Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pesimis dan Jalan Menuju Kesuksesan

1 Juli 2022   07:20 Diperbarui: 1 Juli 2022   15:35 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay.com

"Tanpa pesimis, pandangan akan optimisme akan menjadi liar, yang mana kebanyakan dari kita liar dipikiran bukan di tindakan, jika seperti itu bagaimana akan sukses?".

Jika dipikir, tantangan apapun dalam bentuk hidup itu memang berat dan melelahkan apalagi lahir dari generasi milenial dan generasi z, yang lebih terkesan jika melihat dari pada melangkah memperjuangkan apa itu sukses.

Seperti telah menjadi refleksi hidup saya sejauh ini. Pikiran dalam memandang kehidupan saya sendiri, menjadi actualnya generasi yang berpikir sukses. Memang mencengangkan tetapi melelahkan, lucu tetapi candu, dan semakin sinting saja membandingkan diri dengan yang lain mengukur ukuran menjadi sukses.

"Biasa terjadi, orang yang justru tidak punya sarana kesuksesan. Hal yang menarik untuk dirinya adalah memandang dan mengikuti cerita-cerita orang "punya" yang sudah pasti mereka kaya dasar dari kesuksesannya. Alasan mengikuti mereka yang "punya" supaya ketularan sukses. Karena sukses di pikiran banyak orang dicirikan dengan kekayaan, setidaknya bagi generasi milenial dan Z"

Soalnya apalagi yang bisa dilakukan "manusia" kalau bukan bergelut dengan harapan akan kaya. Dilebeli sukses dan mau apa-apa mudah tanpa bekerja terlalu keras, tinggal beli ini dan itu menjadi harapan semu yang justru itu seperti nyata.

Makanya mau optimis sukses; lebih baik realistis meski harus menjadi pesimis untuk memulai sukses. Sebab arti dari kesuksesn itu terkadang dikelabui oleh pikiran, bagaiamana apa yang dilihat dan dimaksud dengan sukses seperti hal yang subektif. Jadi apakah sukses itu hidup di dunia ini?

Saya kira setiap orang punya definisinya sendiri untuk sukses dan yang pasti ketika memandang dengan kepesimisan menyadarkan kita berasal dari mana, bermula dari apa, dan apa yang bisa kita perjuangakan untuk kesuksesan itu. Apakah semua itu sudah berimbang?

Saya, akhir-akhir ini memang lebih nyaman menjadi orang pesimis; itulah faktanya. Bagi saya itu realistisnya menjadi manusia harus "hidup bersama kepesimisan" supaya tidak terbebani.

Bagaimana tidak pesimis ketika diri saya sendiri enggan untuk terlibat dalam cerita-cerita hidup yang hebat, ekstrim, dan unik mengandung cerita sukses itu?

Sejauh ini, saya hidup begini-begini saja. Hanya bekerja, mencari uang, dan berharap beli rumah dengan bayaran upah UMK yang naiknya segitu-segitu saja. Nilanya masih 2 juta-an sedangkan harga rumah ditaksir 300 juta.

Maka dengan kepesimisan, saya akan tetap menikmati saja. Dimana dengan harapan yang sederhana tetapi itu dilakukan ide pesimisme sebagai tindakan. Sukses bagi saya tidak muluk-muluk ingin ini dan itu. Bagi saya punya rumah dan terus mampu bertahan diterjang oleh kebutuhan ekonomi hidup itu sudah pencapaian yang luar biasa.

Meski saya sadar bahwa penghasilan UMK (Upah Minimum Kabupaten) masuk dalam kategori miskin. Saya terkadang tersadar, apa lagi mereka yang hidup dengan setandart dibawah UMK.

Saya gak bisa membayangkan kategori kemiskinannya. Saat ini uang 70 ribu satu hari membeck up kebutuhan satu keluarga yang misalkan lima jumlahnya? Bukankah itu masuk kategori miskin, dimana untuk makan enak ayam 1 kg saja terkahir akhir bulan juni 2022 harga mencapai 40 ribu lebih?.

"Ya selayaknya orang miskin, tentu ada kualitas hidup yang kurang. Jelas upaya yang rendah dari daya beli akan perekonomiannya sebagai "miskin" tidak akan mampu membeli kualitas hidup yang baik"

Dalam wacana berpikir saya, terus terang antara optimism dan pesimisme. Keadaannya justru kadang tidak berimbang bagaimana ukuran sukses itu diperlihatkan oleh orang-orang.

Tidak jarang dari waktu-waktu saya hidup. Dominan pesimis dari pada optimis itu yang saya rasakan, yang mana menjadi pesimis itu lebih masuk akal dari pada optimis untuk berpikir sukses menurut banyak pemikiran orang. Semua itu berlaku bagi pemikiran saya ini.

Entah ini dibenarkan atau tidak sebagai kepatutan menjadi manusia yang ingin sukses. Saya tidak peduli. Kenyataannya hidup, menjadi pusat perhatian pun dengan lebel sukses misalnya.

Semua akan hilang pada waktunya seperti kesuksesan akan kepemilikan harta dan nama yang tersohor akan hilang dikala seseorang ceroboh optimis akan terus langgeng tanpa pesimis untuk dapat terus menjaganya.

Semua itu di antara "kesuksesan" dapat hilang dan berganti kepada yang lain menjadi sesuatu yang pasti seperti roda itu diputar. Yang mana jika sedang diatas dapat disanjung-sanjung atas kesuksesannya. Dapat di olok-olok jika ada yang kurang atau tidak pas dengan orang lain di pergaulan social masyarakat dengan identic kesuksannya.

Saya yang tumbuh dan berkembang hidup di desa. Tentu ingat bagaimana dinamika kehidupan orang desa sendiri yang naik turun, yang mungkin akan terus saya pegang demi mengamankan kehidupan saya dan social saya sendiri ketika hidup di desa. Ingin hidup dengan kesederhanaan bentuk kenyamanan hidup bukan kesuksesan semata.

Karena "hidup" tentu bukan untuk saat ini atau besok. Kehidupan ini adalah waktu yang panjang. Tidak salah orang-orang bijak itu berkata bahwa; "bekerjalah seolah kau akan hidup selamanya dan beribadahlah melakukan kebajikan anggap kau akan mati besok" artinya yang kita kejar bukan kesuksesan tapi keberamaknaan hidup.  

Selayaknya orang yang mencoba ingin memahami kehidupan lika-liku dan seluk beluknya. Bagi saya dengan latar berpikir "ndeso" ini. Orang desa terbagi atas dua preferensi berpikir. Pertama adalah orang yang diam-diam mampu dan orang yang mampu tidak diam.

Diam-diam mampu artinya, orang yang mampu di desa tidak semuanya menunjukan kemampuannya. Tidak semua konsumtif ikut trend dengan membeli ini itu untuk kemewahan yang juga artinya seseorang yang mampu "tidak diam" berarti memamerkan apa yang mereka beli meskipun ada yang eli melalui hutang maupun kredit.

Tetapi menjadi mampu "tidak diam" dihadapkan resiko yang besar, yang mana jika tidak terkontrol konsumerismenya akan menimbulkan sebuah kebangkrutan. Lebih besar pasak dari pada tiang atau "lebih besar pengeluaran dari pada pendapatan".  

Maka tentang kesuksesan, bahasanya imajinernya begini; "apakah akan optimis sukses besar ketika berpikir akan sukses itu lebih dapat terjadi dari pada bergerak menuju kesuksesan itu? Saya yakin tentu tidak, sukses harus bergerak"

Ya pergerakan pun itu mengukur dari mana kita berasal, mulai dari mana untuk sukses. Maka dari itu pesimis sukses seperti orang lain itu sangat dibutuhkan sebagai wacana berpikir itu sendiri bagi kita menafsirkan kesuksesan.

Satu dari banyak manusia disana. Mereka bisa sukses dengan kedudukannya masing-masing berasal dan bermula dari mana. Untuk itu sukses bagi saya bisa bertahan hidup, punya rumah kecil-kecilan untuk keluarga saya kelak dan bisa menaikan taraf hidup keluarga saya lebih baik dari saya, itu kesuksesan saya yang sebenar-benarnya.

Tidak harus punya mobil mewah, liburannya keluar negari, dan mampu membeli harga rumahnya bermilyar-milyar. Dalam hal kesuksesan yang demikian saya pesimis menjadi "sukses".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun