Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jika Tjipto Mangunkusumo Hidup di Zaman Corona, Apa Akan Mengatakan "Kiss My Ass" kepada Pemerintah?

30 April 2020   13:57 Diperbarui: 30 April 2020   14:19 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dr. Tjipto Mangunkusumo (Sumber: today.line.me)

Jika saja dr. Tjipto Mangunkusumo masih hidup atau sedang bereinkarnasi di jaman Corona, entah apa yang ada dalam pikirannya. Sebagai bumiputera yang bergelar dokter, tentulah bukan hal yang mudah pada jamannya. Namun sebagai dokter yang membumi, apakah akan terasa mudah pada jaman ini?

Sebagai pejuang nasional, dr. Tjipto Mangunkusumo bukanlah orang yang disenangi oleh kaum Belanda. Menolak pekerjaan dalam jawatan Belanda, dan memilih untuk masuk ke sekolah kedokteran STOVIA. Tujuannya hanya satu, agar ilmunya dapat digunakan bagi rakyatnya sendiri.

Mendapat perlakuan diskriminatif di STOVIA, dr. Tjipto Mangunkusumo semakin mendapatkan kebebasan berpikir dan berkespresi. Setelah lulus kuliah, sang dokter kemudian menjalani masa dinas pemerintah. Karya tulisannya yang dibuat untuk koran lokal di Semarang, membuat dirinya dibenci oleh Belanda.

Hingga tahun 1910, ketika wabah pes merebak di Malang. Penyakit yang cepat menular dan sulit disembuhkan karena keterbatasan sarana medis ini kemudian menggoyah hati sang pejuang. dr. Tjipto Mangunkusumo menjadi pendaftar pertama sebagai dokter dinas pemerintah.

Saat itu, situasi memang sulit, tidak banyak dokter bumiputera, namun dokter Belanda juga tidak berani mengambil resiko turun ke kampung-kampung untuk mengobati penderita yang pada umumnya adalah kaum bumiputera.

Jangankan pada saat wabah pes merebak, dalam keseharian mereka saja, bersentuhan dengan kaum bumiputera pun ogah. Namun keberadaan kaum bumiputera di tanah jajahan juga memiliki peranan penting bagi pemerintahan kolonial.

Masa itu dikenang sebagai masa yang penuh rasisme. Yang kulit putih sangat ditopang oleh kehidupan nyaman dari eksploitasi manusia. Yang berkulit coklat dibutuhkan sebagai babu dan kuli, sementara yang berkulit putih bening dijadikan gundik.

Itulah sebabnya jika maut hitam dibiarkan terus berlangsung, maka buruh-buruh kasar perkebunan, pertambangan mineral dan infrastruktur jalan yang membawa arus duit kolonial akan terancam nyata.

Kepedulian dr.Tjipto Mangunkusumo beserta kawan dokter bumiputera lainnya, yaitu dr. Soetomo membawa manfaat yang sama, baik bagi kaum bumiputera maupun kolonial. Namun bagi beliau kemanusiaan bagi bangsanya adalah diatas segalanya, adapun kebaikan yang nanti akan didapatkan oleh kaum kolonial, tidak menjadi kepeduliannya.

Hal ini terungkap dalam pidato pada masa pengasingannya di Den Haag, Belanda tahun 1914. "... adalah tidak bertanggungjawab membiarkan beribu-ribu orang jatuh jadi korban pes dengan harapan wabah itu akhirnya menjadi bosan sendiri minta korban orang Jawa. Tidak. Kita tidak boleh lengah!"

"Selama Malang masih merupakan pusat wabah pes, ujarnya, selama itu pula Hindia Belanda dalam 'ancaman bahaya' besar."  

Sikap heroik dr.Tjipto Mangunkusumo yang masuk ke pelosok dengan tidak menggunakan masker, dan APD lengkap, hanya membuat para dokter kolonial geleng-geleng kepala.

Meskipun sebagai seorang dokter terpelajar, tindakan tersebut dianggap nekat, namun banyak yang mengatakan bahwa sang dokter sendiri sudah menyerahkan dirinya kepada nasib dan tidak memikirkan keselamatannya lagi.

Namun ternyata nasib menceritakan lain, atas jasanya memberantas pes, beliau kemudian dianugrahi penghargaan Ridder in de Order van Oranje Nassau dari Ratu Belanda pada saat itu.

Pada tahun 1912, Solo juga dilanda pes, namun pemerintah Belanda melarangnya ikut memberantas pandemi itu. Hal ini yang kemudian membuatnya kesal.

Kekesalannya membuat dirinya akhirnya enggan menerima penghargaan dari ratu Belanda dan mengembalikannya ke Batavia. Dalam perjalanan, piagam tersebut ditaruh dibelakang punggungnya, sehingga jika ada serdadu Belanda yang diharuskan menghormati tanda kehormatan Ratunya, maka pantat dr. Tjipto Mangunkusumo pun ikut-ikutan menikmati.

Sikap patriotis dr. Tjipto Mangunkusumo tidak perlu diragukan lagi, namun sifat humanisnya membawa contoh kehidupan yang tak terkira.

Banyak cerita kemanusiaan yang terjadi dalam kisah memberantas wabah pes di Malang. Situasi sulit terjadi dimana-mana. Kematian manusia dan tikus sama banyaknya. Barak-barak rumah sakit untuk bumiputera yang mengenaskan dipenuhi oleh penderita yang terlentang penuh sesak.

Beratus-ratus rumah harus dibakar, bagai membakar sarang tikus untuk mencegah penularan. Di suatu hari, sang dokter mendengarkan tangisan bayi perempuan dalam rumah yang akan dibakar.

dr. Tjipto Mangunkusumo pun kemudian mengadopsi sang bayi perempuan yang ditinggalkan oleh seluruh keluarganya itu. Sang bayi perempuan pun diberikan nama pesjati yang kemudian tumbuh dan merawat sang dokter hingga akhir hayat hidupnya.

Pada cerita lainnya, sang dokter legenda ini selalu memiliki perhatian khusus kepada pasiennya, khususnya anak-anak. Pasien yang bawel akan selalu dihadiahi dengan permen atau mainan.

Pernah suatu waktu pada saat tinggal di Bandung, beliau sedang berjalan-jalan di perkampungan. Beliau kemudian menemukan anak kecil dekil merangkak seorang diri. Si anak dibawa pulang lalu dimandikan oleh istrinya Ny. Vogel, diberi pakaian yang layak, susu yang sehat, dan bekal makanan sebelum dibawa pulang kembali ke rumah orang tuanya.

Lembut bagaikan domba, tegas bagaikan harimau, itulah sikap yang dapat dilukiskan dari seorang dr. Tjipto Mangunkusumo. Terhadap masalah kemanusiaan, beliau tidak segan-segan berkorban, namun jika berhadapan dengan pemerintah tirani, beliaupun tidak segan-segan menunjukkan taringnya.

Bersama Erners Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara, dr. Tjipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij di Bandung. Mereka kemudian dikenal sebagai "Tiga Serangkai."

Pada tahun 1913, Ketika Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaan dari Perancis, suratkabar Indische Partij De Expres menerbitkan pamflet Soewardi berjudul "Als ik een Nederlander was" atau "Seandainya Aku Seorang Belanda" pada edisi 13 Juli 1913. Hasilnya, Kerajaan Belanda marah besar, dan beliau diasingkan.

Keteladanan dr. Tjipto Mangunkusumo yang diganjar dengan gelar pahlawan Nasional seharusnya membuka mata Indonesia bahwa pengabdian tanpa kenal lelah sebagai seorang dokter, telah melewati batas professionalisme.

Namun hal terpenting lagi adalah kepahlawanan beliau dalam melawan ketidakadilan dan penindasan yang tidak kenal batas melawan penjajah kolonial Belanda harus diberikan sepuluh acungan jempol.

Zaman telah berlalu dan usia Indonesia telah hampir mencapai 75 tahun kemerdekaan. Tatanan masyarakat telah berubah, kolonialisme sudah bukan isu utama lagi. Namun yang tetap sama adalah bahaya penyakit yang mewabah.

Jika beliau masih hidup, bagaimanakah ia dalam melihat kebandelan rakyatnya terhadap aturan PSBB? Apakah hatinya akan terluka dengan penolakan jenasah Covid? Apakah beliau akan menangis terhadap tindakan diskriminasi terhadap kaum medis? Dan...

Seperti apa pernyataannya dalam melihat kebijakan pengambil keputusan saat ini dalam menangani pandemi Covid-19? Apakah "Kiss My Ass" seperti pada saat ia mengembalikan penghargaan Ridder in de Order van Oranje Nassau?

Tentu tidak, apa yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk bangsa dan negara ini adalah yang terbaik adanya. Semoga Anda Setuju.

***

SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

---

Sumber: 1 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun