Negara kita memang kaya adanya, bukan hanya sumber alam, tapi juga budaya yang beraneka ragam. Termasuk kisah legenda, mitos dan aturan mistis yang masih berlaku.
Tidak dapat dipungkiri, sejauh-jauhnya kaki berjalan, belum bisa menjelajahi alam luas yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, termasuk hutan perawan dan juga Hutan Larangan.
Iya, Hutan Larangan adalah hutan yang dilarang masuk karena nilai sakral yang diyakini oleh masyarakat di sekitarnya, bukan berdasarkan vegitasi, bentang alam, atau sisi geografisnya.
Hutan larangan erat dengan tempat keramat, dimana dewa-dewi dan para ruh leluhur bersemayam. Hutan larangan terbentang di berbagai tempat di Indonesia, khususnya pada tempat-tempat yang terpencil.
Yang mengejutkan, ternyata eksistensi adat pada Hutan Larangan juga dilindungi oleh undang-undang NKRI. Tepatnya pasal 18B ayat 2, UUD 1945, yang berbunyi;
'Negara menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang'.
Memasuki hutan larangan, seseorang harus dibarengi dengan aturan tertentu berdasarkan sejarah, cerita turun-temurun dan kepercayaan mistis penduduk setempat.
Potensi yang membahayakan jiwa selalu menjadi alasan utama. Adanya binatang buas, tumbuhan beracun, kondisi alam yang berbahaya, tempat persembunyian para penjahat, bahkan markas siluman dan para dedemit.
Namun tidak jarang juga, kesakralan hutan larangan terkait erat dengan kepentingan budaya masyarakat setempat, seperti tempat kepercayaan spiritual  atau sumber daya alam tertentu yang menjadi kunci eksistensi lokal.
Merupakan salah satu kampung adat di desa Karangpaninggal, Kecamatan Tembaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dikenal dengan kampung seribu pantangan, taat dan patuh menjadi pegangan hidup bermasyarakat sejak ratusan tahun lamanya.
Berada pada lokasi Hutan Larangan, penduduk setempat menyebutnya sebagai Leweung Gede. Mereka memercayai bahwa Hutan Larangan tempat mereka berada, dulunya adalah peninggalan Kerajaan Galuh.
Salah satu contoh dari peraturan adat yang berlaku disana adalah masih mempertahankan bangunan rumah panggung berbahan dasar kayu dan bambu dan beratapkan kerai atau injuk.
Masyarakat lokal memercayai bahwa jika ada seseorang warga yang memaksa untuk membangun rumah dari tembok, maka akan ada musibah yang datang melanda.
"Pernah ada beberapa warga yang memaksa membangun rumah dari tembok. Warga itu meninggal. Jadi bangunan itu akhirnya dirobohkan dan diganti menjadi bangunan panggung seperti yang lainnya," ucap Karman, salah seorang sesepuh Kampung Adat Kuta. Â
Namun ternyata membangun rumah dari tembok, bukan hanya pamali saja. Kearifan lokal dengan prinsip bahwa segala sesuatu yang berasal dari alam tidak akan merusak alam sekitar.
Memang kelihatan aneh, hidup dengan larangan kuno di jaman modern ini. Bukannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan, seharusnya aturan dapat diakomodir dengan teknologi terkini?
Namun bagaimanapun juga eksistensi adat masih menjadi sebuah aturan yang lebih efektif, karena adanya sikap kepatuhan yang telah diwariskan sejak ribuan tahun lamanya.
Bagaimana dengan para pendatang? Apa yang akan terjadi, jika aturan adat ini dilanggar? Mungkin saja jika kedapatan, maka mereka akan "dideportasi" keluar desa.
Namun jika tidak kedapatan, apakah yang akan terjadi? Wallahu a'lam jawabannya.
Kita sudah sering mendengarkan bagaimana orang asing yang datang berkelana, hilang berhari-hari di dalam sebuah hutan angker. Penduduk setempat mengatakan bahwa dedemit dan setan penunggulah yang paling bertanggung jawab. Aduh... ngeri ya.
Mungkin bagi orang asing yang datang berkunjung kesana, aura mengerikan akan sagat terasa. Namun tidak bagi penduduk lokal yang tentunya sudah hidup berdamai dengan para dedemit.
Penulis membayangkan jika sedang berada disana.
Malam-malam sepi yang disertai suara binatang malam. Angin dingin berhembus membelai, bayangan putih terlihat sekilas, ihhhhh.... Jangan-jangan ada dedemit yang bisa bikin sesak nafas, flu, demam, dan batuk lagi.
Lho bukannya di kota juga banyak Corona yang bisa bikin sesak nafas? Oh iya ya betul juga ya, atau jangan-jangan inilah yang dimaksud oleh Presiden Jokowi dengan "Berdamai dengan Covid-19?"
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H