Kekurangan beras yang dialami oleh negara, membuat pemerintah mengambil tindakan substitusi beras dengan terigu dan gandum. Mi instan adalah jalan keluar yang terbaik.
Grup Salim memasuki bisnis ini dengan ambisius, kemudian memesan 20 lini produk dengan kapasitas 100 juta bungkus mi per tahun.Â
Ternyata mereka salah perhitungan, karena akhirnya Soeharto mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilannya menjadikan Indonesia sebagai negara Swa-sembada pangan pada tahun 1980an.
Proses Akuisisi Indomie.
Untuk menyikapi kapasitas yang berkurang, grup Salim mencoba menawar pembelian Indomie dari grup Djajadi, namun ditolak. Akhirnya pertempuran diantara Sarimie dan Indomie pun dimulai.
Salim menyediakan 10 juta dollar AS untuk memasarkan Sarimie di bawah harga Indomie dan juga berbagai praktik oligopoli terigu yang dikuasai oleh grup Salim pada zaman Soeharto.
Grup Djajadi akhirnya angkat tangan, dan terpaksa menjual sahamnya kepada grup Salim yang tampil sebagai pemenang. Pada tahun 1984, dibuatlah perusahaan patungan antara grup Salim dan Djajadi.
Dua tahun perkawinan, membuat mereka cukup kuat untuk mengakuisisi, pesaing besar satu-satunya, yaitu Sarimie.
Dalam perjalanannya, ketiga merek Sarimie, Indomie, dan Supermie, menjadi salah satu dari mesin pencetak uang grup Salim di bawah panji Indofood.Â
Pada tahun 1994, Indofood kemudian menjadi produsen mi instan terbesar di dunia, mengalahkan Nissin Food yang didirikan oleh Momofuku Ando, sang penemu mi instan dunia.
Semangat yang muncul dari Ando adalah untuk membantu banyak orang mendapatkan makanan yang awet, murah, enak dan bergizi akan selalu ada.