Siapa-siapa yang mampu eksis dengan uang serta jaminan akan ladang-ladang pangan dan usaha-usaha yang menghasilkan. Merekalah yang akan mampu memastikan sebuah nasib dengan dasar yang kuat mampu eksis di tengah hidup dalam ketidakpastian ini. Â
Tidak peduli rakyat jelata dari kaum-kaum terpinggirkan di desa-desa, atau kelas-kelas menengah buruh perkotaan. Maupun kaum-kaum agamawan. Semua terjebak pada sisi-sisi materialisme berbasis unag yang menerjang untuk dapat terus bertahan menjaga asa nasib hidup manusia itu sendiri.
Orang-orang jelata ingin bagaiaman mereka dapat sukses secara instan, bergelimang harta, kelas menengah kota juga demikian. Orang-orang yang katanya bijaksana dan agawan serta para intelektual faktanya juga terjebak pada lautan uang, aset dan kemewahan.
Yang harus mereka datangkan menunjang kehidupan mereka. Dihadapan uang kini tidak ada pengecualian seberapapun kuat asumsi atau opini mereka akan sinisnya pada keduniawaian yang digaungkan kebijaksanaan, agama dan filsafat tidak akan ada pengaruhnya.
Sadar atau tidak ukuran pencapaian kehidupan abad ke-21 di tunjang bagaimana orang itu dapat bekerja mengahasilkan uang. Apa saja yang dapat terbeli dengan uang itu memenuhi kebutuhan dan juga apa materi yang mereka punya di dunia ini menopang kehidupan mereka.
Menjamin nasib mereka sendiri para manusia-manusia yang masih menginginkan hidup di dunia. Hidup tanpa uang dan material. Manusia akan terkatung-katung, hidup akan turus susah di dunia dengan nasib yang tak pernah mendapatkan kejelasan dari sebuah kata "nasib" yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H