Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi Ekonomi Sulit, Gayanya Elit

28 Mei 2022   10:28 Diperbarui: 28 Mei 2022   22:42 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukankah lebih baik jika untuk membeli cat rambut untuk anak SD atau SMP untuk beli bulpoin atau buka tulis atau gambar mungkin bikin kreatif? Atau dengan pekerja-pekerja muda dan kebutuhan akan hunian, bukankah itu lebih penting di kejar dari pada gaya hidup populer dan glamor, yang mana itu bisa mengurangi potansi jadi tunawisma?

Berbagai persoalan hidup dijaman ini, nyatanya dijalani memang tidak mudah, yang pertama adalah kebutuhan dasar seperti tempat tinggal semakin sulit diakses dengan harga yang melambung tinggi. Kedua adalah tawaran akan konsumerisme hidup yang mengaburkan kebutuhan esensial, bahkan taruhannya adalah keadaan ekonomi yang pasti akan mengalami kesulitan di masa depan.

Pada realitanya ketika orang semakin membludak lahir ke bumi, sumber daya yang di kuasai oleh orang-orang yang punya duit, lalu apakah jaminan semua manusia bisa lepas dari ekonomi sulit? Maka masih relevankan ekonomi sulit gaya maunya elit dilakukan dan diterapkan sebagai gaya hidup?

Yang jelas, gaya hidup yang tidak perlu di era digital saat ini, tengah menjadi suatu yang justru di dahulukan bukan kebutuhan yang esensial bagai genrasi muda. Banyaknya manusia yang ada di bumi, juga mempengaruhi bagaimana kualitas hidup itu berlangsung yang mempengaruhi sector gaji.

Kita, anda atau saya pasti mengalami bagaimana Upah minimum lebih banyak diterima pekerja kini dari pada upah maksimum dan layak untuk mencukupi kebutuhan ini itu.

Yang mana nilainya sangat jauh membeli kebutuhan seperti hunian yang harganya dengan gaji 2 juta di daerah Jawa Tengah misalnya, harga rumah sudah menjadi 250-an juta. Bagaiamana itu cara berhemat nabung segitu kalau gak putar 34 kali itu otak?

Kini bagi kebanyakan masyarakat, imbas terlalu banyak jumlah penduduk, sudah pasti akan banyak pengkikisan sumber daya yang tersisa, itu jelas, warisan akn dibagi-bagi gak buat sendiri, ya kan?

Katakanlah sebuah kelurga yang memiliki nilai asset warisan 1 Milyard yang mempunyai 4 anak, dibagi nilainya 250 jt, bukankah itu hanya dapat mencukupi untuk membuat rumah saja?

Jika ia, bagaimanakah jika ia menikah dan mempunyai anak 2, bukankah sumber dayanya akan terus mengikis habis untuk mewarisi generasinya di masa mendatang jika tidak ada penambahan asset sewaku hidup?

Demikian, bukankah hidup beranak-pinak dan membandingkan sumber daya yang masih tersisa dibalik banyaknya jumlah penduduk, harga yang harus dibayar adalah bayang-bayang ekonomi sulit? Dan generasi kini akan tetap generasi sulit kedepan bagi kebanyakan yang hidupnya bergaji upah minimum apa lagi yang tidak pasti?

Sudah seharusnya kepekaan pada maslaah-masalah generasi baik gaya hidup, ekonomi dan lain sebagainya harus dikemas secara rapi dan terukur; termasuk bagaimana gaya hidup itu di maknai dengan mengejar kebuthan esensial hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun