Hal ini diyakini, karena ia adalah seorang penganut aliran Tantra kiri. Aliran ini meyakini bahwa hubungan intim tanpa nafsu birahi adalah salah satu bentuk pencerahan duniawi. Dengan kata lain, pria dan wanita yang melakukan hubungan seks, harus menjaga agar emosi mereka tetap stabil.
Sedikit banyak ajaran Tantra kiri ini juga mewarnai sejarah kerajaan Nusantara. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah Raja Kertanegara yang merupakan raja terakhir yang memerintah kerajaan Singhasari.
Prabu Kartanegara dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang berambisi ingin menyatukan wilayah Nusantara. Salah satu bentuk ambisinya adalah dengan melaksanakan ekspedisi Pamalayu yang bertujuan menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera untuk kepentingan ekonomi dan politik di jalur Selat Malaka.
Ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia di kala itu.
Menghadapi kekuatan yang besar, Prabu Kartanegara juga tidak lupa untuk menggunakan kekuatan spiritual yang diyakininya.
Ia mendengar kabar bahwa kehebatan Raja Mongol, Kubilai Khan ternyata berasal dari kekuatan gaib ritual Tantrik yang dipelajari dari seorang biksu Tibet.
Hal inilah yang memicu Prabu Kartanegara mendatangkan para spiritualis Tantra dari Champa (Kamboja) yang terdiri dari gadis-gadis menawan yang disebut dengan Yoginis.
Ritual bersama para Yoginis ini kemudian dilakukan di bangsal istananya dengan berpesta seks dan minuman keras dan melibatkan para punggawa Raja, baik pria maupun wanita.
Baca juga: Mantra Asmara Dahana dalam Pernikahan
Namun menurut kitab Nagarakretagama, ritual ini dilakukan untuk mencapai pencerahan demi kemakmuran negara dan rakyat serta menangkal serangan musuh. Jadi bukan untuk kenikmatan duniawi semata.
Pun para peserta diharuskan untuk memakai topeng agar identitas mereka tersamarkan. Dalam praktiknya, ritual ini dilakukan untuk menguji kemampuan menahan godaan nafsu duniawi demi meraih jalan menuju Nirwana.