Semakin tua bukan hanya kita ditampar keras oleh realitas hidup. Tetapi semakin tua kita juga harus paham bahwa melewatkan waktu yang tak efektif akan langsung berdampak buruk disela waktu yang semakin sempit ini bagi masa depan kita.
Menunggu tua adalah soal waktu. Dan menjadi tua itu, apakah akan memuliakan atau terseok-seok kehidupan yang selalu diukur dari materi kehidupan ini?
Kehidupan yang terus berjalan, apa yang saya sesali dari hidup, bukan saya tak punya pendidikan yang tinggi di sebabkan oleh kemiskinan itu. Bagi saya orang yang mampu berpendidikan tinggi "kuliah" memiliki banyak factor, salah satunya orang tuanya tak miskin.
Saya tak punya faktor itu. Tentu utamanya adalah faktor ekonomi orang tua, yang tak mendukung untuk membiayai pendidikan tinggi bagi seorang anaknya yaitu saya.
Baca juga: Merasa Miskin dan Aktif Merokok Itu "Sebagai buah dari pertanggung jawaban orang tua yang telah melahirkan anak-anaknya. Memberikan yang terbaik dari pendidikan hingga fasilitas hidup lain sudah seharusnya menjadi keutamaan".
Maka menjadi orang tua modern, kisahnya tidak hanya bagaimana hanya memberi makan bagi anak-anaknya dapat terpenuhi. Lebih dari itu; artinya menjadi orang tua modern juga harus memberi kehidupan yang layak termasuk pendidikan tinggi dan kesehatan bagi anaknya. Juga fasilitas penunjang hidup lain seperti hunian yang aman untuk mereka.
Akan tetapi dengan pendidikan yang rendah itu. Bagi saya itu tidak masalah setidaknya di dalam kaca mata zaman saya. Karena memang mau apa lagi ketika orang tua tidak mampu membiayai pendidikan yang tinggi? Bertarung mengarungi hidup dengan apa yang ada sudah menjadi tanggung jawab pribadi saja, itu yang saya lakukan.
Namun dengan kompetitfnya jaman kedepan, aspek pendidikan yang relative harus tinggi, skil dan juga pengalaman dari pergaulan mereka untuk bertahan hidup di generasi mendatang setelah saya.
"Setidaknya kedepan seorang anak layaknya harus berpendidikan sampai kuliah, sedangkan biaya kuliah semakin naik setiap tahun. Itu menjadi alasan jadi orang tua masa depan tidak boleh miskin jika ingin membesarkan anak dengan kualitas yang baik".
Dengan masa lalu cermin dari kehidupan saya serba apa adanya, mengeluh atau menyalahkan orang tua pun sudah tidak ada gunanya. Terpenting adalah ada upaya mengasah berbagai keterampilan hidup yang tidak disekat oleh pendidikan tinggi.
Dimana secara alamiah keterapilan hidup itu harus dipunyai setiap manusia. Saya yakin masing-masing dari kita masih dapat mengaksesnya.
"Adanya ruang-ruang untuk mengakomodasi ketrampilan hidup bagi manusia lewat media dan kecanggihan teknologi. Keberadaannya menjadi sangat penting sebabagai instrument eksistensial hidup sebagai manusia mempertahankan hidupnya".
Majunya peradaban, serta arus informasi yang semakin mudah di akses, pengetahuan akan menjadi manusia terdidik kini tak lagi disekat oleh ruang-ruang kelas. Melainkan antara kemauan dan keberanian, mencoba menjadi alasan utama manusia dengan berbagai media pembelajaran yang sudah ada. Mengoptimalisasi hidupnya dengan sarana pengetahuan yang ada.
Internet, Google, dan media-media lain sebagai sumber pengetahuan, telah hidup bersama manusia, yang mana semua itu dapat diraih aksesnya dengan teknologi smart phone yang ada atau dengan instrument teknologi lain.
"Terus terang, saya kini tidak berpikir akan pendidikan itu bukan berarti pendidikan tak penting, itu penting sebagai sarana. Dibalik kompetitifnya jaman kedepan, akan banyak sarana yang dipertanyakan salah satunya itu pernah mengenyam pendidikan. Setidaknya punya gelar pendidikan itu membantu untuk hal melamar pekerjaan".
Tetapi jika terlajur menjadi manusia tidak berpendidikan tinggi dan dituntut harus bertahan hidup. Seharunya memandang hidup, tidak peduli dari mana kita lahir, yang sejak kecil mungkin sama, kita terasa akrab dengan kemiskinan sebagai sebuah pengalaman hidup yang memberi tantangan dan semangat hidup.
Memang disadari atau tidak kemiskinan atau kekayaan itu, nyatanya memang membantu bagaimana kita sebagai manusia mempersepsi kehidupan kita sendiri sebagai manusia.
"Saya merasa miskin dan saya harus bekerja keras untuk keluar dari kemiskinan itu salah satu perspektif saya. Atau dengan orang-orang kaya itu sudah pasti memiliki prespektifnya sendiri. Antara menikmati kekayaannya dan terus menambah kekayaan atau menjaga kekayaan itu".
Tetapi manusia yang cinta dengan kemiskinan, mereka malas-malasan memandang bahwa miskin itu takdir Tuhan. Pasti akan ada saja orang miskin demikian, yang memang sebelumnya mereka sudah depresi dengan keadaannya sendiri, urung mengubah dan tidak menyadari sulitnya hidup dalam kemiskinan itu.
Seperti kita tahu konsekwensi akan kemiskinan begitu fatal, tidak hanya berpengaruh pada hidup kita sendiri tetapi juga generasi setelahnya, yang setidaknya kita akan turunkan.
Bagaimana tidak, ketika kita miskin; akses pendidikan, kesehatan dan gizi sebagai kualitas kehidupan manusia menopang hidup pasti kualitasnya akan berkurang.
Sebab mengapa? kini di era hidup yang kapitalistik, yang apa-apa harus di beli dengan uang dan mencari uang harus dengan kesempatan, kerja keras, serta kemampuan untuk dibayar sebagai professional dibutuhkan mentalitas tangguh dalam mengahdapi semua itu.
"Bencana kemiskinan itu membawa kita pada taraf hidup yang rendah, serta tidak ada daya beli membuat kita kalah dalam kehidupan ini, yang tak mampu merubah nasib diri dan keluarga. Fatalnya jika sampai mewariskan kemiskinan pada generasi kita, dampaknya dapat terjadi berturun-turun lamanya".
Maka kembali tergantung bagaimana pandangan akan kehidupan itu digunakan oleh kita sebagai manusia. Pengalaman kehidupan sebagai bahan bakarnya keluar dari jerat kemiskinan yang membuat tragis kehidupan itu, memang harus dipandang sebagai sebuah keharusan.
Bukan hidup tidak boleh kaya. Saya kira menjadi kaya sangat diperlukan dan justru dengan apa-apa yang harus dibeli dengan uang saat ini sebagai fasilitas penunjang kehidupan seperti pendidikan, kesehatan dan hunian menjadi kaya itu harus diperjuangkan.
Apa lagi jika sudah menjadi orang tua yang harus bisa membuat anak-anak mereka hidup dalam kelayakan jaman. Semua dapat terfasilitasi dengan kekayaan itu fakta yang tidak dapat dikesampingkan.
"Mendiang mantan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Deng Xioping yang ide-idenya mampu mengentaskan kemiskinan bermilyard-milyard penduduknya sejauh ini di Tiongkok; mengatakan bahwa menjadi kaya itu mulia, yang jauh pun akan mendekat yang tak kenal akan mengenal ketika kaya".
Seperti itulah mengapa kekayaan sebagai jalan dari kemuliaan hidup sangat penting diwujudkan. Menjadi orang tua saat ini, yang dimana ukuran memuliakan anak mencukupi kebutuhannya harus dengan uang 'gak boleh memang menjadi orang tua miskin di masa modern ini'.
Untuk itu saya berpikir, di masa depan saya sendiri dan juga mungkin keluarga yang akan saya bangun nantinya. Jika ada orang yang mau diajak hidup bersama dalam keluarga bersama dengan saya sebagai isi dari kehidupan ini.
Menjadi titik konsentrasi saya, dimana membawa kehidupan keluarga saya sendiri lebih baik itu hal yang utama. Tetapi dengan bagaimana keutamaan menjadi orang tua itu, apakah di era modern ini akan semakin berat kenyataannya, dimana jaman yang semakin kompetitif?
Jelas dengan standart kelayakan zaman kedepan akan pendidikan tinggi, kesehatan yang harus terus dijamin, dan juga kualitas hidup baik dari hunian dan penunjang hidup lainnya. Hidup memang akan semakin berat sejalan dengan harga-harga yang harus dibayar tidak sedikit di dalam system hidup kapitalis.
Maka dengan usia saya, anda dan mereka yang terus berjalan, terus berkurang dan terus mengalami berbagai pengalaman dan pergolakan hidup. Menciptakan hidup secara efektif, bekerja, tak konsumtif, dan mengingat bagaimana uang untuk kebutuhan di masa yang akan datang itu penting. Baik sebagai pribadi yang hidup sendiri maupun berkeluarga menjadi orang tua, "uang" itu harga mati yang harus dipenuhi sebagai penujang kehidupan kini dan nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H