Ungkapan yang menjelaskan tak kenal maka tak sayang. Mungkin itu akan menjadi genap bila segala sesuatunya sudah dikenali sebelumnya.
Untuk menjadi terkenali, seseorang haruslah dapat terjun pada apa yang mungkin belum mereka kenal. Tentu seperti konsep beragama bagi saya, terus terang saya memang tahu agama tetapi saya akui secara jujur saya belum mengenal agama dengan baik.
Menurut pemerintah Indonesia seperti yang ada dalam pelajaran sekolah, agama yang diakui secara sah oleh konstitusi di Indonesia berjumlah enam agama, masing-masing yakni islam, kriten, budha, hindu, katolik dan konghucu.
Sebagai orang yang tumbuh di salah satu desa di pinggiran Kabupaten Cilacap yang terkenal dengan istilah abangan. Bagi saya, "agama" karena tidak diwarisi secara kuat kultural oleh keluarga saya, memang keberadaannya tidak begitu penting meski diluar sana banyak orang yang menomor satukan agama.
Istilah abangan merupakan segmen budaya masyarakat yang hidup mengikuti tataran adat leluhur. Meski saat ini adat leluhur seperti diketahui juga mulai luntur ditelan moderisasi zaman di Jawa. Maka dari itu "Abangan" dalam konteks abad-21 adalah mereka-mereka bukan kalangan yang memegang erat agama, bila dalam konteks Jawa yang umumnya agama mayoritasnya adalah islam.
"Umumnya kalangan abangan merupakan mereka-mereka yang hanya beragama islam di KTP saja. Meski tetap pada saat hari besar agama islam turut memperingatinya dan tetap ada saja yang menjalankan puasa".Â
Titik balik dimana saya mengenali agama secara kultural yang digenggam erat oleh masyarakat luar kehidupan desa saya adalah ketika saya merantau keberbagai penjuru kota-kota besar.
Pada saat itu rekan kerja saya seperti orang yang benar-benar mempraktikan amalan-amalan agama terbaik menurut versi mereka. Setidaknya itulah anggapan saya secara pribadi yang berlatar belakang kaum "Abangan".
Saya menjumpai seorang teman tidak mau terputus sholatnya lima waktu. Pada saat suara Adzan berkumandang. Dia langsung teringat sholat dan bahkan jika mereka tidak sedang dijalan, dia langsung bergegas ke masjid terdekat.
Itulah yang mungkin menjadi pemandangan yang asing bagi saya. Terkadang ada masjid dilingkungan saya saja banyak yang kalau siang tak ada suara adzan. Tentu umumnya karena kesibukan orang-orang yang direkomendasikan agama melakukan Adzan untuk memberi tanda waktu sholat. Â
Begitu juga kawan-kawan saya yang beragama lain seperti Hindu di Bali karena pada saat itu ditahun 2017 lalu saya juga pernah merantau ke Pulau Dewata. Tetapi pelajaran budaya dan agama dari pulau Bali sangat membekas bagi kesadaran kehidupan saya.
"Kaum beragama di Bali, baik Hindu, Budha, Islam, Khonghucu, Kristen maupun Katolik, saya kira mereka beragama juga memumpuk kesadaran spiritual dimasyarakat, dimana Pulau Bali menurut saya adalah pulau paling toleran pada perbedaan agama meski disana merupakan agama mayoritas Hindu. Sangat jarang sekali disana ada gesekan latar belakang agama di pulau Bali".
Oleh karena itu setiap rekan saya ada upacara, sudah pasti pekerjaan apapun pentingnya mereka akan tundanya untuk mengikuti acara tersebut. Bukankah kita tahu bahwa Hari Raya Nyepi menjadi ritual keagamaan yang unik dan berbeda, yang masih kramat digenggam masyarakat Bali meski kerugian ekonomi akan nyepi tidaklah sedikit?
Inilah yang membuat bagaimana saya takjub sekaligus merasa pikiran saya merasa absurd memandang bagaimana seseorang dapat begitu melekat dengan agama. Saya takjub karena agama mampu menggerakan massa, dimana kontribusi positif melalui pengorganisasian agama dapat efektif berdampak pada masyarakat.
Sebaliknya saya yang berlatar "abangan" dimana saya tidak begitu mengenal agama, hanya berbekal pengetahuan buku-buku seperti filsafat yang saya pahami. Tentu membuat saya kritis pada agama yang mempersempit asumsi saya pada agama yang sebenarnya banyak aspek didalamnya.
Namun dari padanya saat saya sudah mengenal bagaimana social masyarakat, eksistensi manusia dan perwujudan spiritual itu sendiri pada sebuah perbubahan pada kebaikan yang haikiki. Saya menyadari potensi agama yang begitu besar sebagai bagian dari masyarakat untuk membuat suatu perubahan dalam bermasyarakat lebih baik melalui agama.
Sebagai agama mayoritas di Indonesia, islam dan santri kiprahnya tentu sudah tidaklah diragukan. Agama adalah wadah dan santrinya merupakan penggerak dari wadah tersebut, mau dibawa kemana sebuah agama tetap akan bertumpu bagaimana kualitas umatnya (Santri).
Agama sebagai suatu nilai kebaikan yang besar yakni mampunyai umat yang mampu diorganisir oleh pemimpin-pemimpin mereka dan sudah pasti punya pengaruh bagi jamaahnya.
Saya teringat bagaimana saya berada di Kota Pekalongan saat itu. Pada waktu itu saya memang tidak kenal ulama-ulama setempat, apa pengaruhnya dimasyarakat. Tetapi waktu itu, tempat saya bekerja lokasinya tidak jauh dari rumah Habib Lutfi Bin Yahya seorang ulama karismatik yang dikenal luas oleh masyarakat.
Ketika ada pengajian dirumahnya setiap Jumat Kliwon, saya kaget bagaimana jamaah yang mengikuti pengajiannya tidak hanya local Kota Pekalongan saja, tetapi jamaah Sang Habib itu setahu saya sampai ada dari Brebes hingga Pati, Jawa Tengah mengikuti pengajiannya.
"Maka dengan potensi ketokohan pemimpin-pemimpin agama yang diikuti oleh jamaahnya. Inilah nilai positif agama, dimana ketika pemimpin-pemimpin agama itu adalah orang yang baik, orang yang mempunyai cita-cita mulia pada kemanusiaan, dan mempunyai sikap toleran pada perbedaan manusia, disitulah agama dapat menjadi dampak mendasar terwujudnya kebaikan social".
Dengan pengaruh agama yang besar, saya sendiri telah menyadari itu. Karena pada hakekatnya jika manusia ingin berbuat suatu kebaikan bagi masyarakat, membentuk suatu organisasi dalam menggerakan kebaikan merupakan jalan utama yang harus ditempuh dan saya kira organisasi berbasis agama memfasilitasi itu.
Setelah sekian lama saya merantau dan pulang ke desa, saat ini identitas social keagamaan khusunya islam memang sedang terbentuk dengan rapi. Banyak ormas keagaam yang sekarang telah eksis di desa saya dipinggiran Kabupaten Cilacap ini dengan berbagai bentuk dan rupa.
Mau tidak mau itu adalah lompatan peradaban yang memang sudah berkembang dan saya sebagai manusia yang juga mengidealkan suatu kebaikan harus terjun pada hal yang baik termasuk bergabung dikalangan santri yang bernaung pada ormas keagamaan di desa saya meski pengalaman beragama saya sangatlah cetek.
Namun tentang latar belakang, saya kira ujung dari manusia beragama tidak hanya menstimulasi bagaimana pengaruh spiritual pada sifat-sifat ketuhanan yang harus dimiliki manusia. Tetapi beragama pada praktiknya adalah mengedepankan praktik-praktik humanisme, dimana rasa saling welas asih pada sesama manusia itu adalah tujuan dari adanya agama.
Saat ini saya telah ikut mengorganisir ormas keagaamaan di desa saya meski saya hanya sebagai anggota. Tetapi anggota pun punya pengaruh yang besar dalam menggerakan roda organisasi social keagamaan, bagaimana seharusnya menciptakan hal yang baik untuk masyarakat melalui oramas berbasis agama.
Sejauh ini kegiatan-kegiatan yang dihasilkan dari bangunan ormas keagaamaan yang muncul di desa yang saya ikut bergabung didalamnya adalah optimalisasi sedekah masyarakat melalui koin-koin atau uang receh yang dipandang sebalah mata, namun praktiknya jika itu dikumpulkan oleh banyak masyarakat nilai dari jumlah uang itu tidaklah sedikit.
Banyak masyarakat yang desa saya yang terbantu setidaknya melalui sedekah koin tersebut setiap bulan ada sekitar sepuluhan paket sembako yang dibagikan pada anak yatim dan duafa. Selain itu program-program pemberdayaan lain bagi kelompok dan masyarakat secara luas adalah membangun potensi ekonomi melalui lingkungan hidup yakni mendirikan sebuah Bank Sampah.
Program selanjutnya yang sedang digagas oleh organisasi masyarakat berbasis agama ini adalah bagaimana pengelolaan menajemen masjid dibawa secara professional, dimana infak masjid dapat digunakan untuk sesuatu yang besar tidak hanya untuk masjid saja secara infrastructurenya.
Tetapi juga untuk pemberdayaan jamaah masjid itu sendiri, berfokus juga pada pemberdayaan ekonomi, social, pendidikan, dan praktik keagamaan berbasis masjid. Tentu supaya roda pengelolaan masjid dapat lebih menyeluruh dan inklusif sebagai pusat dari masyarakat membangun sebuah budaya baru yang berdampak baik pada perubahan masyarakat melalui masjid untuk masyarakat dan dari masyarakat, untuk kita dan dari kita. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H