandangan masyarakat terhadap dirinya, karyanya sudah menjadi bagian besar dari sejarah kesusastraan Indonesia.
"Saat Rini berbalik bermaksud menemani Budiman duduk. Saat itu juga Budiman berbalik dan langsung memeluk Rini erat dan merengkuhnya dalam kecupan ganas membabi-buta. Rini tak sempat mengelak dan hanya terlihat pasrah dalam rangkul Budiman yang memang bertubuh jauh lebih besar dari Rini."
Kutipan ini adalah sepenggalan karyanya. Sebenarnya jika diteruskan, pembaca akan memahami mengapa nove-novelnya selalu dinanti-nantikan, oleh penggemar esek-esek jaman bapakmu.
Sayangnya, penulis memutuskan untuk tidak dimasukkan pada artikel ini, karena penulis bukanlah Enny Arrow.
Referensi: 1 2 3 4Â
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H