Foreplay dilukiskan sebagai sentuhan para dokter yang menjadi kaki tangan penguasa untuk menyingkirkan warga yang terkena penyakit. Â Â
Dengusan nafas yang terengah-engah, memeluk mesra badai pandemi Covid-19, membuat kita waspada, akankah mahakarya Camus menjadi sebuah kenyataan?
Ternyata Wabah pes yang menyerang Eropa di abad ke-13, juga menyebar sampai ke Kabupaten Malang dengan jumlah korban berjatuhan sangat banyak.
Apa yang terjadi di Eropa menjadi ilham dari penulis dan filsuf Prancis keturunan Aljazair ini terpesona, tidak beda jauh dengan apa yang terjadi di bumi Nusantara pada era kolonial.
Masyarakat asli dipandang sebagai nomer kesekian kalinya oleh Pemerintah Hindia Belanda atas kejadian wabah pes di tahun 1911. Dokter Belanda yang seharusnya terikat sumpah untuk menyelamatkan nyawa manusia enggan turun ke desa-desa untuk meninjau apalagi mengobati, karena takut tertular.
Mereka lebih memilih banteng pertahanan di Kawasan Klojen yang teratur dengan air yang bersih, dan bertindak sebagai pelindung warga Eropa yang belum tentu terkena dampak Pes yang mematikan.
Demikian pula dengan fasilitas medis yang diskriminatif, misalnya barak medis bagi orang Eropa yang lebih bagus dan bersih, dibandingkan dengan milik pribumi yang atapnya terbuat dari rumbia.
Dikala superioritas bangsa Eropa yang diagung-agungkan pada saat itu takut dengan kematian, muncullah pahlawan sebenarnya yang mengedepankan kemanusiaan diatas segala-galanya.
dr Cipto Mangunkusumo, dr. Sutomo, dan dr. Sudirman turun lagsung ke Malang di Jodipan, Kabalen, Kasin, Temenggungan, dan Pecinan, bekerja keras sebagai sukarelawan kemanusiaan dan berjasa mengatasi wabah pes.
dr. Cipto Mangunkusumo mendapat bintang jasa Navau Van Oranje yang kemudian ditolaknya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda terhadap rakyat sebangsanya.