Virus Corona memasuki babak terbaru. Sejak mulai diumumkan resmi oleh pemerintah China pada tanggal 31 Desember 2019, pada tanggal 11 Maret 2020, WHO resmi mengumumkan status pandemi bagi virus ini.
Kasus Corona memang jika dibandingkan dengan virus sejenis lainnya (SARS, MERS, dan H1N1) masih memiliki fatality rate yang lebih rendah, namun kecepatan menular virus inilah yang membuat dunia menjadi panik.
Dampak yang terjadi menjalar ke seluruh sektor, mulai dari ekonomi sampai dengan stabilitas keamanan. Dampak psikologi juga berpengaruh besar terhadap masalah sosial kemanusiaan. Manusia tidak lagi melihat manusia sebagaimana seharusnya.
Jika ditelaah, virus Corona sudah mengakibatkan kekacauan terbesar dunia sepanjang sejarah, bahkan melebihi perang dunia yang pernah terjadi. Hmmm...
Jika tidak terlalu berlebihan, bisakah kita menyamakan pandemi Corona sebagai tanda-tanda akhir zaman? Sebaiknya tidak, meskipun ada baiknya mengetahui sebuah fenomena yang muncul terkait kepercayaan akan tibanya akhir zaman.
Adalah sebuah Gerakan dari sekelompok manusia yang selalu bersiaga untuk menghadapi kondisi terparah yang berisikan berbagai macam cara menghadapi skenario akhir zaman.
Gerakan ini disebut dengan Survivalism atau istilah kerennya Preppers. Mereka selalu menyiapkan berbagai jenis bahan makanan, obat-obatan, kebutuhan hidup, dan juga melatih diri dalam keahlian medis, bela diri, dan cara hidup sendiri di tengah belantara.
Gerakan ini melakukan banyak persiapan atas kondisi terburuk yang bisa saja terjadi, bahkan untuk kondisi yang tidak mengakibatkan kiamat sekalipun, seperti cuaca ekstrim, kehilangan pekerjaan, kehancuran ekonomi dunia dan juga wabah virus.
Gerakan yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat pada sekitar tahun 1930 muncul akibat dampak krisis The Great Depresion, yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaan dan langkanya bahan makanan.Â
Namun Gerakan ini menjadi lebih popular atas ketakutan perang nuklir pada saat perang dingin di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet berlangsung.
Beberapa Survivalism bahkan telah mengambil langkah yang lebih jauh lagi dengan membangun bunker-bunker perlindungan. Meskipun banyak yang mencibir, namun para Preppers tetap percaya bahwa mereka melakukan hal yang benar.
Para Preppers sekarang menjadi terkenal, karena ditengah kondisi panic buying, mereka telah memiliki apa yang dibutuhkan selama berbulan-bulan.
Nander Knobben, salah seorang Prepper asal Belanda, mengaku dirinya banyak dimintai bantuan untuk menyediakan supplai perlengkapan bertahan hidup yang mulai langka di pasaran. Beberapa di antaranya seperti makanan siap saji, radio, baju hazmat, masker gas, hingga filter air.
Demikian pula dengan Lincoln Miles, prepper asal Inggris yang mengatakan bahwa dalam 3 bulan terakhir telah menjadi sangat terkenal. Dicari orang-orang untuk belajar tips bertahan hidup. Penjualan perlengkapan survival miliknya pun meningkat 20 kali lipat.
Journal of Marketing Management pada tahun 2019, menuliskan bahwa Prepper adalah sebuah sub kultur yang mulai terbangunkan setelah manusia semakin sadar akan bergeraknya Jam Kiamat (Doomsday Clock), yang merupakan sebuah simbol bagi Gerakan Survivalism ini.
Prepper yang dulunya dipandang sebagai sebuah sikap paranoid yang berlebihan, sekarang mulai mendapatkan tempat di tengah masyarakat. Dengan pandemi virus Corona, keberadaan mereka semakin dihormati. Berada di tengah krisis, memiliki suplai untuk bertahan hidup, adalah langkah yang rasional.
Sebuah laporan pada tahun 2017 yang dikeluarkan oleh U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), menyatakan bahwa hampir 50% keluarga di Amerika Serikat bahkan tidak memiliki kotak P3K di dalam rumah.Â
Sementara para Preppers bahkan telah menyiapkan ransel siap angkat yang berisikan berbagai peralatan untuk bertahan hidup di rumah masing-masing.
Bagaimana dengan Gerakan Preppers di Indonesia, sayangnya setelah penulis melakukan penelusuran, hanya terdapat sebuah akun facebook dengan nama Doomsday Prepper Indonesia Public Group. Tidak ada informasi lainnya.
Harus jujur, bahwa dalam situasi panik global, sangat sulit untuk tidak terlibat dalam panic buying, terlebih lagi pola hidup kota yang selalu mengandalkan ketersediaan jasa dan pelayanan yang dapat berhenti setiap saat, seperti contoh dalam kasus lockdown di beberapa negara.
Namun bertahan diri di tengah kepanikan kadang tidak harus dilakukan dengan memperbanyak stok bahan makanan di rumah, lagipula di tengah kepanikan, apakah kita dapat menentukan barang apa yang harus dibeli? Atau jangan-jangan hanya akan menjadi sampah kadaluwarsa nantinya.
Kita harus bisa membedakan sikap paranoid dan antisipatif. Informasi yang simpang siur atau yang lebih dikenal dengan nama infodemics juga menjadi sebuah wabah baru di tengah wabah virus Corona.
Harus diakui, Gerakan Prepper telah menjadi sebuah pola pikir yang selangkah lebih maju, namun ditengah-tengah kepanikan, menjadi seorang Preppers masih belum terlambat. Caranya adalah dengan melakukan persiapan secara bijaksana dengan menyediakan apa yang betul dibutuhkan tanpa harus menjadi panik.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H