Bukankah pendidikan tinggi sendiri adalah hal dari penyumbang terbesar orang-orang untuk tidak menikah secara dini? Majunya pendidikan berarti juga akan menjadi pioneer majunya pemikiran anak muda. Indonesia, dimana pendidikan tinggi saat ini, menjadikan tantangan anak muda untuk lebih baik mengejar sebuah karir terlebih dahulu diusia produktif mereka tidak peduli dengan gendernya. Apalagi bila itu terjadi diperkotaan, budaya anak muda sangat terasa adanya pergeseran dengan lebih mengutamakan karir.
Katakanlah usia seseorang dalam menuntaskan pendidikan sampai sarjana rata-rata umur 22 tahun, bukankah itu secara usia sendiri bila mereka mengejar sebuah karir? Menikah tentu akan menjadi sandungan yang nyata bagi mereka dan lebih memilih untuk menjadi lajang terlebih dahulu.
Menikah saat ini juga bukan perkara yang gampang diabad-21, dibutuhkan mapan secara ekonomi, mental dan factor-faktor lain yang mendukung sebuah pernikahan.
Maka kita lihat data yang ada. Pada 2020, mungkin juga karena pandemi, jumlah perceraian meningkat di seluruh dunia. Indonesia pun juga terkena dampak. Di beberapa tempat, jumlah perceraian melonjak tajam.
Pada Juni 2020, Pengadilan Agama Bandung mengalami krisis. Lebih dari 1000 pasangan mengajukan perceraian. Jumlah ini melonjak tajam. Biasanya, mereka hanya menerima sekitar 700 pengajuan cerai. (Jakarta Post, 25 Agustus 2020)
Banyak dari pasangan yang mengajukan cerai menggunakan alasan ekonomi sebagai dasar perpisahan. Â Karena banyaknya pengajuan cerai, para pekerja di Pengadilan Agama Bandung harus menutup kantor selama dua minggu. Hal serupa terjadi di Banten. Sekitar 2000 orang sudah mengajukan perceraian. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari biasanya.
Aceh dan Semarang juga mengalami lonjakan perceraian. Pada paruh tahun 2020, Pengadilan Agama Semarang sudah menerima 1586 pengajuan cerai. Lhokseumawe, Aceh, sudah menerima 315 pengajuan Cerai pada Juli 2020. Alasan yang diajukan serupa, yakni alasan ekonomi.
Selain ekonomi dan juga karir yang harus benar-benar mapan, kematangan mental seseorang dalam memandang pernikahan juga sangat ditentukan dengan beban untuk mengasuh anak dan probema social yang semakin berat dilalui termasuk semakin tingginya biaya membesarkan anak ditahun 2021 ini kedepan.
Menurut Riset yang pernah dilakukan Tirto.co. id. Setidaknya jika anda memiliki satu anak pada 2009 maka estimasi yang perlu dikeluarkan adalah Rp25.588.000 selama setahun, atau setara Rp2,13 juta per bulan. Angka itu diasumsikan bahwa anda tidak mengeluarkan uang untuk susu formula atau pendamping bayi.
Sementara untuk kelahiran 2016 angka yang harus anda keluarkan selama setahun sebesar Rp31.596.000 dengan asumsi yang sama. Lalu jika anda memiliki anak pada 2016, berapakah biaya yang harus dikeluarkan hingga anak itu bisa mandiri pada usia 21 tahun? Tim riset tirto.id memberikan estimasi biaya sebesar Rp2.945.102,750.
Angka itu didapat dari asumsi makanan merupakan makanan kebutuhan pokok tiga kali sehari, lantas biaya pendidikan yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan utama, kebutuhan tempat tinggal, transportasi, dan biaya kesehatan. Penyesuaian harga menggunakan rumus present/future value dengan interest rate: 2010-2015 menggunakan inflasi sementara 2015-2020 menggunakan inflasi forecast 2020: 3,81% (rata-rata 2015-2020).