Namun jika bahagia datang menyerang, dihina orangpun akan membuat diri terbahak bahak.
Pertanyaan datang menggelitik hati yang terusik,
"Apakah kebahagiaan akan datang pada saat kita sudah siap menerimanya?"
"Apakah kebahagiaan itu adalah sebuah usaha pencaharian, atau justru hadiah bagi yang pantas menerimanya?"
Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa kebahagiaan itu tidak perlu dicari, karena sesungguhnya telah tersedia didalam hati kita.
Jika memang demikian adanya, mengapa manusia susah untuk mendapatkan kebahagiaan?
Menurut penulis, kebahagiaan susah didapatkan karena pada dasarnya, sifat dan karakter utama dari manusia-lah penyebabnya.
Manusia telah tercipta sebagai mahluk dengan akhlak yang tinggi dan selalu mempunyai daya upaya untuk memperbaiki hidupnya.
Namun sayangnya, manusia kadang bertindak berdasarkan apa yang harus dilakukan, bukan apa yang patut dilakukan.
Tulus dan Ikhlas.
Seberapa sering kita melakukan sesuatu dengan tulus, ikhlas, tanpa pamrih. Sebagai manusia yang sudah terbentuk dalam dunia materi, maka pelajaran hidup yang terutama adalah "segala sesuatu harus didapatkan."
Kita bekerja untuk mendapatkan gaji dan keuntungan. Semuanya telah terpatri dalam aturan kehidupan bahwa bekerja adalah penyokong kehidupan.
Etos kerja ini kemudian tanpa sadar mengubah perilaku, bahwa segala sesuatu yang diberikan tentunya harus datang dengan imbalan.
Bahkan sampai memberikan sedekah yang dianggap sebagai sebuah tindakan tulus tanpa pamrih, seringkali diiringi dengan keyakinan bahwa "Dengan memberikan maka kita akan menerima."
Ketulusan tidak berasal dari tindakan dan pikiran, namun dimulai dari perasaan. Perasaan yang jernih dapat memberikan makna yang penting bagi keiklhasan. Keikhlasan bukan berarti harus memberi, namun keikhlasan yang sejati adalah bersyukur dan menerima diri apa adanya. Â
Mudah Dilayani.
Manusia selalu termotivasi untuk hidup sukses, namun apakah sebenarnya standar sebuah kesuksesan? Secara awan, kita dapat mendefinisikan bahwa hidup sukses adalah kehidupan yang mendapatkan pengakuan berdasarkan standar umum masyarakat.
Pengakuan, penghargaan, bahkan pelayanan adalah patokan dasar sebagai sebuah pencapaian kesuksesan dalam hidup.
Hukumnya sudah jelas, semakin tinggi pencapaian dalam kehidupan, maka semakin tinggi juga standar pelayanan yang akan diterima.
Hal ini kemudian membuat manusia senang dilayani sehingga menyebabkan hal yang sepele, seperti dicuekin saja dapat membuat seseorang menjadi marah besar.
Tidak masalah untuk hidup sukses dan menerima pengakuan dan penghargaan. Namun jangan sampai kesuksesan yang telah kita raih, lantas merusak kebahagiaan dengan menjadi manusia yang susah dilayani.
Jadilah manusia yang mudah dilayani dengan menjadi manusia yang lemah lembut, sopan, tidak sombong, tidak repot, dan mudah dinasehati.
Merasa Puas atas apa yang Dimiliki.
Membandingkan diri sendiri dengan pencapaian orang lain adalah hal yang lumrah dilakukan.
"Rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri", bukanlah sebuah pepesan kosong. Manusia selalu melihat bahwa kebahagiaan bukanlah milik mereka, namun milik orang lain yang selalu tersenyum bahagia.
Dengan demikian maka pencaharian kebahagiaan selalu berkiblat kepada apa yang dimiliki orang lain. Mobil baru, baju baru, sepatu baru kemudian menjadi sebab sumber kebahagiaan.
Sikap yang "lumrah" ini kemudian membuat pikiran kita terbentuk bahwa kebahagiaan adalah milik orang lain, dan bukan milik kita.
Mulailah belajar untuk merasa puas atas apa yang dimiliki, karena disitulah sumber kebahagiaan.
Jika kita masih merasa bahwa apa yang kita miliki belum seperti apa yang dicapai oleh orang lain, maka perasaan "turut berbahagia" akan sangat membantu kita untuk merasakan kebahagiaan yang dimiliki oleh orang lain.
*****