Pun halnya dengan stigma yang terjadi di masyarakat. Penulis yang berdomisili di kota Makassar, sering mendengarkan keluhan dari kawan-kawan yang ingin pulang kampung. Mereka merasa "ditolak" karena berasal dari daerah "hitam"Â penyebaran.
Kegiatan yang melibatkan kerumunan akan menjadi berkurang. Mungkin kita jangan berharap lagi untuk menghadiri even akbar, seperti pesta kenegaraan, pesta olahraga, atau bahkan pesta pernikahan.
Kalaupun tetap diadakan, maka jumlah pengunjung pasti akan berkurang, dan manusia akan hidup dengan semboyan "jauh di mata, dekat di hati."
Mobilitas akan menjadi berkurang dengan sendirinya. Hal ini senada dengan ucapan Dirjen WHO, Tedros Adhanom bahwa "melakukan perjalanan di saat pandemi, adalah keputusan hidup dan mati."
Apa yang harus dilakukan?
PBB mengeluarkan pernyataan, bahwa dunia akan terbagi menjadi dua kubu. Daerah yang dapat mengontrol laju pandemi, akan menjadi daerah yang aman dikunjungi. Namun mereka hanya akan memilih daerah dengan peringkat yang sama untuk menjadi aliansi kasta yang sama.
Adapun negara dunia ketiga atau yang tidak mampu mengendalikan pandemi, akan menjadi terkucil, hidup sendiri tanpa dikunjungi.
Di manakah Kasta Indonesia?
Jawabannya tergantung bagaimana kita meladeni pandemi. Seorang kawan di Bali mengatakan, bahwa wisatawan masih mengurungi niatnya untuk mengunjungi Bali.
Menurut dirinya, meskipun pemerintah telah melakukan usaha yang maksimal yang terlihat "cantik" di atas kertas, namun dunia internasional tentu memiliki perbandingan penanganan dengan negara lain.
Sebagai contoh, dilansir dari kompas.com, Indonesia adalah termasuk 15 negara terendah di dunia dalam penerapan tes corona. Data dari worldometer.info, mengatakan bahwa hanya 65 orang yang mendapatkan tes corona per 1 juta penduduk, pada tanggal 10.04.2020.