Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jangan Berharap Banyak dari Vaksin Corona, karena Sebentar Lagi Indonesia Akan Dikucilkan

28 Juli 2020   11:30 Diperbarui: 28 Juli 2020   11:33 3151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com

"Ini lho, vaksin dari China, katanya sudah memasuki tes tahap ketiga," ujar ayahanda penulis di tengah ritual makan malam bersama.

Sambil menerjemahkan berita dari bahasa mandarin ke dalam bahasa Indonesia dengan terbata-bata, ayah terus menggumam seorang diri, tanpa satupun komentar dari anak-anaknya.

Entah apa yang ada dalam pikiran yang membisu, namun "apakah benar vaksin adalah solusi terbesar dalam memerangi pandemi?"

**

Dua pendekatan berbeda dari dua pemimpin dunia, yaitu PM Inggris, Boris Johnson dan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Boris Johnson mengatakan bahwa vaksin virus corona jenis baru ini mungkin tak akan pernah ditemukan, sementara Donald Trump mengatakan bahwa sebentar lagi mereka akan terbebas dari virus corona, karena vaksin akan segera ditemukan.

Senada dengan pernyataan Trump, berbagai Lembaga dan institusi di seluruh dunia berlomba-lomba menemukan formula terbaik untuk melawan virus corona. Paling tidak tercatat sudah ada tiga perusahaan yang memasuki tahap akhir uji klinis terhadap manusia, salah satunya adalah Sinovac dari China yang juga melibatkan Indonesia dalam tahap pengembangan akhir.

Namun, harapan terbesar penggunaan vaksin ini disebutkan paling cepat pertengahan tahun depan (2021), bahkan hingga akhir tahun 2022.

Nah, faktor waktu yang masih lama ini, kemudian memengaruhi orang macam Boris Johnson untuk berpikiran, "janganlah menaruh harapan yang terlalu besar terhadap penemuan vaksin."

Setahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengubah kebiasaan hidup seseorang ke wacana New Normal atau Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).

Jika memang demikian adanya, maka apapun yang terjadi, manusia harus menjalani hidupnya dengan perubahan yang maha dahsyat. Resikonya jelas, terpapar virus atau kehilangan mata pencaharian.

Herd Immunity.

Herd Immunity yang rajin didengungkan mungkin akan terjadi tanpa disadari. Mengizinkan virus corona bersahabat dengan antibodi tubuh, mungkin akan terjadi secara alami.

Dengan asumsi bahwa seseorang tidak akan terpapar efek virus corona, untuk kedua kali, maka Herd Immunity adalah cara yang baik. Namun sayangnya, hal ini masih menjadi perdebatan.

Pun ada juga istilah Silent Carrier, yang mengatakan bahwa "jika tubuh anda dapat berkompromi dengan virus corona, maka belum tentu anda tidak menularkannya kepada orang lain."

Herd Immunity tidak menumpas keberadaan corona, ia hanya memperlambat penyebaran virus corona, agar tenaga dan fasilitas medis menjadi cukup untuk melayani pasien corona yang sudah tidak banyak lagi (namun tetap ada).

Perubahan Besar yang Akan Terjadi.

Dengan demikian maka AKB, seperti penggunaan masker, social distancing, mencuci tangan, mengukur suhu badan, work from home akan menjadi kebiasaan yang tidak baru lagi nantinya.

Akan tetapi, AKB tidak hanya menyentuh saran untuk menjaga diri masing-masing saja. Perubahan dasar terhadap pola hidup sosial yang lebih besar juga akan terjadi disini.

Tes virus Corona akan menjadi hal yang tak terpisahkan. Setiap manusia akan melakukannya secara berkala untuk berbagai keperluan. Jika swab dan rapid test serasa begitu mengerikan saat ini, nantinya akan menjadi suatu kewajiban untuk berbagai hal penting.

Begitu pula dengan pelacakan kontak (contact tracing). Dunia harus bersiap-siap untuk hidup bersama dengan pengidap virus corona. Ruang publik akan menjadi daerah berbahaya, bagi siapapun. Oleh sebab itu, masyarakat harus tahu, daerah mana yang sekiranya aman untuk dikunjungi, dan yang mana yang masih rawan.

Terkait hal ini, maka setiap daerah akan membentuk "tembok pemisah" dengan daerah lainnya. Beberapa negara sudah memberikan travel warning bagi warganya untuk tidak lagi mengunjungi daerah epidemi yang masih eksis.

Pun halnya dengan stigma yang terjadi di masyarakat. Penulis yang berdomisili di kota Makassar, sering mendengarkan keluhan dari kawan-kawan yang ingin pulang kampung. Mereka merasa "ditolak" karena berasal dari daerah "hitam" penyebaran.

Kegiatan yang melibatkan kerumunan akan menjadi berkurang. Mungkin kita jangan berharap lagi untuk menghadiri even akbar, seperti pesta kenegaraan, pesta olahraga, atau bahkan pesta pernikahan.

Kalaupun tetap diadakan, maka jumlah pengunjung pasti akan berkurang, dan manusia akan hidup dengan semboyan "jauh di mata, dekat di hati."

Mobilitas akan menjadi berkurang dengan sendirinya. Hal ini senada dengan ucapan Dirjen WHO, Tedros Adhanom bahwa "melakukan perjalanan di saat pandemi, adalah keputusan hidup dan mati."

Apa yang harus dilakukan?

PBB mengeluarkan pernyataan, bahwa dunia akan terbagi menjadi dua kubu. Daerah yang dapat mengontrol laju pandemi, akan menjadi daerah yang aman dikunjungi. Namun mereka hanya akan memilih daerah dengan peringkat yang sama untuk menjadi aliansi kasta yang sama.

Adapun negara dunia ketiga atau yang tidak mampu mengendalikan pandemi, akan menjadi terkucil, hidup sendiri tanpa dikunjungi.

Di manakah Kasta Indonesia?

Jawabannya tergantung bagaimana kita meladeni pandemi. Seorang kawan di Bali mengatakan, bahwa wisatawan masih mengurungi niatnya untuk mengunjungi Bali.

Menurut dirinya, meskipun pemerintah telah melakukan usaha yang maksimal yang terlihat "cantik" di atas kertas, namun dunia internasional tentu memiliki perbandingan penanganan dengan negara lain.

Sebagai contoh, dilansir dari kompas.com, Indonesia adalah termasuk 15 negara terendah di dunia dalam penerapan tes corona. Data dari worldometer.info, mengatakan bahwa hanya 65 orang yang mendapatkan tes corona per 1 juta penduduk, pada tanggal 10.04.2020.

Jumlah ini sangatlah sedikit, bahkan jika dibandingkan dengan Djibouti, negara kecil di Timur Afrika, yang sudah melakukan 3.440 tes dengan total penduduk yang hanya 1 juta saja.

Adapun dari jumlah tes yang relatif masih kecil ini, Indonesia sudah berada pada ranking 24 dunia.

Masih dengan data worldometer.info, dari 16.440.749 kasus infeksi di seluruh dunia, per tanggal 27.07.2020, Indonesia menyumbangkan 100.303 kasus, dan sudah berada di atas China dan Mesir.

Angka adalah Angka.

Angka tidak bisa berbohong, namun pada akhirnya angka adalah angka. Angka perbandingan ini bukanlah konsen dari rakyat Indonesia. Pandemi adalah urusan negara sendiri, bukan untuk dibandingkan seperti perhelatan olimpiade.

Rakyat Indonesia hanya perlu mengetahui bahwa banyak virus corona di negara kita, jumlahnya Banyak Pokoknya!

Rakyat Indonesia perlu waspada untuk menjaga diri agar tetap sehat dan terus berdoa agar dijauhkan dari paparan yang mematikan.

Rakyat Indonesia harus bersatu untuk tetap berada di kaki sendiri, karena sebentar lagi kita akan dikucilkan dari negara yang telah berada di kasta teratas dalam urusan bebas pandemi.

  

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun