Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hikayat Mi Instan, Sebagai Pembunuh dan Penyelamat di Indonesia

16 Juli 2020   15:14 Diperbarui: 16 Juli 2020   15:34 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mi Instan (sumber: tribunnews.com)

Bintang Pandepotan menangis di dalam kamar asramanya, di Pullman, negara bagian Washington, Amerika Serikat (AS). Sebabnya aku dan beberapa sohib karib menjarah persediaan mi instan yang dibawah jauh-jauh dari Indonesia.

"Ah, udahlah, ntar lu tambah gendut, gak sehat tau." Ujar kami berempat meninggalkan Bintang yang selalu dibuli, karena hatinya yang suci.

Namun persahabatan tentunya tidak akan hancur gegara hanya beberapa bungkus mi instan saja. Akhirnya di malam hari, kami memutuskan untuk mentraktir Bintang, Anak Medan yang selalu lapar, di sebuah restoran anyar.

Pada tahun 1990an, mi instan adalah salah satu harta terbesar bagi mahasiswa Indonesia di AS. Sebenarnya, tidak susah-susah amat juga mendapatkannya, karena sebuah supermarket asia di Chinatown, selalu memiliki persediaan yang tidak pernah cukup.

Meskipun harganya jauh lebih mahal dari tanah air, namun harga yang dijual masih relatif lebih murah dibandingkan dengan makanan kemasan cepat saji lainnya. Dengan kata lain, mi instan buatan Indonesia adalah makanan lezat yang murah meriah.

Namun mi instan juga membawa kesedihan, paling tidak bagi Andri, arek Suroboyo, teman satu geng. Adik sepupunya yang kuliah di California, diklaim mengidap penyakit kanker usus, akibat terlalu sering mengonsumsi mi instan.

Alasannya pun konyol, ingin berhemat agar bisa menabung untuk beli mobil BMW. Masyallah...

Namun itulah yang terjadi, mi instan, kebanggaan Indonesia yang selalu hadir di setiap keluarga, meskipun tidak sedikit juga memakan korban dari para pencintanya.

Lahir dari Keprihatinan Akibat Bencana Kelaparan di Jepang.

Setelah kalah di Perang Dunia ke-II, Jepang kekurangan pangan. Penduduk kelaparan dan harus mengantri untuk mendapatkan makanan. 

Kejadian yang sama juga terjadi di Osaka, yang membuat Momofuku Ando (1911 -- 2007), mendapatkan ide untuk menciptakan mi instan.

Ando berbendapat bahwa ia harus bisa memproduksi makanan yang murah, dapat disimpan lama, mengenyangkan, dan tentunya juga harus enak dimakan. 

Selain itu, makanan ini juga bisa menjadi solusi yang dapat didistribusikan secara mudah ke seluruh pelosok negeri yang sedang dilanda kelaparan.

Pilihan pun jatuh kepada Mi, karena memang jenis makanan ini sudah sangat kental di lidah masyarakat Jepang. Kelak ide ini lah yang melahirkan perusahaan raksasa yang bernama Nissin.

Melalui percobaan selama beberapa bulan, pada tanggal 25.08.1958, lahirlah mi instan pertama. Hasilnya sesuai dengan harapan Ando yang lahir dari keprihatinan akan bencana kelaparan di Jepang, hingga akhirnya mi instan selalu menjadi paket utama pada bantuan-bantuan sosial maupun bencana alam.

Popularitas Mi Instan di Indonesia juga Lahir dari Krisis Pangan.

Pada tahun 1969, pabrik mi instan pertama kali muncul di Indonesia, melalui kerja sama antara perusahaan Jepang dan Indonesia. PT. Lima Satu Sankyo Industri Pangan yang dimiliki oleh Syjarif Adil Sagala dan Eka Widjaja Moeis, sebagai pemodal dari Indonesia.

Produk pertama yang dikeluarkan adalah Supermie, dan sebelumnya adalah merupakan produk ekspor langsung dari Jepang. Pada tahun 1970, Supermie mendapatkan pesaing yang kuat, yang bernama Indomie.

Melalui PT. Sanmaru Food Manufacturing milik Djajadi Djaja dan kawan-kawan, Indomie didistribusikan oleh PT. Wicaksana Overseas Import.

Grup Salim yang sekarang diketahui sebagai pemilik perusahaan Indofood, sebenarnya baru memasuki industri ini pada tahun 1980an, melalui produknya Sarimie.

Langkah grup Salim memasuki industri ini, didorong oleh kelangkaan beras pada akhir tahun 1970an. Pada tahun 1978, pemerintah Soeharto telah menghabiskan 600 juta dollar AS untuk mengimpor beras.

Pada saat yang sama, PNS dan Militer juga digaji sebagaian dengan jatah beras, sehingga peranan grup Salim dimaksud sebagai pemasok mi bagi prajurit dan PNS.

Kekurangan beras yang dialami oleh negara, membuat pemerintah mengambil tindakan substitusi beras dengan terigu dan gandum. Mi instan adalah jalan keluar yang terbaik.

Grup Salim memasuki bisnis ini dengan ambisius, kemudian memesan 20 lini produk dengan kapasitas 100 juta bungkus mi per tahun. 

Ternyata mereka salah perhitungan, karena akhirnya Soeharto mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilannya menjadikan Indonesia sebagai negara Swa-sembada pangan pada tahun 1980an.

Proses Akuisisi Indomie.

Untuk menyikapi kapasitas yang berkurang, grup Salim mencoba menawar pembelian Indomie dari grup Djajadi, namun ditolak. Akhirnya pertempuran diantara Sarimie dan Indomie pun dimulai.

Salim menyediakan 10 juta dollar AS untuk memasarkan Sarimie di bawah harga Indomie dan juga berbagai praktik oligopoli terigu yang dikuasai oleh grup Salim pada zaman Soeharto.

Grup Djajadi akhirnya angkat tangan, dan terpaksa menjual sahamnya kepada grup Salim yang tampil sebagai pemenang. Pada tahun 1984, dibuatlah perusahaan patungan antara grup Salim dan Djajadi.

Dua tahun perkawinan, membuat mereka cukup kuat untuk mengakuisisi, pesaing besar satu-satunya, yaitu Sarimie.

Dalam perjalanannya, ketiga merek Sarimie, Indomie, dan Supermie, menjadi salah satu dari mesin pencetak uang grup Salim di bawah panji Indofood. 

Pada tahun 1994, Indofood kemudian menjadi produsen mi instan terbesar di dunia, mengalahkan Nissin Food yang didirikan oleh Momofuku Ando, sang penemu mi instan dunia.

Semangat yang muncul dari Ando adalah untuk membantu banyak orang mendapatkan makanan yang awet, murah, enak dan bergizi akan selalu ada.

Mi instan di Indonesia tidak lagi dipandang sebagai makanan pengganti. Keberadaan mi instan sudah hampir menyamai kebutuhan akan beras.

Menurut data dari Asosiasi Mi Instan Dunia (WINA), Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara pengonsumsi mi instan terbesar di dunia. Tercatat, 12.6 miliar bungkus pe tahun di tahun 2019, yang dihabiskan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Bukan hanya solusi bagi perut rakyat kecil, atau sebagai penyelamat di saat bencana menghampiri, mi instan Indonesia sudah mewakili salah satu sumber pendapatan devisa terbesar bagi Indonesia.

Oleh sebab itu, bagi mereka yang masih berprinsip, makan mi instan dapat membahayakan kesehatan, maka cukup mengontrol takarannya saja. Tanpa mi instan, akan lebih banyak rakyat Indonesia yang merasa kehilangan.  

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun