Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

La Peste (Sampar), Ketika Wabah Kematian Adalah Orgasme yang Mengerikan

4 April 2020   17:10 Diperbarui: 4 April 2020   17:33 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: commons.wikimedia.org

Wabah datang melanda, sebab penyakit tidak diketahui. Tidak pandang bulu, anak tanpa dosapun menjadi korban. Mereka yang terkena penyakit, hanya dapat disingkirkan dan dikucilkan.

Pembiaran terjadi, menunggu keajaiban hingga maut menjemput. Kehidupan adalah urusan manusia, namun kematian adalah kuasa Tuhan.

Kadang apa yang tidak terurus oleh manusia, mungkin atas nama Tuhan malaikat pencabut nyawa dibutuhkan.

Jikalau harus memilih, maka para bangsawanlah yang pantas diselamatkan. Dokter tidak lagi menjadi ahli medis, mewakili Tuhan ditengah ketidak berdayaan. Selama Tuhan belum memunculkan wajahNya, para penguasalah yang bertindak sebagai pejabat sementara.

Dikala wabah penyakit adalah sebuah hal yang absurd, maka kematian menjadi sangat menakjubkan, minimal itulah yang muncul dalam benak Albert Camus (1913-1960) peraih hadiah nobel 1957, melalui karya novelnya yang berjudul La Peste (Perancis), The Plague (Inggris) atau Sampar dalam Bahasa Indonesia.

Wabah pes yang menyerang Eropa di abad ke-13 menjadi ilham bagi sang penulis dan juga masyarakat dunia yang tiba-tiba tertarik dengan karya sastra ini. Bagaimana tidak?

Dalam sebuah situasi yang penuh ketidakpastian akan penderitaan, dikala medis dan pemerintah belum bisa memberikan jawaban akhir yang memuaskan, manusia akan tergerak untuk mencari referensi dari masa lalu.

Referensi itu berupa karya literatur sebagai saksi sejarah yang pernah ada, baik dalam bentuk jurnal ilmiah, ataupun karya fiksi. Hal ini dibutuhkan untuk  memenuhi nafsu fantasi liar terhadap modul (perkiraan bentuk) berakhirnya sebuah musibah.

Namun fantasi liar tidak akan puas dengan sebuah jawaban singkat saja. Seluruh proses penderitaan yang mengikuti harus terpenuhi dalam benak, sebagaimana sebuah kisah erotis yang tidak akan lengkap tanpa adanya (maaf) foreplay yang dahsyat.

Sayangnya karya Albert Camus ini bukanlah seperti karya Nick Carter yang menggairahkan.

Orgasme dilukiskan sebagai sebuah keindahan maut yang diwakili oleh seekor tikus perengut nyawa ribuan manusia.

Foreplay dilukiskan sebagai sentuhan para dokter yang menjadi kaki tangan penguasa untuk menyingkirkan warga yang terkena penyakit.   

Dengusan nafas yang terengah-engah, memeluk mesra badai pandemi Covid-19, membuat kita waspada, akankah mahakarya Camus menjadi sebuah kenyataan?

Ternyata Wabah pes yang menyerang Eropa di abad ke-13, juga menyebar sampai ke Kabupaten Malang dengan jumlah korban berjatuhan sangat banyak.

Apa yang terjadi di Eropa menjadi ilham dari penulis dan filsuf Prancis keturunan Aljazair ini terpesona, tidak beda jauh dengan apa yang terjadi di bumi Nusantara pada era kolonial.

Masyarakat asli dipandang sebagai nomer kesekian kalinya oleh Pemerintah Hindia Belanda atas kejadian wabah pes di tahun 1911. Dokter Belanda yang seharusnya terikat sumpah untuk menyelamatkan nyawa manusia enggan turun ke desa-desa untuk meninjau apalagi mengobati, karena takut tertular.

Mereka lebih memilih banteng pertahanan di Kawasan Klojen yang teratur dengan air yang bersih, dan bertindak sebagai pelindung warga Eropa yang belum tentu terkena dampak Pes yang mematikan.

Demikian pula dengan fasilitas medis yang diskriminatif, misalnya barak medis bagi orang Eropa yang lebih bagus dan bersih, dibandingkan dengan milik pribumi yang atapnya terbuat dari rumbia.

Dikala superioritas bangsa Eropa yang diagung-agungkan pada saat itu takut dengan kematian, muncullah pahlawan sebenarnya yang mengedepankan kemanusiaan diatas segala-galanya.

dr Cipto Mangunkusumo, dr. Sutomo, dan dr. Sudirman turun lagsung ke Malang di Jodipan, Kabalen, Kasin, Temenggungan, dan Pecinan, bekerja keras sebagai sukarelawan kemanusiaan dan berjasa mengatasi wabah pes.

Sumber: Jpnn.com
Sumber: Jpnn.com
Bukan hanya mengobati dan menyembuhkan, dr. Cipto Mangunkusumo juga menunjukkan eksistensi sebagai manusia dengan melakukan tindakan kemanusiaan, seperti memungut seorang anak perempuan yang ditinggal pergi oleh kedua orangtuanya yang meninggal akibat penyakit pes.

dr. Cipto Mangunkusumo mendapat bintang jasa Navau Van Oranje yang kemudian ditolaknya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda terhadap rakyat sebangsanya.

Karya fiksi Albert Camus menyampaikan bahwa dalam kondisi absurditas terjadi, dan superioritas diuji, tidak ada pesan moral yang terwakili. Situasi kengerian ditengah kepanikan, digambarkan sebagai sebuah karya seni.

Semoga kondisi yang pernah dialami di Bumi Nusantara ini tidak salah mengilhami para pengambil keputusan. Sikap heroik para dokter Nusantara berada ditengah sikap "berlogika" penguasa pada saat itu.

Menyelamatkan ribuan nyawa melalui sikap heroik kadang sangat sulit dibedakan dengan pembiaran untuk menyelamatkan ribuan nyawa lainnya.

Semoga teori Herd Immunity yang santer terdengar tidak menjadikan kematian sebagai sebuah karya seni. Adalah naif jika menyamakan pemerintah kolonial dengan pemerintah berdaulat yang dipilih oleh rakyatnya sendiri.    

Ibu kota yang ditinggalkan oleh para pemudik, tentu bukan "Kawasan Klojen yang teratur dengan air yang bersih" dan kampung halaman yang dituju tentu tidak beratapkan rumbia, namun kisah perjalanan para pemudik adalah sebuah foreplay mendebarkan dalam kisah erotis yang menegangkan.

Semoga Bangsa Indonesia dapat terhindari dari segala mara bahaya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi kita semua. Amin.

Sumber:

https://www.malangtimes.com/baca/24537/20180130/091030/keganasan-pes-di-kabupaten-malang-pernah-membuat-camus-terpesona-maka-lahirlah-la-peste

https://www.theglobeandmail.com/arts/books/article-the-hope-at-the-heart-of-albert-camuss-plague-novel-la-peste/

https://geotimes.co.id/komentar/corona-camus-dan-situasi-kita/

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun