"Media social dan viralitasnya itu seperti bayang-bayang, cermin gambaran akan realita social kita bahwa sesuatu yang naif, bahkan hanya layak untuk ditertawakan konsumtivitas informasinya. Faktanya itulah yang dielu-elukan seperti mendapat panggung. Apa bila dapat viral di media social entah yang paling tidak bermutu sekalipun, dipandang itu popularitas, bisnis, dan potensionalitas menjadi uang di sisi lainnya".
Tak begitu tergambar jelas memang jika ingin melihat bagaimana dasar-dasar kehidupan yang semakin kita anggap modern ini dengan perspektif kita sendiri lewat berbagai kecanggihan teknologi yang ada.
Terkadang saya seperti bertanya atau mungkin sebaliknya saya hanya ingin menguji. Bukan, saya sama sekali tidak mau menguji bagaimana jalan pikiran mereka menyesuaikan dengan keresahan berpikir saya. Saya juga tidak mau berdebat panjang dengan mereka tentang apa yang mereka pikirkan tentang kehidupan ini.
Pada kenyataannya jalan pikiran seseorang tidak akan pernah sama. Sampai mana bentuk kesadaran orang itu tentang pemaknaannya pada sesuatu. Betul, pemahaman dan kesadarannya hanya akan mentok pada hal itu. Tetap saja sama yang dipikirkan "tetap" itu-itu, memikirkan hal yang sama pula tak pernah beranjak dari yang situ.
Semua ini, apa yang menjadi keresahan pemikiran saya. Memang lebih tepatnya semacam pertanyaan pribadi dan itu tidak lebih. Pertanyaan yang timbul dari keresahan-keresahan apa-apa yang ditampilkan selama ini, baik lewat social media atau media konvensional lainnya yang menyentuh hal kompleks.
Bahwa produk turunan media social yakni smart phone atau bisa dikatakan robot buah dari kecerdasan artifisial peradaban manusia kini. Eksistensinya seperti memenjara psikologis manusia.
Antara smart phone dan teknologi-teknologi turunannya seperti telah membuat kelekatan yang tak mudah dilepaskan begitu saja. Tentu saja smart phone kita, sudah seperti separuh dari pikiran kita, bahkan nyawa dari nadi kehidupan kita secara tidak disadari, namun faktanya demikian.
Sebab bila mana barang itu hilang "smart phone" atau kita lupa membawanya. Ada semacam ketakutan, keresahan, bahkan seperti kehilangan identitas.
Praktisnya smart phone jika dimaknai secara mendalam sudah seperti separuh dari manusia saat ini, yang mana memaksa dengan informasi yang disajikannya, menjadikan kita harus mau dipaksa mengikuti diri sebagai masyarakat global.
Lebih naif dan sempit dari itu, bahkan konsumsi akan informasi itu yang berkembang lewat social media baik itu permasalahan yang diluapkan orang lain. Lewat konsumsi-konsumsi media social itu, terkadang seperti menjadi masalah kita sendiri. Padahal siapa yang punya masalah tersebut namun diviralkan media. Faktanya ditarik menjadi permasalahan bersama, yang setiap orang akhirnya dipaksa untuk merespon itu atas nama viralitas.
Maka segundang pertanyaan itu antara media social dan informasinya, yang mana telah menjadi keresahan baru bagi saya, apakah derasnya informasi lewat social media itu hanya menjadi racun informasi bagi pemikiran akan kehidupan kita saat ini?
Atau dengan indikasi adanya pembodohan atau pendidikan bermanfaat sekalipun untuk public yang digaungkan orang-orang bermedia. Kita yang secara tidak langsung di influens oleh penggerak-penggerak opini itu, yang mana pada nyatanya media social tak ada filterisasi, mungkinkah kita harus beranjak dari social media? Â Â
Diserupsi TeknologiÂ
Sosial media dan produk turunannya kini tengah menjadi realita kehidupan kita yang semakin menuju keterasingan meminggirkan kesan sebagai manusia. Tentu dimana komunikasi dengan kecanggihan teknologi merupakan buah dari migrasi komunikasi manual manusia yang sebelumnya sempit kemudian di luaskan dengan peran teknologi membuat kegagapan kita melesat jauh berekspresi akan hal itu.
Semua menjadi bagaian dari terus berubahnya peradaban kita. Transformasi bagaimana cara manusia berkomunikasi. Sebaliknya saya tak menyalakan itu, dampaknya bagi saya justru baik untuk umat manusia perihal efektivitas dan produktivitas komunikasi.
Akan tetapi yang baik selalu ada harga yang buruk. Sama ada semacam produk turunan yang tak bisa dipisahkan. Artinya apa-apa harus dibayar dengan sejumlah fasilitas yang di dapat. Ada yang baru muncul dan ada yang lama terbuang dan punah dalam kehidupan ini. Begitu juga dampak dari kemajuan tekonologi kita melakukan transformasi komunikasi.
Saya ingat bagaimana jaringan seluler melibas habis jaringan kabel telpon yang kini sudah tak tersisa di jalan-jalan bahkan di dalam perumahan. Sejalan dengan itu tranformasi teknologi seluler adanya jaringan GSM atau 2G telah mampu menopang mobilitas komunikasi yang dibutuhkan dimanapun, selagi sinyal itu tersedia memungkinkan dunia berkomunikasi ada di dalam genggaman manusia.
2G atau EDGE, yang mana melalui tranformasi teknologi itu komunikasi data internet menemui titik terang dapat di akses lewat Handphone kita. Tidak cukup dengan itu, sinyal jaringan 3G dengan kecepatan datanya, dimana lewat jaringan 3G media social seperti facebook tumbuh, komunikasi yang tadinya suara mampu bertransformasi menjadi video lewat jaringan 3G.
Semua itu mendiserupsi cara komunikasi lama manusia yang semakin canggih. Terjadi migrasi besar-besaran komunikasi lewat berbagai platform social media seperti facebook dan twiter berkat jaringan 3G tersebut.
Lalu, apakah yang terjadi dengan adanya jaringan 4G dan seterusnya nanti? Jaringan 4G yang memungkinkan kecepatan datanya lebih cepat juga telah menambah fiture-fiture baru pada cara berkomunikasi kita. Facebook lewat kecepatan data dan dukungan jaringan internet yang cepat merambah pada market place dan lain sebaginya memungkinkan semua jenis akomodasi berbasis komunikasi dapat dilakukan di media social itu.
Aplikasi-aplikasi seperti Gojek, Tokopedia serta aplikasi-aplikasi mendukung produktivitas kerja berbagai perusahaan juga tumbuh di era 4G ini dengan percepatan tranformasi digital. Artinya 4G sendiri memigrasikan efektivitas dan produktivitas kerja dari konvensional menuju digital yang tak jarang juga terjadi efisensi tenaga kerja terkait hal itu.
Dampak dari transformasi ruang kerja digital sendiri, siapapun yang lamban menggunakannya akan mengalami kendala, bahkan yang tak beradaptasi dengan ruang digital akan tertinggal dan mati dengan sendirinya.
Itu terjadi bagaimana ojek konvensional berangsur hilang, mall digantikan platform belanja online dan efektivitas pekerja perusahaan yang tak terpatri pada ruang kerja konvensional. Mereka dapat bekerja di manapun lewat kecanggihan teknologi dan transformasi kecepatan data di ruang-ruang digital.
Lantas bagaimanakah pasca 4G nanti? Saya tidak begitu paham akan itu, pastinya kecepatan data pasca 4G juga akan mendisrupsi hidup manusia dengan inovasi yang ada melalui kecepatan data. Mungkin mobil tanpa supir lewat kecepatan data yang ditampilkan akan dapat diproduksi secara masal di belahan dunia. Mobil tanpa supir di Eropa sudah mulai uji coba yang didukung teknologi pasca 4G.
Maka dengan hidup di era digital yang semakin efisien baik dunia kerja yang mengalami diserupsi itu, peran-peran tenaga yang telah dikurangi peranannya oleh system sekaligus mengubah arah ekosistem dari bentuk kerja manusia itu sendiri.
Kemanakah manusia ini diarhakan sebagaimana transaksi ekonomi itu harus terus dilangsungkan keberadaaanya, dimana ruang digital ini mempersempit ruang-ruang kerja manusia yang pada kenyataannya ruang digital melakukan efisiensi total?
Manusia Digital
Manusia saat ini secara tidak langsung geraknya memang diarahkan menjadi manusia digital sama seperti peranan tenkologi smart phone dan produk turunannya yang kendalinya semakin melekat terhadap kehidupan manusia.
Tidak heran mengapa ledakan konten-konten di media social semakin menjamur itu karena konten media khusnya di era digitalisasi seperti saat ini memiliki prospek pasar yang sangat besar.
Tidak lepasnya smart phone di berbagai aspek kehidupan manusia, membuat ruang-ruang pasar itu ada sebagai motif dasar ekonomi. Berbagai informasi dari bentuk-bentuk komunikasi antar manusia satu sama lain dengan berbagai latar belakang ada disetiap ketikan aplikasi.
Lewat aplikasi sendiri memudahkan hidup manusia, bahkan sampai dengan ruang privat seperti pencarian ruang-ruang emosi manusia seperti kontak jodoh dsb ada di dalam aplikasi, yang artinya digitalisasi pada manusia sudah merambah semua aspek.
Maka dengan berbagi kemudahan itu, hidup dalam ruang-ruang digital dengan segenap apa yang diasumsikan sebagai kehidupan maju. Apakah benar tidak ada ruang yang menyekat pada proses digitalisasi kehidupan kini, bawasannya kita hidup seperti tanpa sebuah filter social yang ada?
Ruang digital seperti ruang yang bebas, ruang yang menunjung tinggi demokratisasi kita bahwa semua tergantung pada pribadi-pribadi manusia, bagimana konsumsinya itu akan diarhakan sebagai manusia digital itu atas nama kehendak pribadi.
Seorang penjudi di ruang digital sudah tak perlu tahu siapa lawannya, seberapa modalnya untuk berjudi di ruang digital. Terpenting digitalisasi mengakomodasi kebutuhan akan konsumsinya itu, begitu juga dengan nilai prostitusi dan lain sebagainya yang masih dianggap sebagai tabu di ruang non digital. Diera digitalisasi semua tidak tersekat,
Namun ruang digital itu pun terjadi dengan hal-hal yang banyak diasumsikan orang sebagi hal yang bermanfaat. Digitalisasi mempermudah interaksi pasar antar penjual pembeli, dimana progress efisiensi dan keuntungan pasar lewat ruang digital semakin pasti memutus proses yang berbelit dari sebuah transaksi. Digitalisasi ada persingan sehat dalam bisnis, memungkinkan kompitisi pasar dengan harga dan rupa tanpa pihak-pihak lain yang kontra efisien. Digitalisasi dengan efisiensinya sendiri dapat memangkas nilai dan ekosistem ekonomi penopangnya itu faktnya. Â Â
Dilain sisi dalam aspek pendidikan public, dimana ruang-ruang digital memaksimalkan segala bentuk minat dan bakat. Terbukanya informasi lewat berbagai media juga memungkinkan untuk saling menopang kemajuan satu sama lain. Orang-orang di era digital kini dapat belajar hal apapun dengan biaya yang murah, cukup koneksi internet saja sesuai apa hal-hal bermanfaat untuk dirinya.
Tetapi mengapa justru yang terjadi kini dengan berbagai kemudahan dari kehidupan public kita baik pendidikan dan semacamnya memandang kemajuan era digital, justru hal-hal yang receh dan memundurkan peradaban itu menjadi hal yang viral saat ini?
Ruang-ruang sosial media memang tanpa control, tetapi orang-orang dapat mengontrol itu dengan segenap kekuatan mereka sendiri didalam media itu bawasannya orang-orang di era digital yang banyak di ikuti katakanlah "infliencer" secara tidak langsung merekalah yang mengontrol itu.
Alih-alih memandang sebuah kemanfaatan pada public, banyak influencer di era digital ini hanya memantingkan kemanfaatan pribadi dengan sejumalah potensi ekonomi dari viralitas yang mereka bawa.
Populernya fenomena perselingkuhan manantu dan mertua di Banten yang dikonsumsi semua pihak, atau Fajar Sadboys yang viral itu akhir-akhir ini dengan begitulah adanya dia memainkan sebuah anomaly ruang-ruang interaksi digital khusunya anak-anak.
Telah menjadi bukti bahwa yang bertanggung jawab pada itu adalah influencer yang membawa mereka semakin viral, memainkan sisi emosional manusia digital saat ini yang tak dapat lepas begitu saja dengan social media mereka.
Artinya kita semua dengan kelekatan media public diruang-ruang yang terdigitalisasi saat ini seperti dibawa bahwa masalah apapun yang viral dimedia social, seakan dibuat seperti itu masalah bersama.
Kita disajikan berita atau informasi yang viral seperti turut memainkan emosi, kita menghujat, berkomentar dan mengeluarkan kata-kata bijak akan masalah itu yang akhirnya mereka mendapat kepopuleran dan uang disusul media mainstream juga ikut menikmati kue uang dari viralitas itu.
Celakanya hal yang viral itu sesuatu yang pantas dihujat dan dikasih wejangan social oleh para pengguna media social, yang berarti terbawanya netizen pada jebakan viralitas dan keuntungan views, sukses dilakukan para influencer sebagai dampak dari ekonomi berupa uang dari ledakan konten-konten digital mereka.
Kebanyakan Influencer tak berpikir itu, viralitas berarti cuan yang bisa menjadi daya tawar penghasilan. Memang tak semua influencer berpikir akan cuan, saya tidak berkata semua influencer. Tetapi banyak yang demikian, secara tidak langsung yang dituju uang.
Maka kembali sebagai renungan diri, ruang digital merupakan ruang-ruang yang semua dikembalikan pada manusia, pada minat dan ruang-ruannya masing-masing terhadap kebutuhannya sendiri. Baik dan buruk pengaruhnya, ruang digital juga merupakan ruang demokratisasi total, yang mana mau seperti apa kita hidup dalam ruang digital itu. Semua dikembalikan pada kehendak dan kapasitas masing-masing sebagai pribadi manusia dalam menjalani kehidupannya menjadi latah atau tahan pada setiap gelombang informasi yang menerjang tanpa adanya filterisasi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H