Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar Memaafkan dari Adat Istiadat Suku Babemba di Afrika

18 Maret 2020   14:48 Diperbarui: 22 Maret 2020   21:39 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun bagaimanapun, adat istiadat tidak akan hilang, meski dilindas oleh waktu. Banyak ahli yang menyarankan untuk melakukan proses asimiliasi dalam menjaga kelangsungan adat istiadat. Intinya agar manusia tidak melupakan kehadiran leluhur yang memaknai keberadaan.

Sikap seperti ini bukan saja hanya untuk menghormati eksistensi, namun juga sarat dengan pesan moral yang dapat menjadi contoh kehidupan.

Lain Suku Sharo, lain pula Suka Babemba. Sama-sama berada di benua afrika, pendekatan kemanusiaan yang diambil sama sekali berbeda.

Seperti pada Tradisi Penghukuman Melalui Bisikan Semangat.

"Yang paling aku ingat, di saat kami sekeluarga kelaparan kamulah satu-satunya yang membawakan daging buruan."

"Bagaimana aku bisa melupakanmu, dirimulah yang menyelamatkanku dari terkaman harimau."

"Engkaulah satu-satunya yang membelaku, ketika aku difitnah oleh warga sekampung."

Kata-kata seperti contoh di atas, lazim dibisikkan ke dalam telinga terdakwa Suku Babemba yang memiliki sebuah adat istiadat yang unik untuk menghukum warganya yang terbukti melanggar adat.

Sang terdakwa kemudian digiring ke atas puncak gunung dan diikuti oleh seluruh warga desa. Setelah ritual adat dijalankan, seluruh warga berdiri mengelilinginya dan maju bergiliran membisikkan hal-hal baik yang pernah dilakukan oleh sang terdakwa.

Bukanlah cacian, tuduhan, apalagi hinaan, semuanya harus berisi jasa-jasa kebajikan yang pernah dilakukan oleh sang terdakwa. Setelah seluruh hukuman selesai, sang terdakwa pun ditinggalkan seorang diri untuk merenung.

Membaca adat istiadat suku Babemba ini, nalar kembali terkikis, bahwa tidak semua hal dapat terlekang oleh waktu. Coba lihat di sekeliling kita, bagaimana kita memaknai sebuah hukuman? Jangankan mengatakan hal yang baik, untuk tidak marah saja rasanya pelik, apalagi hinaan dan makian, tidak akan pernah lebih dari cukup. Atas nama hati yang terpuaskan, semuanya destruktif adanya.

Kita mengharapkan adanya perubahan dengan penghukuman, namun apa daya yang muncul hanyalah balas dendam yang tiada berkesudahan. Pernahkah terpikir dalam diri kita, bahwa sebenarnya setiap manusia berhak untuk menjadi lebih baik lagi?

Separah apapun hal yang telah dilakukan, sekecil apapun penyesalan yang dimiliki, bukanlah orang lain yang menentukan perubahan nurani.

Ancaman, kutukan, hinaan tidak akan membawa perubahan yang lebih baik bagi siapapun. Setiap orang dapat berbuat salah, namun hanya sedikit yang dapat mengakui kesalahannya, dan lebih sedikit lagi yang dapat memaafkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun