Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Paham Literasi Finansial Itu Hidup dan Mati Kita

23 Juli 2022   11:58 Diperbarui: 24 Juli 2022   17:50 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu diksi ini tentang bagaimana mengelola keuangan atau finansial dengan literasi, yang mana itu dapat menjadi nilai hidup dan mati kita. Apakah kita semua harus sadar finansial saat ini? Tidak ada lagi tabu ngomongin uang sebagai akomodasi utama hidup?

Salah satu yang masih menjadi pemandangan umum saat ini baik dikalangan generasi milenial dan juga diatasnya adalah masih menganggapnya bahwa rezeki itu tidak akan ke mana.

Tentu dalam arti ketika kita banyak membelanjakan uang sebagai salah satu instrumen dari rezeki, ditambah uang itu tidak kita belanjakan sendirian melainkan untuk mentraktir teman, keluarga, atau saudara.

Kita selalu menganggap bahwa nanti akan diganti oleh; "orang berpikiran yang akan mengganti oleh kebaikan itu sendiri atau sesuatu yang mungkin sebelumnya sudah diyakininya". Bahwa sesuatu akan mendapat gantinya jika ia berkontribusi dengan yang lain itu hal dasar kepercayaan.

Akan tetapi, benarkah semua itu kita harus optimis bahwa apapun kebaikan tentang keuangan "rezeki" kita akan terus diganti, yang terpenting kita optimis memandang hal itu sebagai bentuk kebaikan untuk kita?

Saya memang tidak akan menyalahkan orang yang optimis akan kebaikan-kebaikan mereka sendiri. Sebaliknya saya juga tidak akan menghalau atau apapun itu tentang kegiatan yang menurut mereka "kebaikan", itu adalah urusan pribadi yang mungkin saja mereka itu mampu mengakomodasi itu.

Sebab kondisi keuangan setiap orang tentu berbeda-beda. Tetapi melihat bagaimana zaman, bagaimana kita harus benar-benar secara kritis tetap menghitung antara pengeluaran dan pendapatan kita akan finansial itu sendiri untuk saku hidup.

Apakah selalu kebaikan menjadi dasar tetap dilakukan "kebaikan" itu meski kita sendiri aslinya kurang dalam finansial mengakomodasi kebaikan, hanya karena masalah gensi atau apapun itu alasannya tidak ada kontrol dalam keuangan kita?

Budaya pekiwuh atau "perasaan gak enakan" memang sudah menjadi hal yang wajar ada disekitar kita, bahkan kita sendiri pasti pernah merasakan itu sebagai sebuah budaya yang berkembang sejak itu.

Sebagai contoh ketika kita; khususnya orang-orang Indonesia di lingkaran sekitar pertemanan kita. Pasti ada sesuatu yang tabu dibicarakan yakni tentang masalah uang di tongkrongan.

Biasanya di dalam pertemanan ketika kita jika akan mengajak teman-teman nongkrong dan sebagainya. Apa lagi itu adalah teman dekat, budaya mentraktir dan sungkan ketika harus bayar sendiri-sendiri, kenyataannya itu sesuatu yang kita hindari.

"Ah, perasaan kita pasti berpikir, takut nanti dibilang perhitungan. Saya kan yang mengajak mereka, masa sih bayar sendiri-sendiri? Kan gak enak."

Itulah realita yang terjadi diantara kita, tanpa berpikir keuangan kita, yang mungkin uang tersebut juga sangat berarti bagi upaya mencukupi hari depan kita.

Begitupun yang terjadi dalam budaya relasionship kita. Budaya percintaan antara laki-laki dan perempuan, pasti ada salah satu pihak yang menanggung biaya kencan, biaya makan, biaya jalan-jalan mereka menjadi hal lumrah dilakukan pasangan sejoli.

Faktanya, apakah kita mampu menolak itu dan memperhitungkan masalah keuangan tersebut di dalam lingkaran pertemanan atau hubungan percintaan untuk membayar masing-masing saat kita sendiri yang mengajak mereka?

Memang "tegas" dalam budaya keuangan yang berimbang itu di indonesia masih sangat riskan. Apa yang saya sebut tadi pekiwuh menjadi hal yang diutamakan sebagai keutamaan manusia berbudaya indonesia.

Apakah hal itu dapat kita ubah secara bersama-sama, yang mana ngomongin uang untuk masalah privat tidak lagi pada standar etika kerumunan itu dapat dilakukan?

Dalam arti membayar kebutuhan sendiri-sendiri di dalam lingkaran pertemanan untuk belanja mereka sendiri seperti makan dalam tongkrongan atau apapun dapat dilakukan tanpa ada pekiwuh-pekiwuhan?

Saya kira itu dapat dilakukan asalkan budaya menuntut secara tersirat tidak ada lagi di dalam masyarakat kita, yang saling menginginkan manfaat dari orang lain itu; termasuk kebutuhan akan finansial atau uang untuk kebutuhan nongkrong dan pertemanan kita.

Sebab banyak terjadi, kita pun harus menyadarinya bahwa kita adalah salah satu itu yang ingin terus ditraktir ketika teman itu dapat atau ada rezeki seperti habis dapat gajian, dapat bonus atau ulang tahun.

Cerita teman saya sebut saja "X" bahwa di negara lain seperti Malaysia, jarang ditemukan budaya nongkrong di warung atau di tempat tertentu meskipun itu teman atau lain sebagainya.

Rata-rata dari mereka membayar sendiri dengan uang mereka sendiri tidak ada budaya meminta traktiran, pekiwuh ngajak tidak mentrakir, dan lain sebagainya.

Intinya di negara lain sadar akan finansial, yang mana tau kepentingan pribadi, bersosial, dan berpergaulan sudah dapat dipisahkan di sana. Jadi permasalahan akan memberatkan orang lain atas nama pertemanan dan uang dapat diminimalisir.

Bukankah jika budaya pekiwuh masih berlaku, terus budaya masih saling mengharap traktiran seperti pesta ulang tahun dan sebagainya.

Bisa jadi itu halangan bagi kita dapat merdeka secara finansial yang mana kehidupan kita kedepan juga penuh dengan tagihan uang untuk makan dan kebutuhan-kebutuhan lain?

Inilah yang harus disadari akan literasi finansial yang mungkin dapat diketahui sebagaimana kontrol akan uang kita lebih efektif sebagai saku hidup kita masing-masing.

Bukan apa nilai tukar uang yang semakin lemah, gaji yang semakin kesini semakin stagnan bahkan mengecil menjadi catatan penting bagi pengelolaan keungan kita.

Yang artinya ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian akan memperoleh pekerjaan, itu harus dijadikan acuan bahwa menabung itu sangat penting disamping kebutuhan eksistensial lain seperti mntraktir dan pesta misalnya.

Semua itu antara mentraktir dan pesta sudah benar-benar tidak relevan lagi dihadapan zaman yang semakin sulit akan akses finalsialnya, yang mana kebutuhan hidup naik tanpa disadari itu adalah kepastian.

Bayangkan saya sendiri mengalami rentetan pengalaman akan finansial yang jika dipikir itu tidak ada progress finansial pada kenaikan di dalam hidup saya sendiri memaknai pekerjaan yang saya geluti.

Mungkin pengalaman seperti ini tidak hanya terjadi pada saya tetapi juga orang-orang lainnya. Gaji saya pada saat tahun 2012 lalu yakni kisaran 1,9 juta, saat ini 2022 masih 2,1 juta. Saya tinggal di salah satu kabupaten Jawa Tengah itu sudah standar UMR.

"Artinya dalam 10 tahun terakhir naiknya gaji saya kisaran 10%, padahal inflasi setiap tahun rata-rata 3-5 %, ok dibulatkan 5% maka jika ditotal dalam 10 tahun itu 50% infalsinya".

Bukankah 50% inflasi jika dihitung fakta ekonomi gaji saya saat ini nominal 2,2 juta mundur kebelakang 2012 jika dipotong inflasi, gaji saya sebenarnya setengah dari total nominal gaji sama nilainya 1 juta rupiah di tahun 2012 lalu?

Dengan itu, bukankah gaji tahunan kita itu sebenarnya turun walaupun angka sendiri menunjukan naik dihadapan nominal tetapi tidak dinilai daya beli terhadap kebutuhan?

Itulah mengapa gaji yang justru nilainya semakin turun jelas akan terus memberikan tantangan ekonomi bagi hidup kita, khususnya kalangan pekerja medioker seperti kita.

Namun secara tidak langsung masalah ekonomi itu juga pasti dirasakan di semua kelas, akan tetapi yang paling terdampak ya medioker ini.

Maka dari itu pentingnya melek pada literasi keuangan sangat penting di era tantangan zaman semakin sulit dalam ekonomi seperti saat ini.

Seperti diketahui harga properti saja yang banyak diketahui menurut berbagai sumber naiknya dapat mencapai titik 20% per tahun, itu menjadi warning kita bahwa hidup bukan semakin sulit tetapi nyaris kebutuhan dasar seperti hunian bisa dikatakan tidak dapat terkejar.

Dengan hasil gaji yang semakin sedikit jika dihadapkan nilai tukar dihitung per tahun, inflasi dan masalah ekonomi lain. Investasi merupakan jalan terbaik untuk dapat terus kompetitif berhubungan dengan naiknya perekonomian jaman untuk dapat beradaptasi.

Sadarilah tidak relevan lagi generasi saat ini menghambur-hamburkan uang untuk kebutuhan yang tidak penting seperti kebutuhan untuk memenuhi ego diri seperti pemenuhan gaya hidup, pesta, dan traktir mentraktir lingkaran pertemanan terkecuali kita lebih secara ekonomi "istilahnya kelebihan uang dan tidak butuh uang".

Tetapi jika kita sendiri menyadari bahwa kualitas hidup kita dibawah standar dengan gaji saat ini dan berhitung masih kurang uang untuk akomodasi hidup kedepan, saya yakin jika gaya hidup di kedepankan tidak ada investasi atau tabungan di masa depan, sudah jika saat ini kita hidup dari gaji ke gaji tanpa tabungan atau investasi.

Mati kita di masa depan yang artinya pasti akan "mati" hidup hanya dapat bergantung pada orang lain, itu pun belum tentu orang lain dapat membantu. Dapat juga di masa depan kita dari kebanyakan manusia itu sudah sama-sama hidup susah dan tidak bisa saling membantu satu sama lain, pikirkanlah hal itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun