Memang bukan harapan yang indah-indah besumber dari imajinasi kekayaan akan harta di dunia. Menulis dan kaya, mungkin itu adalah nilai yang dapat ia rasakan ketika keberuntungan tengah ia raih dalam setiap bait tulisannya menjadi bukit-bukit harta kekayaan.
Bukan tidak mau kaya dari menulis, aku mau, dan itu harapan yang setiap penulis inginkan. Tentu kaya bagi seorang "penulis" untuk supaya dia dapat bebas menulis kapan pun waktunya, karena kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri sudah terpenuhi dengan hasil kepenulisannya.
Tetapi aku tidak berbicara harapan jauh tentang itu, tidak menjadi kaya asal ada waktu untuk menulis saja bagiku sudah "luar biasa hidup in menjadi manusia". Bukan aku mengikatkan diri dengan menulis.
Menulis bagiku ibarat hidup kedua, upaya membaca diri dan membaca situasi yang dapat di baca oleh batin. Tentu karena ditulis dari batin "intuisi" rasio dapat menimbang, lalu dapat dijadikan sebagai bahan merenung kembali, bagaimana terus betah tanpa peduli lagi menjadi manusia?
Menulis bagiku adalah diriku yang lain. Tidak peduli apa yang menjadi aktivitas dari tubuhku. Batinku juga perlu untuk di dengarkan, namun bagaimana aku mendengarkan batinku sendiri? Aku menulisnya, dengan menulis, aku sedang berkomunikasi dengan batinku sendiri.
Tidak peduli menjadi manusia dengan atau menjadi pekerja formal kini. Menulis sudah menjadi bagian dari diriku, bahkan harapan untuk tetap melanjutkan setiap dari waktu-waktuku. Sesuatu itu, menulis merupakan terapi penyembuhan jiwa bagiku. Karena aku tidak mungkin hilang, akan terus tertinggal jejak, dari setiap apa-apa yang telah aku tulis di dalam tinta digital ini.
Perenungan ini, mungkin terus akan menjadi saksi bahwa; tidak peduli bagaimana kondisinya kini. Meluangkan waktu kontemplasi, merenung ditulis seperti telah menjadi kebutuhan dasar aku sebagai manusia.
Bersama angin malam ini, aku juga ingin bersaksi, apapun setiap kondisi diri ini, menulisnya seperti menjadi terapi hidup yang sejati. Mau menjadi apapun diriku dengan menulis itu bukan soal. Tentang perjalanan jiwa yang perlu dikenali, ia tidak hanya butuh di dengar, juga butuh ditulis sebagaimana aku butuh diriku sendiri di setiap kondisi.
Antara aku dan menulis, tidak bisa dengan mudahnya untuk ditinggalkan, meskipun karya ini hanyalah receh yang sedikit dihargai. Tetapi bukan itu, yang aku hargai dari aktivitas menulisku sendiri adalah diriku sendiri. Dengan menulis aku lebih menikmati hidup, yang mungkin banyak orang kini mempertanyakan bagaimana menikmati hidup itu? Nikmatku dan tulisanku, abadilah engkau bersama lamunanku kini sebagai sebuah seni yang lain dari hidup.
Lama aku sudah tidak menulis dengan jiwaku, lalu bagaimanakah dengan cara mereka menunjukan dirinya sendiri untuk tetap ada dan terakui pada akhirnya? Obsesi untuk menjadi, apakah ini masih relevan ketika, aku sungguh bahagia merekam apa yang menjadi jalan pikiranku sendiri?
Tetapi tahukah kamu ketika semua khayal dan diriku ini tidak diterjemahkan dalam tulisan? Itu sesuatu yang berbeda. Aku seperti hantu-hantu yang bergentayangan siang dan malam, mencoba untuk terekam namun, tetap; tanpa mereflesikan diri dengan tulisan, aku seperti dalam alam baka ketiadaan melampaui apa yang disebut dengan hantu itu yang sedang berkeliaran mencari penghidupan.
Aku garuk terus rambut dalam harapanku yang semakin akan menjadi kesia-siaan. Tidak mudah memang dalam menjadi manusia bercerita dengan tenangnya dibalik lamunannya sendiri. Bunga-bunga, apakah kau dapat mendengar, bagaiamana aku ingin terus melukiskan hari ini untuk sementara waktu? Tidakkah engkau juga harus terus dirangkai seperti kali ini aku terobsesi dengan bagaimana Jawa dengan kebudayaannya yang indah, numun tidak seindah realitas menjadi manusia?
Lagi, aku ingin memeluk dunia-ku dengan begitu erat yang hampa dan kering teronta, tanpa tahu hidupku ini untuk apa? Tergiring, giringlah aku pada penerimaan diriku sendiri, menjadi tanpa aku harus mengemis diri untuk diakui. Wajahnya, akan aku lukis seperti kepang dalam rambut yang dibangun dari batang-batang daun singkong diplataran rumah. Kita akan bahagia jikalau kita menemukan rumah itu didalam diri kita sendiri tanpa membakarnya.
Setiap gambaran kebahagiaan yang tentunya lahir dari dalam diri kita sendiri. Itu tidak hanya akan patut untuk dikejar, tetapi dengan berbagai kebahagiaan yang ada, akankah aku akan menemukan orang itu disana? Ya, disana ditempat yang sama sekali tidak membuat aku bahagia? Wajahnya, seperti bidadari yang mengantung itu, oh, aku gila seperti tergila-gila karena obsesiku sendiri.
Kini semuanya memang akan terlihat jelas, gambaran dari dunia-duniaku yang tidak pernah tersebut itu. Angin yang membelaiku siang ini, terkesan bahwa; indahnya hari akan menjumput dunia-ku besok, sepertinya aku juga harus mencari jawaban, dan sandaran-sandaran sebagai jawaban itu, mungkin aku akan mencarinya sedari sekarang.
Dan pahamilah aku sebagai yang ingin kamu ketahui, tentang mimpi-mimpi itu, yang telah menjadi sandaranku kini, mebelenggu saat manusia tunbuh dewasa dengan berbagai sikapnya. Namun kehidupan seperti hanya akan membuahkan gantungan-gantungan yang sepadan. Manusia terus akan menciptakan gantungan pada obyek pikirannya sendiri.
Orang bergantung untuk tenang, ia menenangkan diri untuk sesuatu yang tidak diketahuinya. Para manusia, ibarat lengah dalam mencari jawaban, tetap tentang jawaban itu, terkadang menggurau akan lebih baik kejadianya, tetapi sudahlah, pemikir hal yang berat-berat memang cocoknya sebagai pemikir berat!
Berpikir dan terus berpikir, sepertinya aku sudah menjadi manusia yang kelebihan berpikir. Namun yang tidak akan terbagi pada akahirnya, apakah kebiasaan berpikir ini tidak akan menjadi candu? Mungkinkah berpikir ini tidak akan pernah mati? Ungkaplah dalam kediaman, aku seperti mereka saja yang merekam lewat berbagai media. Sepertinya aku terus berpikir dan akan semakin berpikir.
Tetapi dalam aktivitas berpikir itu, mungkinkah ini tidak akan menjadi kegilaan dari berpikir? Mungkinkah menjadi benar adanya bahwa; berpikir adalah obyek dari obsesi itu? inilah kerancuan terhadap hal yang paling rancu ingin manusia ucapkan. Aku memang sedang berkata-kata dengan pikiran, bahkan rasaku sendiri yang terekam.
Melambat, aku ingin waktu ini melambat agar dia tenang bersama lamunannya sendiri. Tidak lagi akan tergambar jelas, wanita itu yang ada dalam mimpiku, akulah dia yang selalu bertanya? Apakah mimpi adalah gamabaran dari para manusia bedebah yang putus asa? Dimana ia bukan saja mencari tenang dalam hidupnya sendiri? Tetapi justru malah mencari obsesi untuk selalu berpikir dengan obyek yang menganggunya seperti kekaguman pada wanita?
Bergantung, memang dibutuhkan sesuatu obyek mengantungkan diri untuk pikiran manusia. Tentu disini mereka: "manusia" butuh gantungan dalam hidup untuk sesuatu yang tidak mereka ketahui. Tentang berbagai misteri didalam hidup manusia, akankah ia merapuh seperti bayangan imajinasi yang terkadang untuk sesuai dengan realitas ada kalanya sangat sulit? Wanita, cinta dan obsesi ada kalanya perlu untuk dibunuh. Namuan dengan gairah berpikir, apakah pantas dan layak terbunuh sebagai sebuah narasi yang dipertanykan itu? aku kira tidak akan semudah itu, berpikir juga sisi lain dari sebuah seni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H