Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melarang Anak Bergawai? Parents, Ngaca Dulu, Ya!

31 Mei 2020   07:19 Diperbarui: 31 Mei 2020   07:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dedek, gak boleh nakal ya, dulu mama waktu kecil gak pernah kotorin ranjang." Kurang lebih seperti itu cuitan kita kalau sedang marahin anak, tapi benar gak sih, kalau kita gak pernah nakal waktu kecil?

Memberi contoh yang benar kepada anak, adalah hal yang wajib dilakukan, namun bagaimana jika melarang anak bermain gawai? Apakah kita juga bisa memberikan contoh yang baik?

Jelas gawai menjadi barang yang penting dalam hidup kita saat ini. Berbagai macam kegiatan dapat dilakukan tanpa harus berpindah pantat. Jika dulu kita memerlukan mobilitas yang tinggi dan padat, sekarang semuanya bisa beres meskipun masih berada di atas kasur yang empuk.

Kita membutuhkan gawai sebagai sarana kerja, sosial, maupun informasi.

Nah, jika kita sendiri sudah merasakan kemudahan dari bergawai ria, apakah anak-anak kita bisa mendapatkan hak eksklusif yang sama? Dengan kenyataan bahwa semua hal dapat dilakukan melalui gawai, apakah kita harus melarang mereka?

Tentu tidak, namun ada batasan, karena kondisi penggunaan gawai yang berlebihan bisa berdampak buruk bagi kesehatan, baik fisik maupun mental. Kita tidak mau anak-anak kita tepapar dengan "radikalisme" akibat bergawai ria, namun apakah kita pernah sadar bahwa mungkin saja justru kita yang sudah "sakit?"

Ada bagusnya memahami seberapa parahkah efek penggunaan gawai yang berlebihan, bagi diri kita.

Apakah kita merasa cemas, jika ponsel ketinggalan, atau entah berada di mana? Apakah kita merasa tidak nyaman, jika sinyal internet tiba-tiba menghilang? Apakah kita merasa khwatir, jika baterai gawai mati?

Jika iya, maka sebenarnya kita telah menderita penyakit yang disebut dengan Nomophobia (No Mobile Phobia) atau gangguan kecemasan akibat ketiadaan ponsel pintar.

Gejala yang kelihatan umum dan bisa dimaklumi ini ternyata telah menjadi penyakit sosial yang sudah menyebar ke seantero dunia.

Pada tahun 2019, dari total 7.7 milyar penduduk dunia, sekitar 3.2 milyar adalah pengguna ponsel pintar. Di Indonesia sendiri tercatat 132.7 juta orang dari 264 juta penduduk yang merupakan pengguna internet aktif.

Dengan kenyataan ini, dapat disimpulkan bahwa 1 diantara 2 orang penduduk dunia adalah pengguna gawai pintar, dan mereka semua adalah calon penderita Nomophobia.

Nah bagaimana mengetahui jika kita sudah masuk ke dalam kategori Nomophobia?

Berdasarkan kajian digital dari GFK Asia, rata-rata jumlah waktu yang digunakan oleh pengguna ponsel Indonesia adalah sebesar 5.5 jam per hari, dengan perincian:

Mengecek ponsel sebanyak 80 kali per hari, meng"klik" sebanyak 2617 kali setiap hari, dan mengunjungi sekitar 46 situs dan aplikasi dalam sehari.

Nah, mari kita berhitung (atau lebih tepatnya mengira-gira), apakah penggunaan ponsel berserta rincian aktivitasnya telah melebihi angka-angka tersebut?

Jika iya, maka kita adalah penderita Nomophobia.

Jika masih bingung, tidak perlu berargumen lagi, yang jelas, kita sudah mulai terbiasa (atau tidak sadar) mengecek ponsel ditengah-tengah obrolan, pada waktu makan, atau pada saat sedang berkumpul bersama keluarga. Dan semua ini ternyata adalah gejala Nomophobia.

Pertanyaan berikut, jika semua pengguna ponsel pintar adalah penderita Nomophobia, apakah hal ini bisa dimaklumi? Karena toh manusia tidak bisa bekerja tanpa gawai bukan?

Penulis yang juga termasuk Nomophobia, mempunyai sebuah kisah menarik. Pada tahun 2019, Indonesia pernah merasakan dunia tanpa internet. Hal ini diakui pemerintah, demi keamanan negara untuk menghentikan penyebaran berita palsu (hoax) pada saat demonstari besar terjadi di Ibu Kota.

Sebenarnya, jengkel juga sih, karena banyak pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan, akhirnya terhenti. Namun demikian penulis juga merasakan enaknya hidup tanpa akses internet.

Kerisauan yang muncul akibat Nomophobia hilang begitu saja karena penulis menyadari, bahwa dunia tanpa internet yang terjadi, tidak dialami sendiri. Hidup tetap berjalan normal, disaat tidak ada pilihan.

Contoh lain lagi adalah sang kakak ipar, yang terkenal gaptek. Entah mengapa, Ce Nita yang lulusan universitas ternama di kota Surabaya ini sangat anti pada yang namanya teknologi. Jangankan medsos, mengetik SMS dengan ponsel jadul saja tidak bisa.

Nah hidup sebagai seseorang yang gaptek, membuat dirinya dimaklumi. Tidak pernah eksis di dunia maya, membuat dirinya tidak pernah dicari. Jelas, Ce Nita bukanlah Nomophobia.

Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk menghilangkan Nomophobia? Menurut penulis, ada tiga cara yang terbaik, dan sangat sederhana, yaitu:

Pertama, Mengurangi Kebutuhan akan Gawai.

Mari kita lihat, ada berapa platform media sosial yang benar-benar kita butuhkan sebagai sarana bekerja, sosialiasi, dan informasi? Saran penulis, jika tidak terlalu butuh, maka sebaiknya ditinggalkan.

Saat ini, penulis hanya eksis pada tiga jenis platform media sosial saja. Dulunya sih, lebih dari lima, namun ternyata waktu yang digunakan untuk mengecek lini masa terasa lebih banyak daripada kebutuhan sebagai ajang interaksi.

Itupun pada platform "langganan" yang terdiri dari beberapa grup chat yang berbeda-beda, penulis hanya aktif pada grup keluarga dan beberapa grup tertentu yang memiliki hubungan personal saja.

Kedua, Mengurangi Kepentingan akan Gawai

Jika kita sudah terbiasa menggunakan beberapa platform yang berguna dan merasa sudah cukup, maka sebaiknya tidak lagi menambahkan platform baru.

Kita sering mendapatkan informasi mengenai munculnya platform baru yang lagi ngetrend, namun tidak lama berselang, eksistensinya kemudian hilang tertelan bumi.

Nah, terhadap jenis yang ini, penulis bahkan tidak pernah punya keinginan untuk mencobanya. Selain membuang waktu untuk memelajarinya, juga membuang waktu untuk mengikuti perkembangannya.

Ketiga, Mengurangi Ketergantungan akan Gawai

Semakin banyak platform yang terinstal pada gawai, maka semakin banyak waktu yang kita butuhkan untuk mengotak-atiknya. Sering tergoda dengan kebutuhan sesaat, akhirnya menimbulkan ketergantungan baru.

Dulu ada sebuah gim yang sangat menarik dan menyita perhatian penulis. Biasanya sih, gim tersebut hanya dimainkan pada saat sedang menganggur saja, namun lama kelamaan, gim tersebut justru menjadi bagian di tengah-tengah pekerjaan kantor.

Hingga suatu waktu, pada saat mengganti gawai, penulis lupa dengan kode sandinya. Akhirnya karena malas harus mengulang dari awal, penulispun memutuskan untuk tidak menginstalnya lagi. Banyaknya aplikasi pada gawai dapat menimbulkan ketegantungan yang tidak perlu. Menghilangkan kecanduan pada gawai bisa dilakukan dengan memilih aplikasi yang benar-benar terasa perlu saja.

Apakah ketiga tips sederhana ini lantas dapat menghilangkan Nomophobia pada penulis? Tidak juga, buktinya penulis masih merasa risau jika lupa membawa ponsel, dan juga masih saja ketagihan ngeblog di Kompasiana. Namun paling tidak penulis akan berkata dengan bangga:

"Dedek, sudah berhenti main game, di jaman papa dulu, tidak ada internet lho."

Sumber: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun