Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Feminis Pemimpin, Kraton, dan Jawa

18 Juli 2022   07:15 Diperbarui: 18 Juli 2022   20:51 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Perempuan terlihat lemah karena pandangan sosial yang memposisikan mereka lemah, bukan berarti dipandang "lemah" tidak bisa menjadi kuat. Perempuan merupakan mahluk yang paling kuat, meskipun ia direndahkan secara pandangan sosial, tetapi kekuatan itu terletak pada sikap mau mengalah terhadap peradaban yang sebenarnya menindas mereka. Pada dasarnya perempuan mahluk paling berani menata dirinya, mereka adalah pemimpin, sekaligus mampu "mengalah" untuk menjadi perempuan itu sendiri, yang bila mereka menggugat : dunia memang milik mereka "perempuan" (Women the real leader of the world)".

Mungkin inilah jawaban dari kebudayaan Jawa misalnya; meskipun sosok pemimpin perempuan sendiri banyak dibelahan dunia lain, tetapi kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang terdekat dan nyata dapat kita lihat.

Mengapa tempat bersemayam-nya raja-raja Jawa dinamakan Keraton? Bukankah keraton sendiri berasal dari kata Keratuan (ratu: perempuan), yang dimana pemimpin sebenarnya harus berjiwa feminis?

Sosok atau figure jiwa permempuan menjadi ibu bagi kehidupan seperti harus dilibatkan dalam struktur tertinggi politik masyarakat masyarakat Jawa. Ini menunujukan bahwa; peradaban memang harus feminin supaya jiwa merawat kehidupan seperti ibu yang merwat dengan baik anak-anak mereka, sebagai bagian dari menjaga kehidupan itu sendiri.

Namun kembali tentang sesuatu yang telah membudaya dari generasi ke generasi, bahwa; dibutuhkan kesadaran secara total dalam ber-masyarakat untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi peran maskulinitas peradaban dunia. Yang justru terjadi faktor kejayaan, eksapansi, dan kehendak kuasa menjadi cermin peradaban masyarakat dunia saat ini, bukan merawat dunia seperti peran ibu (feminin).

Memang bukan hanya berbicara keadilan gender, tetapi juga mana peran yang baik untuk sama-sama merawat dunia dan masyarakatnya. Masih banyaknya perang di dunia, ketimpangan sosial, dan eksploitasi pada alam yang berlebihan mungkin harus berkaca pada, apa sebenarnya yang salah dari peradaban dunia itu sendiri saat ini?

Maskulinitas yang terkadang jumawa, mengidealkan kuasa dalam permainannya, apakah ini biang dari semakin terdegradasinya kehidupan dunia, diamana alam dan masyarakat semakin mempunyai kualitas hidup yang rendah?

Bukan saja menjadi catatan, dalam menjadi manusia memang fackor feminin dan maskulin dapat termanifestasi di tubuh yang sama. Tetapi berbicara adikodrati sebagai manusia, mereka akan optimal ketika; mereka menyadari tubuhnya masing-masing, dan tidak mungkin manusia akan optimal tanpa ia bersatu dengan tubuhnya sendiri, dalam arti permpuan tetap menjadi feminin dan laki-laki akan tetap menjadi maskulin dalam mengotimalisasi hidupnya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun