Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Uang dan Kebutuhan, "Mustahil" Kita Bisa Hidup Tenang di Masa Depan

17 Juni 2022   17:39 Diperbarui: 21 Juni 2022   10:29 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pixabay.com

Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang nilainya semakin naik seperti menjadi gejala awal bahwasanya harapan hidup tenang dalam memandang ekonomi menunjang kehidupan sudah sepatutnya dipertanyakan oleh kita semua, yang saat ini berada di kelas menengah ke bawah ekonominya.

Pendapatan ekonomi kecil atau pun menengah jika barang-barang sudah mahal, bukankah nilai tukar uang tetap saja akan tereduksi, yang mana tetap ada penurunan kualitas nilai dari jual beli itu sendiri secara otomatis yang harus ditanggung kita semua?

Semakin menipisnya sumber daya, tanah-tanah pertanian yang mulai tergerus dengan bangunan rumah dan industri, menjadi catatan penting bahwa ke depan hidup bukan akan semakin mudah. Tetapi akan sangat sulit bagi seseorang untuk naik kelas ekonomi dengan harga yang jelas akan semakin tinggi di balik permintaan yang banyak ketersediaan barang yang sedikit.

Harga-harga yang kini melambung tinggi seperti barang kebutuhan pokok juga termasuk kebutuhan hunian, membuat tantangan ekonomi hidup sendiri relatif sulit di masa depan dengan pendapatan yang cenderung tidak setimpal dengan harga kenaikan barang setiap tahun, mengacu pada mayoritas pekerja yang bergaji hanya upah minimum setempat.

Tentu setidaknya ini berkaca pada pendapatan saya sendiri yang mengacu pada Upah Minimum Kabupaten (UMK), di mana saya tinggal di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dengan upah yang kurang lebih masih di angka 2 juta-an.

Maka dengan gaji 2 jutaan dihadapkan dengan naiknya kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng dan lain sebagainya termasuk kebutuhan akan hunian itu sendiri.

Mungkinkah kita semua bisa hidup tenang di kala pendapatan stagnan dan semakin hari nilai tukar uang pada barang semakin tidak ada harganya? Yang di mana gaji sehari saja jika dipikir hanya cukup, bahan kurang dalam memenuhi kebutuhan ekonominya dan seperti apakah nanti yang akan terjadi di masa depan?

Upah yang tidak mencukupi

Saya yakin ini terjadi di setiap daerah dengan problematika pengupahan yang mengacu pada UMK masing-masing. 

DKI Jakarta atau Karawang, Jawa Barat yang dikenal dengan UMK tertinggi mencapai 4,5 Juta rata-ratanya, jelas sebanding dengan kebutuhan harga-harga di sana termasuk dengan hunian yang juga pasti tinggi.

Sejauh ini, saya tidak dapat menjabarkan bagaimana situasi di kota besar di Jakarta atau Karawang misalnya, karena saya tidak berdomisili di sana. 

Namun dengan banyaknya permintaan akan persewaan hunian bagi pekerja migran atau naiknya permintaan perumahan bersubsidi di sana. Ada indikasi bahwa mungkin secara garis besar masalah utamanya sama di setiap wilayah, yang mana indikasi upah yang tak mencukupi bisa menjadi sebuah dalih.

ilustrasi: Pixabay.com
ilustrasi: Pixabay.com

Di Cilacap sendiri, yang mana saya tinggal di desa, akses kebutuhan sehari-hari memang relatif masih terjangkau dengan standar hidup orang-orang desa yang mungkin jika mau dijalani bisa dengan gaya hidup sederhana yang penting cukup.

Tetapi dengan barang-barang kebutuhan pokok yang sudah mahal, apakah kesederhanaan hidup dapat diatur sebagaimana di desa, yang mungkin dapat dibayangkan masih banyaknya sumber daya termasuk lahan pertanian yang tersedia?

Saya kira tidak sesederhana itu, kebutuhan pokok secara nasional rata-rata dapat dibayangkan jika itu memiliki selisih rata-rata sangatlah tipis. 

Harga telur 1 kg di Jakarta dan Cilacap per tanggal 16 Juni 2022 harganya selisih antara tujuh ratus hingga seribu rupiah, padahal upah minium perbedaannya antara Cilacap dan Jakarta bisa terpaut lima puluh persen.

Artinya jika hanya terpaut tipis, bisa dikatakan bahwa tidak ada yang namanya kebutuhan per daerah, tetapi dapat dikatakan semua kebutuhan berskala nasional antara desa dan kota dihadapkan kebutuhan sehari-hari nilainya sama, namun di dalam pengupahan sendiri ini sangat timpang.

Oleh sebab itu di desa, sesederhana apapun hidup jika memang tidak memiliki sumber daya, baik lahan pangannya sendiri maupun kebutuhan hunian sendiri, jelas situasinya akan lebih buruk kemiskinannya di banding warga kota.

Mungkin di kota seperti Jakarta dengan upah minimum yang tinggi, jika mereka sudah mempunyai hunian secara mandiri akan lebih baik daya beli ekonominya.

Tetapi jika belum dan masih sewa hunian, tetap saja kemiskinannya akan lebih baik dari orang desa seperti kabupaten Cilacap yang tidak punya hunian dan lahan pertanian tersendiri, yang mana upah di desa sangatlah minim beda dengan di kota Jakarta misalnya dalam mengakses kebutuhan sehari-hari, di mana secara kebutuhan pokok harga sudah standar nasional yang mana setiap darerah perbedaan harganya sangat tipis.

Generasi tak punya apa-apa

Dengan pertimbangan akses kebutuhan sehari-hari dengan upah yang minim di setiap daerah terhadap kebutuhan pokok sehari-hari dan hunian yang semakin tinggi dengan pendapatan yang tidak mengikuti akan menambah beban dalam setiap generasi di masa depan.

Saat ini tahun 2022 saja generasi milenial tidak di kota ataupun di desa, sama-sama sulit dalam mengakses kebutuhan akan hunian jika dilihat dari nilai pendapatan upah minimum yang didapat di samping untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Harga tanah saya kira ini dapat dibandingkan, yang mana antara di kota dan desa skemanya sama perbandingan variable nilai dengan upah minimum masing-masing.

Harga tanah di desa saat ini bukan tidak dapat terjangkau dengan upah minimum, tetapi nyaris tidak terjangkau yang artinya sangat sulit dengan upah 2 jutaan membeli tanah untuk hunian, yang belum termasuk bangunan hunian itu sendiri.

Rata-rata di desa saya di Desa Karangrena, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap harga tanah per 70 M2 dapat diakses mobil mencapai 50 juta, yang artinya untuk kebutuhan hunian sekitar 210 M2 berarti senilai 150 juta membeli tanahnya saja, belum dengan material bangunan, yang mungkin jika membangun rumah sederhana dengan tanah nilainya bisa 300 Jt.

Dengan UMK 2 Jutaan jika bisa menabung 1 juta saja per bulan, butuh berapa lama dapat mengakses kebutuhan rumah dan tanah di desa dengan nilai 300 juta?

Yang jelas lebih dari 20 tahun untuk dapat mengakses itu, dapat lebih jika setiap tahun harga tanah dan material bangunan naik, namun sudah dipastikan tidak ada harga barang atau jasa yang turun, pasti banyaknya permintaan dan sumber daya yang sedikit nilai kebutuhan akan terus naik.

Artinya hanya orang-orang kaya yang dapat mengakses atau membeli kebutuhan akan tanah dan hunian dengan nilai yang sudah terlalu tinggi bagi orang kelas menengah ke bawah. 

Maka dari itu ada istilah yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan tetap miskin karena harga sendiri memang tidak dapat terjangkau oleh semua.

Tentu ini sejalan dengan prediksi ekonomi di tahun 2030 oleh forum ekonomi dunia yang di dalamnya di isi oleh para miliader dan pemimpin dunia berdasarkan "great reset" mereka, yang mana "masyarakat dunia terdesain tidak akan memiliki apa-apa dan mereka diproyeksikan untuk tetap dapat bahagia".

Tidak memiliki apa-apa artinya dengan kebutuhan yang tidak dapat terakses seperti hunian dan sebagainya, ada indikasi ke depan orang-orang hanya mampu menyewa, yang mana ini sudah terjadi di dalam akses hunian tidak di kota maupun desa.

Saat ini kebutuhan akan sewa hunian meningkat di balik keluarga muda sangat sulit mengakses kebutuhan hunian yang tidak berimbang dengan upah. Saya kira ini terjadi berbarengan antara di desa bagi keluarga muda maupun kota untuk generasi milenial dan setelahnya.

Dan tentu didesain bahagia meski tak memiliki apa-apa yang mana masyarakat hanya mampu menyewa ke depannya untuk kebutuhan rumah tangga, itu semua dapat terdistorsi dari berbagai macam tren baik gaya hidup maupun kebutuhan-kebutuhan eksistensial lain yang dikaburkan oleh media saat ini.

Bukankah generasi Z saat ini dengan majunya teknologi, media dan juga gaya hidup mengikuti tren mengaburkan kebutuah dasar eksistensialnya sendiri dengan tidak peduli akan kepemilikan properti atau apapun tanda-tanda tersebut sudah terbaca?

Ini tentu menjadi penting bagaimana generasi sebelumnya dapat mewarisi hunian saja ke depan untuk keturunan generasi mereka sangat berarti dan bernilai sangat mahal, di mana yang menyebabkan itu tentu akses harga kebutuhan hunian yang semakin sulit terakses ke depan.

Maka pertanyaan dari semua itu di balik tingginya harga kebutuhan bagi hidup manusia ke depan, dan tidak berimbangnya dengan pendapatan akan upah, yang mana akan ada kesulitan dalam membeli sumber daya di masa depan baik lahan ataupun hunian.

Apakah hidup akan tenang jika tidak ada kepemilikan yang semuanya harus kita sewa termasuk sumber daya seperti lahan dan hunian? Ya tentu tidak bahkan cenderung mustahil.

Upah sedikit standar UMK untuk kebutuhan sewa hunian tentu akan menurunkan kualitas hidup terhadap akses kebutuhan sehari-hari yang mana tetap kemiskinan akan menghantui.

Mungkin kasusnya sama dengan sewa lahan pertanian di desa, mereka harus sewa lahan dengan nominal tertentu tetapi tidak ada kepastian hasil panen akan baik sedangkan harga sewa lahan sawah sudah tinggi, pupuk tinggi, harga jual panen masih rendah dan cenderung stagnan.

Sekali lagi pertanyaan saya, dengan tidak akan teraksesnya kepemilikan sumber daya ke depan oleh banyak manusia, apakah hidup manusia dapat tenang?

Mungkin "bahagia" iya, seperti saat ini generasi yang nyaman-nyaman saja joged bahagia di media sosial, tapi mereka tidak pernah berpikir kebutuhan dasar yang semakin berat diakses, pikirannya terdistorsi lebih dangkal hanya pemenuhan eksistensi gaya hidup sementara tanpa berpikir generasinya ke depan akan jadi seperti apa.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun