Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Gaya Hidup dan Narasi Manusia Unggul

19 Juli 2022   07:33 Diperbarui: 20 Juli 2022   18:27 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peradaban yang memilih, mungkin pantas disematkan sebagai acuan yang akan terus dikumandangan manusia abad 21. Bukan apa, pesatnya teknologi, mode, dan pemikiran mengenai kehidupan sendiri begitu maju diabad ke-21 ini.

Sepertinya kondisi inilah yang membuat memilih sebagai manusia didalammnya, yang berpikir dengan cenderung menimbang. Apakah sesuatu "memilih" itu hanya akan menjadi kesia-siaan belaka, atau malah menambah beban hidup yang ada?

Tentang gaya hidup, atau keputusan-keputusan ekonomi yang salah bahkan dengan jalan hidup yang keliru. Memang memilih bukan perkara gampang, seperti memilih dalam menulis topik-topik apa yang belum tersentuh oleh kebanyakan pemikir lainnya.

Atau tulisan-tulisan dengan kadar harus dibaca dua atau tiga kali untuk paham konten yang disajikan dari penulis kepada pembaca itu sendiri. Tetapi perkara bentuk dari apa pilihan itu tidak lepas adalah konsekwensi yang harus ditanggungnya sendiri sebagai diri manusia, bagaimana melihat pahit di dalam manis sebagai konsekwensi dari pilihan itu.

Memang menjadi manusia bukan hanya harus ditangguhkan pada pilihannya sendiri akan hidup, tetapi juga memilih apa yang ingin dipilihnya sendiri dalam menjalaninya.

Tentang berbagai pengetahuan disana, apakah menjadi sebuah rujukan untuk manusia dalam menentukan pilihannya sebagai keputusan hidup yang harus dipilih mereka pada akhirnya yang harus bernalar dalam menuntukan keputusan itu?

Semacam menjadi ajang untuk renungan setiap pagi dan malam tentang hidup. Menjadi manusia bukan hanya memilih yang akan baik untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk memilih siapa yang akan hadir dalam hidupnya pun juga adalah bentuk dari pilihan hidup yang tidak harus manusia kesampingkan baik dalam menjadi diri sendiri atau di dalam kerumunan itu sebagai manusia.

Jangan hanya menjadi pengumbar kata sebenarnya sesungguhnya orang lain hanya menjadi penimbang apa yang disesalkannya sendiri dengan keputusan orang-orang lainnya yang menurutnya gajil.

Tetapi disini, apakah ada orang yang mampu mendengarkan orang lain, yang lebih lagi dari itu menuruti apa pendapat orang lain? Jelas sebagai pertanyaan sendiri ini sudah sesuatu yang gamblang. Konsep dari ideal itu sendiri tidak mungkin akan bertumbuh dari pemikiran manusia lain selain dirinya.

Tentu kesadaran dalam pengetahuan itu merupakan suatu hal yang pokok. Dimana sebagai manusia dan menjadi manusia supaya ia tidak gagal pada pilihan yang akan dipilihnya sendiri. Mungkin kata-kata ini seperti abstrak di dalam setiap pembacaannya. Namun yang perlu diingat, apapun tulisan sebagai cermin seorang manusia, ia bukan saja terinspirasi dari kadar-kadar sosial yang membawa pada imanjinasinya, tetapi tatapan pada realitas sendiri, ia melahirkan sebuah pemikiran yang patut untuk dikaji.

Dan pengetahuan seperti menjadi kompas yang didalamnya, yang terbentuk sebagai suatu kesadaran baru bagi manusia. Memang dalam mendengarkan orang lain, manusia hanya butuh kesadaran dalam mendengarkan.

Tentu disini bukan manusia satu menuruti manusia lainnya, tetapi menjadikan pandangan orang lain sebagai bentuk kesadaran yang lain dari dirinya juga "patut" untuk diperhitungkan keberadaannya.

Adakalanya dibalik orang lain adalah neraka yang "Jean Paul Satre" kumandangkan sebagai titik kebijaksanaannya dalam filsafat hidupnya, tidak dapat disemaatkan pada orang-orang yang telah mencapai kesadaran.

Manusia memang butuh orang lain sebagai cermin, dimana sudah tepatkan tindakan yang harus kita "manusia " lakukan? Inilah mengapa orang lain memang harus didengarkan setidaknya untuk menjadi tanda bahwa; "kita tidak akan terlalu jauh bertindak ceroboh dalam menentukan pilihan, karena memilih pilihan sama halnya; kita akan dihadapkan pada kebahagiaan dan penderitaan kita sebagai manusia."

Menjadi manusia berarti dia berkuasa atas dirinya sendiri, namun tentang kuasa-kuasa yang akan mereka implementasikan dalam memandang hidup itu sendiri, apakah pengalaman sebuah yang terus berulang-ulang tidak akan menyadarkannya dalam menanggapi kuasa untuk pilihannya tersebut? Yang mana sebagaimana manusia punya pilihan dan kehendak bebas sebagai manusia?

Pastinya dasar-dasar hidup memang harus jelas begitu juga pilihan hidup yang harus dipilih sebagai suatu bentuk hidup bahwa serius dalam menjalani kehidupan, hasilnya akan berbeda dengan orang-orang yang igin terus main-main dalam kehidupan ini.

Serius hidup berarti mereka yang mampu menata moralitasnya, mampu menata kehidupannya secara efektif dan mampu menjadi pribadi yang unggul ditengah pribadi "main-main", yang tidak sadar bagaimana optimalisasi hidup abad ke-21 itu sedang berlangsung dalam bentuk dan rupa. Bertrasformasi menjadi manusia unggul dan efektif merupakan ciri yang harus dilakukan manusia kedepan. Karena hidup itu yang dituntut harus selalu menggunakan nalar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun