Tentang bagiamana orang-orang itu bicara tentang pernikahan, pada kasusnya memang setiap orang mempunyai interpretasi sendiri pada pernikahan itu.
Bagi interpretasi pemikiran saya tentang pernikahan dan orang-orang yang berbicara menikah; "Masih sehat, bisa kerja, bodoh sekali tidak menikah, pecuma punya alat kelamin untuk pipis saja" mereka tidak salah dan ya tidak pernah salah berkata demikian.
Hanya saja saya tidak mau terbuai dengan narasi tawaran atas diksi pernikahan itu, yang mana kata orang menikah itu 1% enak dan 99% enak banget.
Dengan daya nalar kritis akan pernikahan itu, berserta sisi tidak enak dibalik "enak" apa kata orang. Apakah demikian adanya tentang pernikahan yang hanya "enak, dan enak banget saja? Bahkan tidak ada kesengsaraan sedikit pun pada pernikahan yang ada katanya "enak-enak" itu?
Saya memang belum membuktikannya bagaimana pernikahan, yang kalau dijalani itu seperti apa. Apakah saya sedih atau galau sama seperti orang-orang yang belum membuktikan yang enak-enak itu pada pernikahan, meski dalam bayangan orang se-usia saya sudah layak menikah?
Jelas sebagai orang normal dan menginginkan pernikahan itu "ya ada lah sedikit merasa galau" yang jelas siapa yang tidak ingin pernikahan. Kata Aristotelis filsuf yunani kuno, "dengan segala cara menikahlah. Jika mendapat istri yang baik anda akan menjadi bahagia. Jika mendapatkan istri buruk Anda akan menjadi seorang filsuf".
Namun bagimana tafisr dunia itu, kebanyakan orang hanya berpikir enaknya dan bahagianya saja seperti beragama yang jadi tawaran menariknya bahagia di akhir yakni surge yang dijanjikan.
Tetapi saya tidak akan berbicara menganai agama karena itu urusan privat masing-masing dan seharusnya tentang pernikahan juga urusan privat yang tidak harus dicampuri dan tidak harus di iming-imingi "keenakkannya" cukup dinikmati sendiri-sendiri saja.
Karena diakhir kalimat kutipan Aristotles tentang pernikahan dengan orang yang buruk dan anda akan menjadi Filsuf. Itu bukti kuat bahwa menikah tidak selamanya bahagia dan enak-enak saja. Ini dapat dipikirkan secara nalar berakal sehat.
Setidaknya ada peluang kesengsaraan disana, yang mana jika kita tetap kuat menghadapinya, Kita akan menjadi orang bijak layaknya filsuf bagi jalannya pernikahan dan kehidupan yang mengirinya bereksistensi sebagaimana manusia.