Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pentingnya Hidup Realistis

25 Juni 2023   15:26 Diperbarui: 25 Juni 2023   15:53 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup realistis dengan wawasan pengetahuan yang factual. Beritung dengan data dan angka dari masa ke masa. Serta berpikir bagaimana tantangan yang ada dengan kesulitan-kesulitan yang disadari sebagaimana tuntutan-tuntutan hidup yang sili berganti.

Abad ke 21 dengan banyaknya tantangan perubahan social-budaya, ekonomi serta politik yang tidak pasti. Disanalah seseorang butuh berpikir secara realistis. Berpikir benar bukan hanya berdasar asumi-asumsi semata mengikiti pendapat umum, tradisi dan lain sebagainya.

Akan tetapi dengan hidup realistis itu. Bagaimana pentingnya menjalani hidup secara realistis di abad ke 21? Yang mana pergeseran nilai-nilai hidup semakin cepat perubahaanya?

Apakah berpikir realistis sendiri merupakan suatu keharusan yang semestinya menjadi pedoman manusia hidup di abad ke 21 dengan berbagai tantangan-tantangan yang akan dialami manusia ke depannya?

Manusia dan Kebutuhannya

Berbicara eksitensi manusia atau keberadaan manusia di dunia ini. Pada faktanya peradaban selalu saja berubah, mengikuti bagaimana pola-pola jaman yang berlaku pada masanya.

Bisa dikatakan bahwa jaman membawa kemudahan serta kesulitannya sendiri bagi manusia sepertinya memang benar adanya. Sebab bagaimanapun manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan hidupnya seperti perlunya sandang, pangan dan papan untuk bertahan hidup.

Saya dalam beberapa obrolan dengan tetangga-tetangga, yang usianya jauh di atas saya usianya sampai dengan 50 tahunan. Seringkali berbicang-bicang bagaiamana keadaan hidup mereka pada saat itu dikala meraka muda seperti saya.

Mereka umumnya berbicara sebelum krisis terjadi pada tahun 1998 di masa orde baru yang di pimpin oleh Presiden Soeharto. Masa-masa mereka muda dengan upah yang terima setiap hari di masa-masa itu. Dibandingan saat ini memang lah nilainya sangat kecil.

Namun mereka bercerita bahwa nilai yang kecil itu. Harga-harga kebutuhan masih sangat terjangkau. Ibaratnya gaji satu hari kerja pada waktu itu dapat untuk makan puluhan porsi makanan jika beli di warung makan. Kerja satu hari bisa untuk makan 3-4 hari kedepan satu keluarga.

Sebut saja namanya Sidi, salah satu tetangga saya menyebut; satu hari kerja jika perbandingnnya satu kantong harga semen sebelum krisis tahun 1998 dan tahun-tahun setelahnya di era 2000-an.

Ia bercerita bahwa satu hari kerja upah buruh harian sepadan dengan harga semen 4-5 sak kala itu. Waktu ia bercerita bekerja di Bandung, Jawa Barat sebagai buruh harian merantau bersama-sama dengan keluarganya.

Dengan mendengarkan cerita tersebut. Saat itu ledekan penduduk juga tidak sebanyak saat ini. harga-harga tanah masih terjangkau di desa. Disamping itu pekerjaan juga masih sangat terbuka lebar kesempatannya.

Sidi bercerita bahwa "dulu pekerjaan yang mencari orang. Bukan orang yang mencari pekerjaan seperti saat ini. Asal menjadi orang yang rajin kala itu hidup akan berkecukupan".

Maka dari itu saya menyimpulkan tidak heran dengan sedemikian adanya. Orang-orang tua kita meskipun hanya buruh harian atau petani-petani kecil di desa dapat membangun rumah sendiri.

Sesuatu yang sulit dilakukan oleh anak-anak muda seperti saya ini meskipun saya merupakan buruh perusahaan yang dipandang lebih terhormat dari orang-orang tua dulu yang masih mayoritas buruh tani maupun buruh harian lepas di kota.

Tetapi pada faktanya. Sebagai buruh yang katanya terhormat itu, yang jika dihitung rata-rata penghasilan per hari saya hanya 70 ribu. Dengan asumsi pengahsilan UMR yang hanya 2-jutaan di daerah saya.

Sangat berat jika harus membangun rumah sendiri dengan harga tanah yang sedemikian mahal meski itu di desa. Harga tanah di desa sudah tinggi itulah faktanya. Setidaknya luas tanah untuk bangunan rumah jika beli di desa. Harganya bisa ratusan juta dengan akses jalan yang layak.

Kembali pada cerita Sidi. Perbandingan upahnya dulu dengan harga semen yang kerja sehari bisa dapat semen 4-5 sak. Uang 70 ribu sekarang hanya mampu membeli semen cukup hanya satu sak saja meski ada lebihan sedikit dengan kualitas semen tertentu yang harga murah tetapi kualitas juga mengikuti.

Disamaping itu dengan uang 70 ribu jika untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sudah pasti hanya akan cukup untuk makan satu hari keluarga. Itupun dengan menu yang sangat sederhana.

Sebab harga daging ayam di pasaran saat ini mencapai 40 ribu satu kilo. Itu berarti kualitas kesejahteraan keluarga dengan rata-rata penghasilan dibawah 100 ribu per hari akan sangat memperihatinkan kualitas hidup keluarga dan bisa disebut rantan pada jurang kemiskinan.

Inflasi dan Pergeserah Budaya  

Inflasi yang sangat tinggi mengacu pada apa yang dirasakan kaum muda seperti saya dibandingkan dengan kaum muda dulu jaman orang tua kita. Memang begitu tinggi dan semakin tidak terkontrol.

Bahkan inflasi saat ini bukan lagi terjadi dalam hitungan puluhan tahun seperti jaman dulu di era orde baru atau pra tahun 2000-an. Cerita pengalaman saya sendiri sebagaimana inflasi sudah jauh dan tak lagi dapat terkontrol, saya menyadarinya pada tahun 2012 yang lalu.

Saat itu gaji satu bulan saya bekerja di angka 2-jutaan. Harga indomie di mini market masih di angka 1500 rupiah. Bisa dibayangkan meskipun ada kenaikan saat ini tahun 2023 saya digaji 2 lebih 200 ribu.

Tetapi nilai itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan indomie yang saat ini harganya mencapai 3000 lebih di mini market. Artinya inflasi lebih dai 100% dalam rentang 10 tahun yang lalu. Yang mana idealnya gaji buruh atau UMR di daerah saya sudah harus menyentuh angka 4 jutaan untuk dapat hidup layak di daerah Jawa Tengah.

Saya kira itulah mengapa inflasi yang begitu tinggi. Disusul dengan harga kebutuhan lain yang juga merangkak naik. Membuat pergeseran budaya masyarakat itu sendiri. Banyaknya angka pengagguran di kalangan muda akibat bonus demografi yang tidak terserap tenaga kerjanya oleh perusahaan.

Banyak justru saat ini perusahaan yang melakukan PHK pada kariyawaanya disusul dengan biaya oprasional yang tinggi. Harga barang produksi cenderung satagnan bila dinaikan harganya barang tersebut tidak laku dipasaran karena rendahnya daya beli masyarakat.

Itulah mengapa generasi muda di desa saya cenderung mencari pekerjaan di luar negri yang kesempatan kerjanya masih banyak. Dari mereka para generasi muda mengikuti sekolah-sekolah keterampilan kerja dan Bahasa ke Jepang, Taiwan dan Korea.

Disusul dengan kesempatan kerja di dalam negri yang semakin menyempit. Disamping itu pula jaminan kerja di dalam negri tidak pasti. Seperti kontrak kerja oleh perusahaan yang sedemikian singkat hitungan bulan, pendapatan yang minim hanya UMR dan juga masalah-masalah lain yang menghantui generasi muda tentang kehidupan ekonomi mereka kedepan.

Oleh sebab itu banyak generasi muda yang enggan atau setidaknya berpikir berkali-kali untuk membangun keluarga. Disebutkan juga oleh BKKBN bahwa angka usia menikah semakin tahun semakin meningkat umurnya. Artinya generasi muda enggan menikah muda dengan adanya ketidakpastian ekonomi yang mereka rasakan.

Saya sendiri berpendapat sedang ramainya chlidfree di kalangan anak muda. Atau ramai-ramai menunda menikah bahkan yang tidak ingin menikah sekalipun. Bukanlah dipengaruhi oleh informasi yang bertebaran di internet sebagai gaya hidup atau mentalitas mereka.

Melainkan adanya ide-ide childfree, menunda menikah dan lain sebagainya disebabkan oleh ekonomi dikalangan anak muda yang semakin tidak menunjukan kepastiannya dengan perhitungan data infalsi serta pendapatan yang cendrung stagnan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Disamping itu keterlibatan politik yang seharusnya menjadi bagian dari solusi masyarakat juga jauh dari harapan. Dimana demokrasi Indonesia menciptakan korupsi yang semakin menggila, panggung politik di kuasi segelintir orang dan cenderung memperkaya politisi serta kekuatan partai politik yang ada.

Artinya bergesernya generasi muda dalam memandang hidup berkeluarga dan mempunyai anak dengan kebutuhan yang harus dipenuhinya yang tinggi menjadikan pentinya hidup realistis bagi generasi muda.

Dimana semakin banyaknya angka manusia di dunia ini menjadikan kesempatan hidup juga semakin ketat kompetisinya. Disamping itu juga semakin menciptakan kesenjangan social yang tinggi. Dimana orang-orang miskin semakin sulit naik kelas dan orang kaya yang akan tetap bertahan dengan statusnya dengan kepemilikan asset seperti properti, tanah dan sebagainya.

Kritis Pada Tradisi

Karena itu mengikuti sebuah tradisi, ataupun budaya tertentu sebagaimana orang tua yang ingin menerapkan anaknya sesuai jaman mereka seperti menikah dini dan punya anak sebaiknya dipikir secara masak dan disesuaikan dengan kemampuan diri tidak terlalu dipaksakan.

Kembali berpikirlah realistis. Saya bukan menakuti, bukan juga mengajak untuk hidup berbeda memandang jaman. Semua itu hak masing-masing, jalani lah apa yang menurut kita semua benar. Akan tetapi setiap apapun bentuk hidup manusia di dunia semua ada hitung-hitungannya.

Atas itu konsekwesnsi semua ditanggung masing-masing. Jika kedepan orang-orang juga sulit hidupnya, politik sebagai alat keadilan sudah tidak peduli pada rakyat, atau dengan orang-orang kaya yang ingin semakin kaya. Siapakah yang akan benar-benar dapat menjamin hidup kita sendiri selain diri kita sendiri?  

Sebelum anak-anak dilahirkan kedalam jurang kemiskinan, yang memungkinkan betapa sulitnya kehidupan mereka. Juga dengan bangunan keluarga yang rawan terhadap masalah kesulitan ekonomi seperti perceraian dan perselingkhan serta perselilihan tiada akhir.

Generasi muda, berpikirlah realistis mengukur kemampuan diri. Apakah kita harus tetap melahirkan anak-anak tanpa gizi yang baik, pendidikan yang baik dan orang tua yang mampu menjamin kehidupan sejahtera merka? Sekali lagi berpikirlah berbasis nalar dan realistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun