Dengan demikian, apakah kemampuan mengenali angka dan berhitung sebenarnya adalah bagian dari proses kognitif dasar ini? Apakah kita dapat menyimpulkan bahwa otak kita telah memiliki program dasar yang disebut dengan berhitung?.
Ada sebuah bidang dari sains yang memelajari hal ini dan disebut sebagai Kognitif Matematika (Mathemathical Cognition). Ilmu ini telah terbentuk dalam beberapa tahun belakangan dan merupakan bagian dari sains kognitif.
Ilmu ini mencoba untuk memelajari bagaimana otak mengenali angka dan proses berhitung. Beberapa riset yang impresif telah dilakukan dengan mencoba menjawab beberapa pertanyaan seperti;
- Apakah struktur neuron otak manusia telah menyediakan tempat untuk berhitung?
- Apakah hewan juga dapat berhitung?
- Apakah pengenalan kuantitas memiliki cara kerja yang sama dengan mengenali obyek lainnya? (seperti wajah, warna, bau, dll).
- Apakah kemampuan untuk berbicara sama dengan kemampuan untuk mengenali angka dan kuantitasnya?
Mengenai pertanyaan apakah bayi yang baru lahir memiliki kemampuan berhitung, masih merupakan ranah perdebatan sampai dengan sekarang.
Sebuah study juga telah dilakukan di John Hopkins University. Penelitian dilakukan pada 80 balita dengan usia diantara 13 sampai dengan 20 bulan, membuktikan bahwa bayi berusia 14 bulan ternyata sudah dapat menghitung.
Peneliti melakukan tes sederhana dengan menghitung setiap mainan dengan keras sebelum memasukkannya ke dalam kotak buram. Skenario lainnya peneliti hanya memasukkan satu persatu mainan tanpa menyebutkan jumlahnya.
Menariknya, anak balita cenderung meminati jumlah mainan yang telah dihitung dan mampu mengingat jumlah mainan dengan melihat ke kotak. Hal yang sama dapat kita simpulkan jika kita kembali kepada peradaban kuno mengenai angka.
Pada jaman dahulu, angka diwakili oleh benda. Untuk menghitung jumlah hewan buruan, maka diambillah batu atau batang kayu yang sama jumlahnya dengan hasil perburuan.
Seiring waktu berjalan, manusia kemudian menyadari bahwa jumlah jari dapat digunakan untuk mewakili kuantitas. Dari sini kemudian muncul bahasa tubuh yang melambangkan kuantitas.
Semakin canggih peradaban, muncullah oretan angka yang mewakili jumlah tertentu. Oretan sederhana seperti I, II, III melambangkan 1,2,3, dan seterusnya.
Demikian kemudian angka berevolusi sehingga terciptalah angka yang kita kenal sekarang dan seluruh kompleksitas perhitungannya.