Satu lagu pun yang akan aku buat untuk siapapun. Kenyataannya tak akan mengubah apapun. Hujan dan sedikit petir yang akhir-akhir ini telah menjadi sahabat yang setia menemani walau bisa dikatakan tak pernah konsisten secara terus menerus.
Terkadang menjadi sangkaan yang semakin tidak jelas cuaca pada masa-masa ini. Kenyataannya cuaca memang sudah tidak dapat diprediksi lagi sesuai pelajaran sekolah dasar saat itu. Di tahun dimana aku sekolah dasar sekitar tahun 2000-an.
Bulan April sampai dengan bulan Oktober adalah masa musim kemaru; terang apa yang aku dapat dari pelajaran tentang cuaca kala itu. Akan tetapi hari ini, suatu pengetahun akan cuaca itu tidak lagi relevan. Bulan juni 2023 ini masih saja hujan deras semalam.
Antara cuaca, pengetahuan, dan setiap apa yang dinamakan prediksi. Kenyataannya selalu saja berpihak pada ketidak jelasan. Namun tidak hanya cuaca yang menunjukan itu. Manusia hidup saat ini juga seperti "ketidak jelasan" itu akan nasib yang akan diterimanya sebagai konsekwensi hidup.
Akan tetapi diantara semua ketidakpastian nasib manusia. Terselip sesuatu yang pasti dari manusia hidup di dunia. Manusia membutuhkan materi untuk kebutuhan hidup, yang apa-apa harus dibeli dengan uang. Meski dirinya sendiri tak mampu menjamin bagaimana dirinya terus dapat berpenghasilan uang.
Manusia yang harus terus menerus bergulat dengan nasib. Terkadang apa yang diharapkan dari hidup manusia itu sendiri berbeda dari fakta maupun asumsi yang mereka ingini.
Manusia butuh kerja menghasilkan uang. Butuh modal untuk dapat memutarkan uang sebagai penopang kehidupan. Namun kesempatan mendapatkan uang sebagaimana memenuhi kebutuhan. Tak semua manusia dapat dengan mulus mendapatkanya sesuai apa yang diinginkannya sendiri.
Seorang pekerja meski di ikat waktunya bekerja di perusahaan misalnya. Ia pun tidak dapat menjamin sendiri sampai kapan ia dapat bekerja mendapatkan uang di perusahaan itu. Perusahaan saat ini memiliki pondasi yang sangat rapuh. Setiap perusahaan dihadapkan pada masalah efisiensi total saat ini yang tidak dapat dihindari, yang kenyataannya dipengaruhi oleh masalah ekonomi.
Tidak mungkin perusahaan akan dapat bertahan dikala ongkos produksi naik tetapi pemasukan akan hasil produksinya stagnan. Langkah efisiensi harus ditempuh termasuk menggadekan nasib para pekerja di perusahaan itu, melakukan sejumlah pengurangan pekerja dan oprasional.
Inilah yang terjadi di industry telkomunikasi. Segmen industry yang sedang aku geluti sebagaimana menjadi pekerjanya di bidang itu. Sudah aku hitung dalam kurun waktu 2 tahunan ini, pengurangan pekerja serta alat-alat produksi massif dilakukan.
Keianikan BBM dan juga oprasional harian lainnya memicu perusahaan harus melakukan efisiensi. Yang mana perusahaan juga tak mampu menjamin nasib dirinya sendiri untuk tetap bertahan, maju atau tumbang sebagaimana nasib yang mereka ingini selalu baik. Â Â
Maka pada faktanya, kini angka pengagguran juga semakin meningkat tak diserap sector industri. Disamping segmen telkomunikasi yang juga menunjukan ada pengurangan pekerja dengan langkah efisiensinya itu. Perusahaan seperti garmen dan padat karya yang lain pun melakukan hal yang sama.
Baru-baru ini pabrik-pabrik di kawasan industry seperti di Kota Karawang, Tanggerang dan lain sebagainya pun memilih opsi tersebut. Mengurangi sejumlah pekerjanya dengan alasan efisiensi karena semakin lemahnya ekonomi dunia.
Mencari pekerjaan yang semakin sulit kini. Ruang-ruang hidup yang juga semakin mahal untuk dijangkau dengan ketidakpastian akan pendapatan akan uang itu sendiri dengan harga-harga kebutuhan yang semakin naik dirasakan manusia.
Sebagai pekerja jika ingin bertahan harus patuh terhadap kebijakan upah murah untuk bertahan demi kebaikan nasib perusahaan dan kita manusia masih dapat berpenghasilan uang sebagaimana hidup apa-apa memerlukan uang.
Melihat bagimana ketidakpastian akan nasib kedepan. Rasanya aku telah tenggelam dibalik dunia yang semakin tak pernah menujukan kejelasan bagi satu manusia pun hidup di dunia ini.
Dunia yang apa-apa selalu di ukur dengan uang dan pencapaian pribadi yang dapat dibanggakan. Kenyataannya saat ini merupakan ilusi yang jauh dari fakta se-apaadanya dengan bangunan nasib manusia yang tak pernah pasti kehidupannya.
Terkadang jika merasakan sedikit lebih dalam tentang kehidupan. Semua berbohong, mereka berdusta dan semua seperti punya pembelaannya sendiri menutupi harapannya sendiri dengan berbagai negasinya akan kemunafikan masing-masing bahwa nasib manusia selalu terjamin tanpa manusia itu berhitung dengan logikanya sendiri.
Mengikuti bagaiamana pandangan social yang sebenarnya sudah using tetapi justru dijadikan sebuah keyakinan akan menjalani kehidupan yang sebenarnya syarat akan perubahan.
Hal berbau spiritual, kebijaksaanaan seperti masa yang terlewat di masa kini. Masa yang telah menjadi usang untuk di ikuti perkembangannya melalui asumsi-asumsi dan opini-opini tidak berbasis pada fakta. Sepertinya hal spiritual dan kebijaksanaan memang telah purna jika tidak dihadapkan pada sebuah fakta hidup bagi manusia.
Kini materialisme sebagaimana uang menjadi basis kehidupan manusia. Nyatanya adalah denyut nadi kehidupan manusia di dunia. Materialisme berbasis uang sendiri kini menyimpan harapan, cita-cita serta sebuah tawaran kedigdayaan yang sepadan dalam tatar sosial kehidupan manusia dihadapkan pada kedudukan nasib masing-masing.
Siapa-siapa yang mampu eksis dengan uang serta jaminan akan ladang-ladang pangan dan usaha-usaha yang menghasilkan. Merekalah yang akan mampu memastikan sebuah nasib dengan dasar yang kuat mampu eksis di tengah hidup dalam ketidakpastian ini. Â
Tidak peduli rakyat jelata dari kaum-kaum terpinggirkan di desa-desa, atau kelas-kelas menengah buruh perkotaan. Maupun kaum-kaum agamawan. Semua terjebak pada sisi-sisi materialisme berbasis unag yang menerjang untuk dapat terus bertahan menjaga asa nasib hidup manusia itu sendiri.
Orang-orang jelata ingin bagaiaman mereka dapat sukses secara instan, bergelimang harta, kelas menengah kota juga demikian. Orang-orang yang katanya bijaksana dan agawan serta para intelektual faktanya juga terjebak pada lautan uang, aset dan kemewahan.
Yang harus mereka datangkan menunjang kehidupan mereka. Dihadapan uang kini tidak ada pengecualian seberapapun kuat asumsi atau opini mereka akan sinisnya pada keduniawaian yang digaungkan kebijaksanaan, agama dan filsafat tidak akan ada pengaruhnya.
Sadar atau tidak ukuran pencapaian kehidupan abad ke-21 di tunjang bagaimana orang itu dapat bekerja mengahasilkan uang. Apa saja yang dapat terbeli dengan uang itu memenuhi kebutuhan dan juga apa materi yang mereka punya di dunia ini menopang kehidupan mereka.
Menjamin nasib mereka sendiri para manusia-manusia yang masih menginginkan hidup di dunia. Hidup tanpa uang dan material. Manusia akan terkatung-katung, hidup akan turus susah di dunia dengan nasib yang tak pernah mendapatkan kejelasan dari sebuah kata "nasib" yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H