"Berbagai persoalan hidup dijaman ini, nyatanya dijalani memang tidak mudah, yang pertama adalah kebutuhan dasar seperti tempat tinggal semakin sulit diakses dengan harga yang melambung tinggi, kedua adalah tawaran akan konsumerisme hidup yang mengaburkan kebutuhan esensial, bahkan taruhannya adalah keadaan ekonomi yang pasti akan mengalami kesulitan.".
Sebagai salah satu orang yang terlahir di masa-masa kejayaan era digital, gaya hidup yang rupa-rupa terasa sudah biasa saya lihat dengan anggapan yang tidak terkecuali termasuk; iya mungkin relita kehidupan saya sendiri yang dihadapkan pula pada bentuk yang rupa-rupa itu.
Memang sejak jaman saya sekolah dasar kurang lebih seingat saya sudah mencapai angka 20 tahun yang lalu, rambut anak-anak SD di warnai masih belum popular, setidaknya dulu jaman saya, tetapi sebagian anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah ada yang mewarnai rambut jika libur sekolah tiba.
Orang yang sangat menjunjung liberalism pribadi seperti saya, secara prespektif akan kehidupan saya tidaklah menyalahkan mau rambut itu diwarani, digunduli, atau dicukur "mohak" dengan model boster, corona, atau apalah itu bahkan jika itu dilakukan anak-anak.
Karena semua itu tidak bisa saya lawan sebagai fenomena-fenomena akan kebudayaan, perubahan hidup, dan tren-tren pada masanya, yang memang tentang hak pribadi seseorang yang wajib saya lakukan intervensinya hanya melihatnya saja dari kejahuan.
Praktiknya sih, "masih mungkin bisa mengkritik di dalam batin jika tidak mau konfrontasi, istilahnya hidup moderat begitu, bukan saja orang beragama saja yang mnginginkan bisa moderat hidup saya juga.
Tetapi kembali pada esesni, bukan semua itu yang mau di kritisi dan kritik dalam batin saya, karena tentu prespektif tentang pandangan hidup saya lain.
Iya, benar; bukan tentang gaya rambut anak-anak SD itu yang mulai ikut diwarnai kayak anak SMP di jaman sekarang ini, atau cerita nostalgia yang saya alami akan sebuah pemaknaan dari tren jaman atau kejayaaan budaya pada masanya yang rupa-rupa itu.
Namun gaya hidup yang terkadang tidak relevan itulah yang sebarnya ingin saya kritik, saya kritisi. Tapi, kembali ya; hanya sebatas kapasitas batin saya, tidak mau menjalar kaya ubi jalar dipelataran rumah yang ditunggu panen serasa lambat banget menjalar-jalar tanpa di sadari waktunya.
Mohon dimalumi saja ketika suara batin ini ditulis dalam mengkritik dan mengkritisi, ya kali saya kan mengaku penulis, jadi kalau gak nulis bukan penulis dong? Ini bagian dari kesadaran dari realism hidup bersosial.
Jadi ya dibebaskan saja ketika saya menulis terlalu forntal dan mengkritik habis pandangan-pandangan hidup yang biasa-biasa itu dan dipastikan jika saya menyinggung itu halus tidak kasar-kasar amat kaya yang disana-sana.
Gaya Hidup dan Perubahan
Sebab, iya betul, dengan tegas saya ingin sampaikan semua bentuk hidup adalah perubahan itu, mana bisa ditampik sih, umur saja terus bertambah?
Tren bagaimana anak SD yang kini sudah ikut-ikutan anak SMP pada jamannya mewarani rambut; sudah sama-sama dilakukan sebagai budaya baru ketika libur sekolah itu sudah menjadi kenyataan bukan ilusi.
Ya meski, orang tua tetap menjadi pihak yang terus menerus dirugian secara material tentang adanya gaya hidup anak yang membuat boros dan ada-ada saja itu, yang ingin mereka beli termasuk pewarna rambut, yang mana bila di cat merah harus beli kembali yang hitam; kalau anak mau masuk sekolah.
Begitupun gaya hidup-gaya hidup lain yang mana gaya rambut itu sebagai sebuah contoh. Gaya hidup popular kini sudah mulai bertrasformasi bagi anak-anak muda zaman sekarang yang telah banyak dari mereka kehilangan esensi hidupnya sendiri, itu sih katanya; yang mengaung "quarter life crisis itu lho".
Tidak mampu beli tetapi dipaksakan membeli sebagai gaya hidup, ditambah yang dibeli itu untuk memenuhi tren seperti cat rambut untuk anak SD itu, belum mampu beli sendiri tapi maksa orang tua.
Dengan berbagai realitanya anak muda yang terus-terus mengikuti mode hidup kekinian adalah langkah yang ditempuh pada hidup masing-masing, yang mungkin saja terkontaminasi pada kehidupan masa lalu di masa kecil, yang menyederhanakan hidup tanpa tau mana yang kebutuhan mana yang keinginan fana sebauah tren yang tiada gunannya.
"Karena kembali setiap bentuk keinginan ada harga yang dibayar dalam memenuhi gaya hidup, termasuk generasi muda kini yang tidak tahu dan tidak mampu membedakan mana kebutuhan mendasar dan mana kebutuhan yang iseng-iseng saja" .
Ekonomi Sulit Gaya Elit
Sebagai contoh, anak-anak muda yang sudah bekerja kini, yang melek apa itu tren seperti adanya kebutuhan untuk nongkrong, liburan ala-ala seleb, dan juga melek dengan model-model pakaian yang bermerk, menjadi masalah tersendiri sama halnya anak SD beli cat rambut yang tidak paham kegunaannya itu.
Bukankah lebih baik jika untuk membeli cat rambut untuk anak SD atau SMP untuk beli bulpoin atau buka tulis atau gambar mungkin bikin kreatif? Atau dengan pekerja-pekerja muda dan kebutuhan akan hunian, bukankah itu lebih penting di kejar dari pada gaya hidup populer dan glamor, yang mana itu bisa mengurangi potansi jadi tunawisma?
Berbagai persoalan hidup dijaman ini, nyatanya dijalani memang tidak mudah, yang pertama adalah kebutuhan dasar seperti tempat tinggal semakin sulit diakses dengan harga yang melambung tinggi. Kedua adalah tawaran akan konsumerisme hidup yang mengaburkan kebutuhan esensial, bahkan taruhannya adalah keadaan ekonomi yang pasti akan mengalami kesulitan di masa depan.
Pada realitanya ketika orang semakin membludak lahir ke bumi, sumber daya yang di kuasai oleh orang-orang yang punya duit, lalu apakah jaminan semua manusia bisa lepas dari ekonomi sulit? Maka masih relevankan ekonomi sulit gaya maunya elit dilakukan dan diterapkan sebagai gaya hidup?
Yang jelas, gaya hidup yang tidak perlu di era digital saat ini, tengah menjadi suatu yang justru di dahulukan bukan kebutuhan yang esensial bagai genrasi muda. Banyaknya manusia yang ada di bumi, juga mempengaruhi bagaimana kualitas hidup itu berlangsung yang mempengaruhi sector gaji.
Kita, anda atau saya pasti mengalami bagaimana Upah minimum lebih banyak diterima pekerja kini dari pada upah maksimum dan layak untuk mencukupi kebutuhan ini itu.
Yang mana nilainya sangat jauh membeli kebutuhan seperti hunian yang harganya dengan gaji 2 juta di daerah Jawa Tengah misalnya, harga rumah sudah menjadi 250-an juta. Bagaiamana itu cara berhemat nabung segitu kalau gak putar 34 kali itu otak?
Kini bagi kebanyakan masyarakat, imbas terlalu banyak jumlah penduduk, sudah pasti akan banyak pengkikisan sumber daya yang tersisa, itu jelas, warisan akn dibagi-bagi gak buat sendiri, ya kan?
Katakanlah sebuah kelurga yang memiliki nilai asset warisan 1 Milyard yang mempunyai 4 anak, dibagi nilainya 250 jt, bukankah itu hanya dapat mencukupi untuk membuat rumah saja?
Jika ia, bagaimanakah jika ia menikah dan mempunyai anak 2, bukankah sumber dayanya akan terus mengikis habis untuk mewarisi generasinya di masa mendatang jika tidak ada penambahan asset sewaku hidup?
Demikian, bukankah hidup beranak-pinak dan membandingkan sumber daya yang masih tersisa dibalik banyaknya jumlah penduduk, harga yang harus dibayar adalah bayang-bayang ekonomi sulit? Dan generasi kini akan tetap generasi sulit kedepan bagi kebanyakan yang hidupnya bergaji upah minimum apa lagi yang tidak pasti?
Sudah seharusnya kepekaan pada maslaah-masalah generasi baik gaya hidup, ekonomi dan lain sebagainya harus dikemas secara rapi dan terukur; termasuk bagaimana gaya hidup itu di maknai dengan mengejar kebuthan esensial hidup.
Yang pasti menuruti gaya hidup jaminannya adalah lestarinya kemiskinan di masa yang akan datang setidaknya itu untuk generasi kebanyakan kelas menengah ke bawah dan atas yang tanggung, jika gaya hidup glamor dan elit terus dibudayakan, lalu tidak hemat juga menabung menjadi dasar mereka terus hidup. Sudah pasti calon generasi miskin itu bukanlah keniscayaan untuk terjadi di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H