Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makna "Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta"

6 Mei 2020   21:46 Diperbarui: 7 Juni 2021   13:19 57657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta (Sumber: www.shutterstock.com)

"Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta"

Kalimat ini cukup familiar di kalangan Umat Buddha, selalu diucapkan di berbagai kesempatan, khususnya pada saat mengakhiri meditasi maupun mengkahiri khotbah Dhamma.

Memiliki makna "Semoga Seluruh Mahluk Hidup Berbahagia," kalimat ini seolah-olah sudah menjadi mantranya umat Buddha. Namun banyak yang tidak mengetahui, dari sekitar 10.000 Sutta Pitaka, kalimat ini hanya ditemukan pada satu sutta saja, yaitu Karaniyametta Sutta, beserta kitab komentarnya.

Jika memang demikian adanya, mengapa kalimat ini menjadi sangat penting? Mari kita mulai dengan membahas arti dari kalimat ini sendiri.

Baca juga : Buddha dalam Lingkaran Multilingualism

Kalimat "Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta" diterjemahkan sebagai "Semoga semua makhluk hidup berbahagia." Kalau dianalisis kata per katanya menjadi seperti berikut:

Sabbe: Semua

Satta: Makhluk

Bhavantu: Semoga menjadi

Sukhitatta: Bahagia dalam diri

Semua mahluk pada sutta ini, tidak terbatas pada manusia saja, tetapi juga binatang dan semua mahluk hidup. Baik yang tampak maupun tidak, terlahir maupun belum terlahir, kasar maupun halus, yang goyah dan kokoh, yang ada maupun tiada yang mengacu kepada obyek yang luas.

Nah, setiap ajaran agama pasti mengajari cinta kasih kepada sesama umat manusia, namun nampak bahwa ajaran cinta kasih dari agama Buddha memiliki jangkauan yang lebih luas. 

Salah atau benar, kita kembalikan kepada individu masing-masing, yang pasti, jelas adanya bahwa kalimat ini sungguh sangat berarti bagi penganut agama Buddha.

Baca juga : Agama Buddha Setelah Kematian Buddha Gautama

Untuk menjelaskan hal ini, penulis akan memberikan sedikit cerita sederhana yang diharapkan dapat memudahkan pemahaman terhadap cinta kasih kepada sesama mahluk hidup.

Suatu saat, seorang tamu sedang berkunjung ke sebuah vihara. Di ruang tamu, ada seorang Bhikkhu dengan beberapa umat lainnya. Di ruang tersebut, terdapat banyak semut.

Bhikkhu itu kemudian meminta agar semut-semut tersebut disapu agar sang tamu merasa nyaman dan juga agar tamu tersebut tidak membunuh semut-semut tersebut.

Para umat mulai mengikuti permintaan sang Bhikkhu dengan menyapu semut. Menyapu semut yang berkeliaran tidaklah mudah, memerlukan beberapa saat agar benar-benar bersih.

Merasa kasihan dan juga sedikit terganggu, sang tamu pun berkata "Bunuh saja semutnya, biar kita semua tidak susah."

Sang tamu yang memahami sedikit pemahaman mengenai mencintai kehidupan pun kemudian berpendapat bahwa semut itu menganggu ketentraman, kebersihan, dan juga kenyamanan hidup. Dengan demikian, maka membunuh semut juga sama dengan mencintai kehidupan.

Sang Bhikkhu yang mendengar ucapan tamu, kemudian ikut nimbrung. "Anda boleh mencintai kehidupan anda, namun apakah dengan mencintai kehidupan sendiri, anda harus membunuh mahluk lain?"

"Dengan tidak membunuh makhluk lain, sesungguhnya Anda bisa mencintai kehidupan anda, seperti makhluk-makhluk itu yang juga mencintai kehidupannya sendiri. Anda juga tidak ingin dibunuh, ketika mahluk lain menganggap anda berbahaya. Apakah hal itu yang Anda inginkan?"

Ajaran Buddha bersifat konsisten, salah satunya tentang konsistensi mencintai kehidupan. Ajaran Buddha tidak pernah membuat standar ganda tentang mencintai kehidupan, seperti pada hukum alam yang selalu konsisten.

Lagipula, segala sesuatu berasal dari pikiran. Dengan mengembangkan kasih sayang tanpa kecuali, maka kita akan mulai melatih diri kita untuk menjadi orang yang penyayang tanpa kecuali.

Jika kita hanya mencintai manusia, bukan mahluk lainnya, maka akan tiba saatnya kita hanya akan mencintai manusia kaya, manusia hebat, manusia pintar.

Hal ini kemudian berkembang dan membuat pikiran kita mulai mengkotak-kotakan manusia berdasarkan hubungan, status, suku, ras, agama, dan lain sebagainya.

Ajaran Buddha dalam mencintai kehidupan disebut dengan metta atau cinta kasih yang mencintai semua kehidupan tanpa kecuali.

Waisak 2564 EB yang jatuh pada tahun ini mengangkat tema: "Persaudaraan Sejati Dasar Keutuhan Bangsa." Hal ini dianggap sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini yang sedang terancam perpecahan.

Baca juga : Sang Buddha Membangun Filosofinya Selama 49 Hari

Konstelasi politik, politik kesukuan, bahkan agama pun dianggap sebagai suatu perbedaan yang harus dipersoalkan. Padahal sila ke-3 Pancasila mengenai Persatuan Indonesia, jelas mengedepankan keberagaman sebagai sebuah kesatuan.

Sangha Theravada Indonesia (STI) menyoroti keberagaman yang ada di Indonesia yang dapat dijaga dengan persaudaraan sejati dan gotong-royong dengan mengembangkan cinta kasih.

"Persaudaraan muncul karena adanya cinta kasih dan kasih sayang, ingin hidup bersama sebagai sahabat karib, dan ingin sama-sama hidup dengan saling meringankan serta melenyapkan derita," demikian pernyataan STI dalam pesan Waisak yang ditandatangani oleh Saghanyaka (Ketua Umum) Sangha Theravada Indonesia, Y.M. Sri Subhapao, Mahthera.

Mengembangkan cinta kasih, tidak lain, tidak bukan, hanya akan bisa terjadi jika setiap orang dapat merubah pandangannya dan menjadi pribadi-pribadi yang mencintai semua mahluk dengan tulus.

Untuk merubah dunia, mulailah dengan merubah diri sendiri.

Selamat Merayakan Hari Raya Waisak, 2564 EB. Semoga Seluruh Mahluk Hidup Berbahagia. Saddhu, Saddhu, Saddhu.

Sumber: 1 2 3

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun