Sesaat sebelum nenek meninggal, saya berada persis di sampingnya. Menyaksikan bagaimana kesadaran beliau yang tiba-tiba "berubah wujud," ucapan tante yang terisak-isak mengatakan, "mama sudah mau pergi," seiring dengan nafas panjang dan pendek yang datang beriringan, saya menjadi saksi bagaimana ajal datang menjemput. Â
Kejadian tersebut begitu membekas di hati saya, wajah sang nenek tidak menunjukkan penderitaan fisik dan batin. Membayangkan wajahnya yang terakhir, mengingatkanku bagaimana ia semasa hidup, selalu tenang, sabar, dan ramah.
Saya bersyukur, bahwa kematian nenek menjadi satu-satunya pengalaman melihat ekspresi manusia pada saat ajal datang menghampiri. Namun dari beberapa cerita, konon terdapat berbagai macam ekspresi yang berbeda dari mereka yang menghadapi kematian.
Katanya sih, Encek Tong, sang penjual kepiting berteriak-teriak kepanasan sesaat sebelum ia meninggal. Juga dengan si Juffri yang terkenal kikir, sampai melotot dan memakan kotorannya sendiri.
Namun ada juga yang mengaku melihat suaminya datang menjemputnya, dan meninggal dengan penuh senyuman. Entahlah, semua hanya cerita yang saya dengar.
Pengalaman sebelum meninggal, selalu berhubungan dengan pengalaman spiritual. Keluarga yang ditinggalkan selalu penasaran, kemanakah mendiang akan pergi setelah ia tiada. Oleh sebab itu, "tanda-tanda" sebelum kematian selalu terkesan untuk dijadikan petunjuk.
Seamus Coyle, seorang peneliti klinis di University of Liverpool, meneliti kesaksian beberapa ahli perawatan paliatif (perawatan untuk pasien penyakit kronis stadium lanjut), yang mengatakan bahwa menjelang kematian, kadar serotonin dan endorphin, atau zat kimia otak yang berkontribusi terhadap perasaan bahagia, akan meningkat.
Meskipun belum ada penelitian yang melibatkan endorphin dalam proses kematian, namun pengamatan para ahli ini memercayai adanya sejumlah proses di otak yang dapat membantu rasa sakit yang parah.
Namun mereka juga tidak membantah, bahwa tidak semua pasien dapat menjalani proses kematian dengan damai. Menurut pengamatan para ahli paliatif, sejumlah orang yang menderita pada saat kematian, pada umumnya adalah manusia yang sulit menerima fakta bahwa mereka sedang sekarat.
Oleh sebab itu, Coyle mengatakan bahwa pada umumnya proses kematian yang menyakitkan atau tidak, akan sangat bergantung kepada sikap "berdamai dengan kematian" atau "berjuang melawan kematian."
Pada akhirnya kematian adalah suatu hal yang pasti, sehingga upaya melawannya adalah hal yang sia-sia.
Lebih lanjut, menurut Coyle, perawatan paliatif kemudian menjadi penting disini. Pasien yang menerima takdirnya akan cenderung lebih berbahagia dan mampu hidup lebih lama, meskipun pada akhirnya ia juga akan meninggal, namun proses kematian tidak lagi menjadi hal yang mengerikan baginya.
Adalah seorang psikolog, Kurt Gray yang berkesempatan untuk membaca pernyataan terakhir dari 500 narapidana yang dieksekusi antara tahun 1982 hingga 2003. Ia takjub, karena mayoritas dari pernyataan tersebut ternyata bernada positif.
Untuk mengetahui bila hal ini hanya terjadi pada sebagian orang saja atau merupakan fenomena psikologi umum, ia kemudian melakukan sebuah penelitian bersama University of North Carolina, di Amerika Serikat.
Penelitian dilakukan dengan menganalisis tulisan dari pasien kanker stadium akhir sebelum meninggal dan membandingkannya dengan tulisan fiksi dari para partisipan yang diminta untuk membayangkan jika mereka telah divonis dengan penyakit mematikan yang sudah tidak tertolong lagi.
Ternyata tulisan para pasien sungguhan rata-rata lebih positif dibandingkan dengan pasien palsu yang masih sehat. Frekuensi penggunaan kata-kata positif seperti "bahagia" dan "cinta" juga didapati semakin meningkat ketika pasien mendekati ajal. Sebaliknya orang sehat yang pura-pura akan mati menggunakan kata-kata negatif, seperti "takut", "terror" dan "cemas."
Proses kematian juga sangat berhubungan dengan pengalaman spiritual. Seringkali proses kematian dihubungkan dengan penjemputan surgawi yang dibarengi dengan ucapan atau gestur akhir yang mendukung.
Oleh sebab itu, setiap agama pasti memiliki jenis ritual yang menyokong akhir kehidupan yang dilakukan sebelum atau sesudah ajal datang menjemput. Tentunya semua dengan harapan bahwa sang mendiang akan pergi dengan tenang ke tempat yang lebih baik lagi. Â
Kematian bagi umat Buddha adalah sebuah proses transisi dari kehidupan saat ini ke kehidupan yang lain. Dalam Buddhisme, pengalaman terakhir sebelum kematian dikenal dengan istilah "kesadaran ajal (cuti-citta)" dan "kesadaran penerusan (patisandhi-vinnana)."
Konon ketika seseorang mendekati kematian, maka kesadaran ajal akan padam dan digantikan dengan penglihatan terakhir (last conscious). Penglihatan terakhir inilah yang akan menentukan di alam mana ia akan terlahir.
Hal ini didorong oleh kebiasaan-kebiasan mendiang selama hidup, dan juga kekuatan-kekuatan Karma (Kamma) yang dimilikinya. Di saat karma akan berpindah tempat, maka disanalah pembawa karma akan terlahir.
Pilihannya adalah salah satu dari 31 alam kehidupan, yang terdiri dari 4 alam bawah (neraka, binatang, mahluk halus, mahluk jin), 1 alam manusia, 6 alam dewa, dan 20 jenis alam tubuh halus tanpa tubuh jasmani (alam brahma).
Pilihan ini tidak ditentukan oleh siapa-siapa, melainkan kekuatan batin itu sendiri. Manusia jahat yang sudah terbiasa membunuh, akan membawa kebiasaanya dan terkondisikan ke alam yang mendukungnya, seperti neraka yang tersiksa, atau binatang yang selalu hidup sebagai mangsa predator.
Frasa "mati masuk surga atau neraka" akan ditentukan berdasarkan keinginan batin, bukanlah takaran dosa seperti yang selama ini diasumsikan. Namun sekali lagi batin yang baik akan cenderung terlahirkan di alam yang baik. Oleh sebab itu, menjaga pikiran hingga last conscious penting adanya bagi seorang manusia.
Cara sederhana dapat dilakukan dengan:
Pertama; Menyiapkan batin bahwa kematian adalah hal yang pasti dan setiap saat bisa saja datang menghampiri.
Kedua;Â Selalu sadar dan berkonsentrasi setiap saat untuk menjaga diri dengan berpikiran baik dan positif. Cara ini dapat dilakukan juga dengan melakukan praktik meditasi secara rutin.
Ketiga;Â Dalam setiap kesempatan yang ada, selalulah berbuat kebaikan dan mengumpulkan kebajikan dalam hidup.
Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah rajin beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, serta memiliki iman yang benar dan kuat.
Namun saat ini saya sedang menulis dan anda masih membaca artikel ini, yang berarti bahwa dalam kehidupan saat ini, proses ini belum saya lalui dan demikian pula anda.
Layaknya sebuah proses spiritual yang belum terkuak, setiap orang hanya bisa menjadikannya sebagai nasehat kehidupan. Untuk memercayainya, kembali kepada keyakinan diri masing-masing.
Yang terpenting adalah, menyadari kematian akan datang setiap saat dan menerimanya sebagai hal yang lumrah.
Seperti yang dikatakan oleh diplomat Swedia Dag Hammarskjld: "Jangan mencari kematian. Kematian akan menemukanmu. Carilah jalan yang menjadikan kematian sebagai pencapaian. "
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H