Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Stereotip Bule, Sebuah Warisan Masa Lalu

27 Juni 2020   19:31 Diperbarui: 27 Juni 2020   19:34 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bule (kumparan.com)

Baru-baru ini ada seorang pengantar barang yang datang ke toko. Tampilannya cukup berbeda, atau lebih tepatnya mirip Ridho Irama versi atletis. Ditambah lagi dengan Bahasa Indonesia yang terbata-bata membuat para pegawai terperangah.

Usut punya usut, ternyata dia adalah seorang warga negara asing yang konon kabarnya sudah menjadi warga negara Indonesia (kabar belum tentu benar). Dengan keterbatasan bahasa dan pendidikan, akhirnya ia melamar menjadi pengantar barang.

Sontak seluruh karyawan mengerumutinya dan mengajaknya bicara dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, tidak lupa juga selfie menyertai acara. Begitulah orang "kita", melihat wajah asing dengan logat asing, langsung menjadi media darling.

Pernah lihat bagaimana warga+62 mengagum-agumkan wajah asing? Atau jangan-jangan kita termasuk salah satu diantaranya? Apakah ini karena pengaruh telenovela jaman dulu, atau karena kita sudah terbiasa dengan sistem feodal?

Bagi pembaca yang masuk dalam kategori ini, ada sedikit cerita mengenai bule yang ternyata tidak sehebat apa yang dipikirkan.

30 tahun yang lalu, pada saat penulis masih kuliah di Amerika Serikat, tepatnya di Wahington State University, Pullman, negara bagian Washington, fenomena bule kampungan termasuk salah satu bagian dari culture shock.

Memiliki stereotip akibat warisan masa lalu, membuat penulis selalu melihat bule sebagai ras yang lebih tinggi dari bangsa Asia pada umumnya.

Culture Shock pertama berlangsung, ketika penulis sedang berbicara dengan manager dari apartemen yang akan disewa. Alih-alih meminta penulis untuk mengisi formulir, sang bule menanyakan "letak Indonesia di dekat negara bagian Amerika Serikat mana ya?"   

Culture shock kedua, pada saat acara perkenalan orientasi mahasiswa internasional, seorang kawan dari Hong Kong memperkenalkan negara asalnya. Dosen yang memandu acara kemudian mengucapkan selamat datang dalam bahasa Jepang, "ya jelas gak konek lah."

Culture shock ketiga, terjadi pada saat penulis sudah berada pada tahapan "junior" atau memasuki tahun ketiga di bangku kuliah. Seorang bule menyatakan bahwa ia baru saja memakan daging salmon dari peternakan ayahnya di daerah gurun Arizona.

Culture shock keempat, kelima, dan seterusnya rasanya tidak perlu ditulis lagi.

Nah dari efek-efek culture shock ini, penulis kemudian memiliki kesimpulan bahwa bule tidak pintar-pintar amat. Mungkin bule yang bekerja di Indonesia adalah bule pilihan, sehingga pantas terpilih menjadi expatriate.

Tapi ternyata tidak juga. Pernah suatu saat, ada sebuah perusahaan asing yang meminta perusahaan penulis untuk bekerja sama dalam sebuah project RTM (Road to Market) untuk membandingkan pola distribusi consumer goods di kota makassar.

Bernt, bule Australia ganteng, berusia masih muda tampil layak dimata, namun tidak di otak. Memahami produk dan bentuk, ia lupa kalau Indonesia adalah negara nasi uduk.

Alih-alih memelajari sistem di Indonesia, ia malah memaksakan penggunaan internet untuk memudahkan fasilitas Business to Business kepada seluruh langganan yang pada umumnya adalah toko kelontong.

Waktu itu, kota Makassar belum memiliki jaringan internet yang memadai, namun tetap saja ia memaksakan dengan meminta penulis untuk memasang parabola satelit yang harganya beratus-ratus juta.

Belum lagi meminta penulis untuk menjadi mak comblang dengan Riris sang administrasi yang memang manis. Buntut-buntutnya, penulis menutup salam manis dengan mengucapkan "Get the F*** Off."

Nah dari contoh-contoh diatas, bagi kalian yang masih menjadi pengagum bule, sadarlah bahwa bule juga manusia dan tidak lebih superior dari orang kita.

Hingga hari ini, penulis masih tidak berbicara dengan David, suami dari kawan karib yang berasal dari negeri Amrik. Pasalnya, ia selalu mengatakan kepada siapa saja bahwa "Bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari dan orang Indonesia lah yang harus memahami bahasa Inggris yang baik."

Yang pertama sabar, yang kedua biar, yang ketiga, saatnya berkoar. Dimulai dari protes David yang mengatakan bahwa bahasa Inggris penulis yang lulusan luar negeri tidak sesuai dengan kaedah bahasa Inggris yang bagus, penulis pun mencecar;

Terjemahan: "10 tahun kamu menumpang hidup di Indonesia, berbicara bahasa Indonesia saja emoh, emangnya orang Indonesia wajib memelajari Bahasa Inggris? Paling tidak aku selangkah lebih maju darimu, aku menguasai dua bahasa, dan kamu hanya itu-itu saja."

Sejak saat itu, David yang ramah berubah menjadi pemarah. Bodo amat!

Nah, menurut penulis, sebagai bangsa Indonesia yang baik, sudah layaknya tidak lagi menganggap bangsa lain lebih tinggi derajatnya dari kita. 

Memang betul, sejarah 350 tahun susah untuk dilupakan, dan pengaruh film Hollywood juga sangat mendebarkan. Namun apa salahnya jika suatu waktu nanti jika bertemu dengan bule, maka berbahasa Indonesialah dengan penuh kebanggaan. Tidak memalukan kan!?

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun