Sebuah pesan masuk di Grup WA penulis, mengenai uang koin yang harus diwaspadai sebagai media penyebaran virus Corona.
"Disarankan agar membawa kantong plastik kecil pada saat berbelanja. Tidak memegang uang koin kembalian dan dimasukkan kedalam kantong plastik. Setelah ada kesempatan barulah uang tersebut dijemur di matahari selama minimal 30 menit."
Penulis tidak mau mengambil resiko dengan menyebarkan berita hoax, dan menemukan sebuah artikel bahwa memang benar logam adalah salah satu media penyebaran virus Corona. (sumber)
"Apabila menempel di permukaan logam, virus corona dapat hidup selama 12 jam. Mencuci tangan dengan sabun dan air sudah cukup. 4. Apabila menempel di kain, virus corona dapat hidup selama 9 jam, sehingga mencuci pakaian atau menjemurnya di bawah sinar matahari selama 2 jam sudah cukup untuk membunuhnya."
Jangan terlalu parno, uang koin hanya salah satu media dari logam yang dapat menjadi tempat menempelnya virus, begitu pula dengan pintu besi, wastafel, pagar besi, dan lain sebagainya.
Cara yang terbaik tetap adalah mencuci tangan dan mengurangi resiko penyebaran melalui saran-saran yang sudah banyak diberikan. Namun kondisi uang koin ditengah maraknya penyebaran virus Corona tetap menggelitik hati yang sudah hampir panik. Â
Nasib uang koin memang selalu menjadi sorotan, memiliki sejarah panjang dalam sistim finansial dunia, menjadi yang pertama sebelum uang kertas ditemukan, apa daya sekarang keberadaannya "ehek tak ehek."
Bayangkan saja aktivitas ekonomi apa yang bisa dilakukan terhadap uang koin "recehan" ini.
Uang Parkir -- Biaya parkir pinggir jalan bervariasi dari Rp.2000, sampai dengan Rp. 5000, meskipun pada tempat-tempat tertentu ada juga yang lebih mahal. Dalam prakteknya, uang kertas lebih praktis dipakai untuk membayar parkir, daripada mengumpulkan dan menghitung uang koin.
Uang Sedekah -- Secara reflex, jika bertemu dengan pengemis, maka sisa recehan akan didonasikan. Bukan hanya itu, sebuah artikel yang bagus dari Mas Nawir dengan judul "kembaliannya mau didonasikan, pak" memberikan gambaran bagaimana uang koin ini selalu menjadi sasaran keberadaannya yang "ehek tak ehek."
Hal yang sama juga dialami oleh penulis. Berpuluh-puluh tahun yang lalu (sekitar tahun 1990an), pada saat itu pedagang eceran sering menggunakan permen sebagai kembalian. Kalau ditanya, "kan sama ji harganya"... Memang... Tapi saya tidak suka makan permen."Â
Terakhir kegiatan yang marak menguntungkan penjual permen ini, kemudian dilarang, karena melanggar hak konsumen dan ada sanksi pidananya. (Sumber)
Sebagai jimat pembawa hokki -- pernah menemukan kolam di tempat wisata yang penuh dengan koin dari mancanegara. Nah, penulis pun sering melakukannya. Membuang koin di kolam keberuntungan. Bukan hanya itu, dirumah pun ada kolam kecil yang penuh dengan uang koin yang berserakan. Konon kabarnya, bisa membawa hokki... Hmmm...
Seringkali karena sibuk atau malas, kita menolak menerima kembalian koin. Nah, kata nenek, rezeki apapun tidak boleh ditolak, lagipula uang koin adalah milik kita, bukan rezeki yang turun dari langit. Kalau dikumpulkan, bisa juga loh dipakai membeli mobil Alphard, seperti ulah nyeleneh yang dilakukan oleh Youtuber Saaih Halilintar (sumber).
Masih banyak lagi hal berguna yang bisa didapatkan dari uang koin, seperti, yang dilakukan pada pertandingan sepak bola, juga sebagai pengganjal meja, alat kerokan, sampai dengan penghias meja yang berserakan.
Fakta mengenai uang koin
Secara volume, peredaran uang koin di seluruh Indonesia pada tahun 2010 mencapai 3.2 Trilyun, namun jumlah fisik (kepingan) mencapai 60% dari total uang yang beredar di masyarakat.
Sejak 10 tahun terakhir uang koin yang beredar bertambah dengan signifikan, yang berarti kebutuhannya terus bertumbuh. Hal ini disebabkan karena tingkat pengembalian uang koin hanya sebesar 16%. Selebihnya tersimpan didalam rumah, karena pada umumnya masyarakat tidak menganggapnya sebagai alat transaksi.
"Jika dibagi dengan keseluruhan penduduk, artinya setiap penduduk menyimpan 77 keping uang koin, "kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas dikutip dari Antara. Wallahualam...
Lantas mengapa uang koin tetap harus ada? Salah satu alasan terbesar adalah untuk menjaga laju inflasi, bayangkan saja, bagaimana kalau harga yang tertera hanya sebatas nilai pada uang kertas saja.
Selain itu, uang koin juga terbukti membuat banyak pihak kebingunan. Menurut sumber, setiap tahun perusahan ritel harus bersusah payah mengumpulkan ratusan milyar demi uang kembalian ke pelanggan. Belum lagi pada setiap musim mudik, PT Jasa Marga harus menyiapkan uang receh pecahan Rp.500 sebanyak kurang lebih 1 Milyar Rupiah.
Mata uang koin juga lebih awet daripada sejawatnya yang terbuat dari kertas. Ketahanan koin usianya lebih lama, diantara 7-8 tahun, sedangkan kertas hanya sekitar 1 tahun.
Juga ada istilah nilai instrinsik atau biaya bahan dan pembuatan yang digunakan untuk membuat uang, yang ternyata lebih tinggi daripada uang kertas.
Untuk pecahan uang koin Rp1.000 keluaran tahun 2010 misalnya, dengan massa 4,5 gram terbuat dari nikel yang harga per gramnya Rp.124,02 maka nilai instrinsiknya hanya Rp.558,11. Begitu juga dengan pecahan Rp.500 keluaran 2003, nilai instrinsiknya hanya Rp.51,27. Sementara nilai intrinsit untuk mencetak pecahan Rp.50.000 adalah sebersa Rp.7000.
Sampai sekarang keberadaan uang koin memang masih bikin hati bingung. Apa yang bisa dilakukan dengan uang koin, selain didonasikan, disimpan di rumah, sebagai biang kerok, dan pembawa hokki? Ini belum lagi termasuk alat yang berpeluang untuk penyebaran Corona. Ampun deh...
Apa yang harus dilakukan? Pertama harus diingat bahwa menolak alat tukar uang diatur oleh hukum pidana di Republik Indonesia. Bagaimanapun juga koin tetap adalah alat tukar yang sah.
Cerita dibawah ini mungkin menarik dan mampu menghibur hati yang galau.
Pasangan suami istri Suratmo (67) dan Wartinah (52) berhasil menyekolahkan ketiga anaknya dengan mengumpulkan uang koin dari hasil berdagang angkringan.
Keterbatasan ekonomi tidak lantas membuat keduanya menyerah. Tidak tanggung-tanggung uang koin yang didapatkan juga langsung digunakan untuk membayar uang sekolah, alias tidak menukarkannya dengan uang kertas terlebih dahulu.
Bukan hanya itu saja, uniknya ternyata kedua pasangan ini pernah mencoba untuk mengumpulkan uang kertas dengan cara digulung dengan koran, sayangnya berakhir sebagai makanan rayap.
Perjuangan Pak Suratmo dan juga istrinya membuktikan bahwa, setiap orangtua akan melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya, dan juga membuktikan bahwa uang koin punya kelebihan dibandingkan dengan uang kertas.
Ternyata, ada frasa baru yang muncul ditengah kepanikan, yaitu "Tidak Takut Corona Pangkal Kaya."
Lantas apa yang harus kita lakukan terhadap ketakutan ini ?
Yang pertama jangan menjadi parno, setiap orang memiliki peluang yang sama terkena virus, bahkan tanpa memegang uang koin sekalipun.
Kedua, rawat kesehatan tubuh, cuci tangan yang bersih, dan menjaga keeehatan lingkungan.
Yang terpenting adalah lakukan sosial distance, termasuk panic buying. Dengan demikian, anda akan mengurangi sentuhan dengan uang koin.
Semoga Bermanfaat
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H