Wabah datang melanda, sebab penyakit tidak diketahui. Tidak pandang bulu, anak tanpa dosapun menjadi korban. Mereka yang terkena penyakit, hanya dapat disingkirkan dan dikucilkan.
Pembiaran terjadi, menunggu keajaiban hingga maut menjemput. Kehidupan adalah urusan manusia, namun kematian adalah kuasa Tuhan.
Kadang apa yang tidak terurus oleh manusia, mungkin atas nama Tuhan malaikat pencabut nyawa dibutuhkan.
Jikalau harus memilih, maka para bangsawanlah yang pantas diselamatkan. Dokter tidak lagi menjadi ahli medis, mewakili Tuhan ditengah ketidak berdayaan. Selama Tuhan belum memunculkan wajahNya, para penguasalah yang bertindak sebagai pejabat sementara.
Dikala wabah penyakit adalah sebuah hal yang absurd, maka kematian menjadi sangat menakjubkan, minimal itulah yang muncul dalam benak Albert Camus (1913-1960) peraih hadiah nobel 1957, melalui karya novelnya yang berjudul La Peste (Perancis), The Plague (Inggris) atau Sampar dalam Bahasa Indonesia.
Wabah pes yang menyerang Eropa di abad ke-13 menjadi ilham bagi sang penulis dan juga masyarakat dunia yang tiba-tiba tertarik dengan karya sastra ini. Bagaimana tidak?
Dalam sebuah situasi yang penuh ketidakpastian akan penderitaan, dikala medis dan pemerintah belum bisa memberikan jawaban akhir yang memuaskan, manusia akan tergerak untuk mencari referensi dari masa lalu.
Referensi itu berupa karya literatur sebagai saksi sejarah yang pernah ada, baik dalam bentuk jurnal ilmiah, ataupun karya fiksi. Hal ini dibutuhkan untuk  memenuhi nafsu fantasi liar terhadap modul (perkiraan bentuk) berakhirnya sebuah musibah.
Namun fantasi liar tidak akan puas dengan sebuah jawaban singkat saja. Seluruh proses penderitaan yang mengikuti harus terpenuhi dalam benak, sebagaimana sebuah kisah erotis yang tidak akan lengkap tanpa adanya (maaf) foreplay yang dahsyat.
Sayangnya karya Albert Camus ini bukanlah seperti karya Nick Carter yang menggairahkan.
Orgasme dilukiskan sebagai sebuah keindahan maut yang diwakili oleh seekor tikus perengut nyawa ribuan manusia.