Penulis tidak masuk dalam kategori komunitas WFH, sebagai pemilik usaha, sejujurnya penulis memiliki kebebasan lebih untuk mengatur jam kerja dan bekerja dari mana.
Nah dalam keseharian, karena rutinitas adalah membuka toko bahan kue, maka penulis lebih memilih untuk tetap berada di toko. Memang agak riskan sih di zaman pandemi, karena berhadapan dengan begitu banyaknya manusia.
Namun hati kecil yang melihat para pegawai "berjibaku" di lapangan, juga membuat hati penulis tidak tenang, jika harus WFH. Prinsipnya, penulis harus berada di lapangan sebagai komandan untuk selalu menjaga produktivitas bagi seluruh karyawan.
Namun ceritanya bisa berbeda pada saat penulis harus membawakan materi numerologi pada komunitas-komunitas yang mengundang. Mau tidak mau, aplikasi semacam Zoom, Hangouts dan Instagram harus menjadi perangkat kerja.
Pengalaman mengikuti dan membawa materi pada komunitas A-Z Ngopi (NGObrol Pinter) Charity membuat penulis pertama kali merasakan KDRT alias Kerja Dari Rumah Tangga.
Awalnya bingung, baju apa sih yang harus dikenakan? Jika membawa materi secara off-line, tentu busana lengkap sudah siap dalam lemari, namun membawa presentasi di depan laptop? Hmmmm...
Akhirnya penulis pun berdiskusi dengan Pak Mindiarto sang inisiator acara, jawabannya, "kamu ikut saja dulu sebagai peserta, dan lihat seperti apa nantinya." Oke, jadi peserta mah aman.
Penulis kemudian memutuskan untuk menggunakan kaos polo standar, dengan pertimbangan tingkat kesopanan tetap terjaga, meskipun celana masih tetap daleman boxer. (Toh gak kelihatan kan. Hihihi).
Wajah pak Mindiarto sebagai moderator muncul pertama di layar laptop, "halo Pak Min, bincang... bincang... bincang..." sambil memperhatikan apa yang dikenakan oleh beliau.
"Tenang saja Rud, kita kan WFH, Hahaha..."Â Ungkap Pak Min, seolah-olah memahami isi pikiran penulis. Â
Iya, rambut gondrong dan brewok tanpa pangkas berada pada layar, Baju? Hmmm, tidak terlalu kelihatan, namun yang pasti bukanlah jas seperti jika beliau sedang tampil membawa materi depan panggung.
Celana? Sudah pasti daleman boxer. (Toh gak kelihatan kan. Hihihi).
Satu persatu layar kecil muncul pada aplikasi Zoom, berbagai nama yang belum dikenal tampil dibawah layar mengikuti wajah-wajah yang buram, mungkin akibat koneksi yang belum stabil.
"Selamat malam, halo apa kabar, terima kasih sudah hadir" suara bersahut-sahutan terdengar. Penulis yang masih asing dengan komunitas ini, kemudian mencoba beradaptasi.
Sambil ikut meramaikan, mata penulis tertuju pada tampilan. Hasilnya, rambut gondrong, brewok tak tercukur, wajah gelap, baju kusam, dan tanpa make-up.Â
Kesimpulan pertama; WFH memberikan kebebasan bagi peserta untuk berpakaian apa saja.
Kesimpulan kedua; koneksi internet gak jelas, gambar buram.
Kesimpulan ketiga; lampu buram, suasana rumah gelap, dan ribuan alasan lainnya yang sengaja dikondisikan agar wajah peserta tidak kelihatan, biar aman.
Nah dengan demikian maka sebenarnya WFH tidak memerlukan aturan selayaknya bekerja seperti biasa. Namun, apakah itu akan memengaruhi performa kerja?
Kutipan dari professor Carolyn Mair, penulis The Psychology of Fashion, "Yang lebih penting dari pakaian yang kita kenakan adalah membantu kita merasa baik."
Menurut penulis, hal ini penting untuk membuat kita lebih produktif. Produktivitas sangat berhubungan dengan masalah psikologi. Bagaimana mungkin kita dapat bekerja dengan baik, jika kita sendiri merasa tidak siap?
Perlu juga diketahui bahwa salah satu kendala WFH adalah tiadanya batasan antara pekerjaan rumah dan kantor. Banyak wanita (dan juga mungkin pria) yang terpaksa harus memainkan dua peranan yang berbeda.
Sebagai pekerja dan ibu (atau bapak) rumah tangga, dalam keadaan normal, kehadiran diri di rumah menandakan "sudah saatnya berdedikasi untuk rumah tangga ~ Tinggalkan seluruh kepenatan yang muncul dari kantor."
Tanda-tanda kehadiran biasanya akan membuat sang buah hati senang, "yeee... bunda lagi libur."Â Nah disinilah kadang susah bagi kita untuk menjelaskan kepada si kecil, bahwa "bunda sedang bekerja, hanya saja dari rumah."
Belum lagi urusan-urusan sepele yang harus diurusi, "sayur... sayur..." atau balon lampu yang putus, atau televisi yang tidak bisa menyala. Nah sebagai yang bertanggung jawab di rumah, mustahil hal sepele tersebut tidak diurusi.
Oleh sebab itu berdandan seolah-olah sedang berada di kantor, juga memberikan sebuah batas psikologi bagi sang buah hati maupun mba ati, bahwa kita sedang bekerja. Semacam kode keras, bahwa "hai jangan ganggu aku."
Tidak dapat dipungkiri, bahwa pola pikir juga menentukan produktivitas. Pada saat bekerja secara normal, ada semacam "ritual" pagi yang biasa dilakukan, seperti mandi pagi, sarapan, ngopi, dan berdandan.
Hal seperti itu dapat menjadi semacam persiapan mental bahwa "hei aku sedang bekerja." Tidak masalah untuk tetap melakukan ritual tersebut agar kita dapat tetap fokus kepada work-life yang sedang berjalan.
Yang terakhir namun tidak kalah penting. Conference call adalah bagian yang tak terpisahkan dari WFH. Urusan ini akan menjadi sangat penting karena menggantikan rutinitas meeting yang biasa dilakukan di kantor.
Nah jika anda menerima pesan sewaktu-waktu untuk conference call, maka anda tidak perlu meredupkan lampu, buru-buru cukur, atau mengambil handuk untuk nutupin daleman boxer.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H