Ajaran Buddha bersifat konsisten, salah satunya tentang konsistensi mencintai kehidupan. Ajaran Buddha tidak pernah membuat standar ganda tentang mencintai kehidupan, seperti pada hukum alam yang selalu konsisten.
Lagipula, segala sesuatu berasal dari pikiran. Dengan mengembangkan kasih sayang tanpa kecuali, maka kita akan mulai melatih diri kita untuk menjadi orang yang penyayang tanpa kecuali.
Jika kita hanya mencintai manusia, bukan mahluk lainnya, maka akan tiba saatnya kita hanya akan mencintai manusia kaya, manusia hebat, manusia pintar.
Hal ini kemudian berkembang dan membuat pikiran kita mulai mengkotak-kotakan manusia berdasarkan hubungan, status, suku, ras, agama, dan lain sebagainya.
Ajaran Buddha dalam mencintai kehidupan disebut dengan metta atau cinta kasih yang mencintai semua kehidupan tanpa kecuali.
Waisak 2564 EB yang jatuh pada tahun ini mengangkat tema: "Persaudaraan Sejati Dasar Keutuhan Bangsa." Hal ini dianggap sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini yang sedang terancam perpecahan.
Baca juga : Sang Buddha Membangun Filosofinya Selama 49 Hari
Konstelasi politik, politik kesukuan, bahkan agama pun dianggap sebagai suatu perbedaan yang harus dipersoalkan. Padahal sila ke-3 Pancasila mengenai Persatuan Indonesia, jelas mengedepankan keberagaman sebagai sebuah kesatuan.
Sangha Theravada Indonesia (STI) menyoroti keberagaman yang ada di Indonesia yang dapat dijaga dengan persaudaraan sejati dan gotong-royong dengan mengembangkan cinta kasih.
"Persaudaraan muncul karena adanya cinta kasih dan kasih sayang, ingin hidup bersama sebagai sahabat karib, dan ingin sama-sama hidup dengan saling meringankan serta melenyapkan derita," demikian pernyataan STIÂ dalam pesan Waisak yang ditandatangani oleh Saghanyaka (Ketua Umum) Sangha Theravada Indonesia, Y.M. Sri Subhapao, Mahthera.
Mengembangkan cinta kasih, tidak lain, tidak bukan, hanya akan bisa terjadi jika setiap orang dapat merubah pandangannya dan menjadi pribadi-pribadi yang mencintai semua mahluk dengan tulus.