Palmistry masih terasa asing, namun bagi penggemar metafisika, ilmu ini sudah sering terdengar sebagai ilmu yang digunakan untuk meramal nasib.
Keilmuan Palmistry secara umum tebagi menjadi dua disiplin utama, yaitu yang digunakan oleh para tabib Tiongkok kuno untuk melihat kondisi kesehatan pasien, dan yang digunakan oleh para praktisi metafisika untuk melihat nasib dan takdir hidup seseorang.
Diperkirakan sudah diperkenalkan di China sejak Zaman Dinasty Zhou (1046 -- 256 SM) dan merambah ke Eropa pada sekitar tahun 1800an, banyak yang belum tahu jika ternyata hingga saat ini, Palmistry sudah menjadi bagian dari ilmu kedokteran.
Menurut ilmu Metafisika, garis tangan terbagi menjadi 5 bagian, yaitu: 1) Garis Hidup (Life Line), 2) Garis Kebijaksanaan (Wisdom Line), 3) Garis Cinta (Love Line), 4) Garis Takdir (Fate Line), dan Garis Perkawinan (Marriage Line).
Baca juga:Â Palmistry, Dari Bonaparte Hingga Down Syndrome, Hidup Adalah Oretan Tangan.
Namun menurut National Institutes of Health di Maryland, Amerika Serikat, pada umumnya, orang hanya memilki 3 garis, yaitu:
1) Garis Perasaan (Heart) yang mencerminkan keadaan,
2) Garis Pikiran (Head) yang menjelaskan gaya belajar, komunikasi, dan intelektual, serta
3) Garis Hidup (Life) yang mengisahkan kesehatan fisik, kesejahteraan umum, dan perubahan besar dalam hidup.
Secara ilmiah, bentuk lipatan atau garis tangan dipengaruhi oleh faktor genetis, ras, kebiasaan, dan gaya hidup. Dalam ilmu Palmistry dunia medis, adalah sebuah kondisi dimana manusia hanya memiliki satu lipatan tangan saja.
Hal ini disebut dengan Simian Crease dan lazim ditemukan pada mereka yang kelainan genetik Down Syndrome. Lipatan ini merupakan pertemuan dari Garis Perasaan dan Garis Pikiran.
Meskipun demikian, Simian Crease tidak hanya terdapat pada penderita Down Syndrome saja, namun juga pada sekitar 1% populasi dunia yang sehat, khususnya etnis Asia.
Selain lipatan Simian, Down Syndrome juga memiliki lipatan lain yang disebut dengan Sydney Crease. Garis Sydney ini merupakan Garis Pikiran yang membentang panjang dari ujung ke ujung telapak tangan.
Namun pada manusia normal, garis ini juga ditemukan pada anak-anak yang mengalami kesulitan serius dalam belajar, menulis, membaca, dan pemahaman umum lainnya.
Bukan hanya itu, peneliti juga menemukan fakta bahwa mereka yang memiliki Garis Simian dan Garis Sydney juga memiliki potensi terkena penyakit Alzheimer, Diabetes Melitius, dan Leukimia.
Lembaga riset penyakit anak-anak di Sydney, Australia melakukan penelitian mengenai hubungan garis telapak tangan dengan penyakit leukemia.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Margaret Menser dan Dr. Purvis Smith itu melibatkan 100 anak sehat dan 25 anak yang menderita leukemia, baik akut maupun kronis.
Hasilnya ditemukan, sebanyak 36% dari anak-anak sakit itu memiliki Garis Sydney pada telapak tangannya. Sedangkan, hanya 13% dari anak yang sehat, yang memiliki garis tersebut.
Meskipun belum bisa dipastikan secara akurat, namun paling tidak penelitian ini dapat digunakan para dokter dalam membuat diagnosis awal.
Ilmu Palmistry dunia kedokteran tidak hanya melakukan penelitian terhadap garis tangan saja. Kondisi Kesehatan juga dapat dilakukan melalui pengamatan jari, kuku, dan kulit pada telapak tangan.
Penelitian pada jurnal Arthritis dan Rheumatism pada tahun 2008, mengungkapkan bahwa wanita dengan pola "maskulin" memiliki jari manis lebih panjang dari jari telunjuknya.
Selain itu, ciri khas seperti ini juga berhubungan dengan penyakit osteoarthritis (permasalahan sendi), serta resiko kanker payudara pada wanita.
Selain itu, penelitian lainnya yang diterbitkan dalam British Journal of Cancer pada tahun 2010, menemukan fakta bahwa pria dengan jari telunjuk lebih panjang dari jari manis lebih beresiko 33% menderita kanker prostat dibandingkan dengan pria yang jari telunjuknya lebih pendek.
Meskipun belum pasti, namun para peneliti meyakini bahwa jari manis yang lebih tinggi yang merupakan ciri khas pria berhubungan dengan hormon Testosteron. Sebaliknya, jari telunjuk yang lebih tinggi menunjukkan hormon Estrogen yang lebih besar.
Itulah sebabnya mengapa wanita dengan ciri khas seperti ini disebut lebih memiliki sifat maskulin, karena hormon Testosteron adalah hormon seks bagi pria, dan demikian pula sebaliknya.
Menarik untuk melihat kenyataan bahwa ilmu yang telah berusia ribuan tahun kini telah berkembang menjadi ilmu yang modern. Apa yang menjadi hal yang kelihatannya ghoib, kini telah menjadi ilmiah.
Pandangan manusia memang aneh, selalu mengutamakan logika dalam berpikir, namun tidak pernah menyadari kenyataan bahwa batas rasionalitas justru sesuatu yang tidak pernah terbatas. Â
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H