Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Anugrah Kemalangan

20 Juli 2021   08:12 Diperbarui: 20 Juli 2021   08:13 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

Aku memang tidak lagi ingin bergeming. Tetapi saat aku dobrak pintu-pintu kemalanganku, seakan aku telah hilang menjadi abu yang tak akan kembali lagi.

Entah bagaimana arah angin itu akan tampil dihadapan wajahku. Seperti tongkok yang tak mau tegap menantang kehidupan malam dengan sedikit dingin dan awan kabut yang menyelimuti tubuhku.

Tentang anugrah kemalanganku, sudah aku kubur dalam-dalam, yang tak ingin aku keluarkan walau hari-hariku kini menjadi tenang dan dilumuti dengan kedamaian.

Tetapi apakah ketenangan dan lumut kedamaian ini akan selamanya? Mungkinkah manusia akan kekal dalam ketidak malangannya? Atukah kemalangan sendiri adalah bagian hidup yang harus terus akan dirasakan olehku dan banyak manusia disana?

Gembala-gembala kecil dari jiwa-jiwa yang terhimpit, ditengah nestapa penderitaan dan ilusi dari kebahagiaan rohani yag tersimpan didalam goa-goa kegelapan.

Petani-petani diujung desa sana dengan sedikit mengenal teknologi. Tak ubahnya jika ingin meracun ramput supaya mati, kenyataannya tentu rumput itu tidak sepenuhnya mati.

Dimana racun rumput tidak akan pernah membendung tumbuhan untuk tumbuh kembali sepertinya jiwa dalam bait rainkarnasi seperti apa yang tertuang dalam teologi dari negri hindustan itu.

Sepertinya sama dengan nasib manusia diantara kebahagiaan, kemalangan, dan kekalutan yang menjadi cerita tetap tentang hidup mereka yang kekal.

Apakah sama halnya sebuah kemalangan itu adalah kebahagiaan? Ataukah itu adalah kekalutan yang lahir dari sebuah kebosanan? Oh, yang tak aku sadari ini, jungkir balik narasi hidup yang riang tetapi tak sedikit pun membuat kegembiraaan yang kekal.

Obraolan yang kosong tetapi mengapa lebih menarik dari obrolan yang mendalam? Tentu kemedalaman obrolan yang khusuk adalah bagaiamana ia mengobrol dengan dirinya sendiri dan menganggap mengobrol dengan orang lain yang pada ujungnya membicarakan orang lainnya lagi merupakan sesuatu yang sia-sia.

Karena jauh dari angan ini yang ingin berbicara, aku ingin seperti pekatik-pekatik kuda yang janggal dalam mengayomi kuda-kudanya sendiri. Kuda itu seperti sebuah gambaran ilusi dari jiwa manusia, dimana ada kuda putih dan kuda hitam melambangkan jiwa manusia sendiri sebagai symbol.

Antara kebaikan dan kejahatan seperti gambaran warna yang terlitas dari kuda itu, apakah kita adalah bagian dari keduanya dimana jiwa kita terhubung pada jiwa-jiwa yang sama seperti yang terkandung dalam literasi tentang khazanah spiritual disana?

Sepertinya hidup adalah hal yang paling melelahkan, paling menjengkelkan dan hal yang paling dan harus benar-benar dihindari.

Mungkin ungkapan pada tahapan moksa menyatu dengan alam semseta menjadi cita-cita yang luhur dari manusia, tidak ingin lagi terikat dengan kehidupan yang terlalu fana ini dan dapat menggeruskan hati seperti layaknya hujan yang tak akan turun dimusim kemarau yang telah tiba dipertengahan bulan Juli.

Rasanya kegelapan semakin saja menggelap gulitakan relung hati yang tersimpan terlalu banyak penantian. Seperti seorang di sana yang menunggu jodoh dari hidupnya datang, mungkinkah sebuah penantian itu akan berlalu begitu saja?

Cerita dari teman yang menunggu jodohnya dimana dirinya sudah siap tetapi jodohnya belum datang juga seperti suatu pertanda bahwa waktu adalah hal yang paling sulit untuk disinkronisasi keberadaaannya, momentumnya, serta bentuk-bentuk pencapaiannya.

Justru yang sangat meletihkan sendiri tentang jodoh dari seorang manusia, mudah dikala hati belum siap, tetapi ketika siap, dihadapkan pada pertemuan yang sulit untuk diwujudkan.

Bagaimanakah ini, apakah penantian dalam kesiapan itu yang justru telah menodai sebuah pencarian akan jodoh bagi seorang manusia itu sendiri?

Rasanya sungguh sulit untuk dinalar, justru semua bentuk paradoxs ini, nyatanya menjadi nyanyian malam dari ruang tempat tidur yang mempertanyakan lagi dan lagi. Tempat tidur sepertinya merupakan tempat yang paling nyaman bagi manusia pencerita.

Tentu mereka bercerita pada imajinasi-imajinasi mereka sendiri yang justru mundur pada sebuah renungan kemalangannya hidup yang terbuai oleh tingkat ingin bahagia yang harus diraihnya.

Namun dalam kemalangan ini, kita sebenarnya tidak akan pernah sendiri. Banyak orang dengan nasib yang sama juga mengalaminya. Begitu bahagia pun tak selamanya dan hujan pun ada kalanya terang.

Tetapi tentang kebahagiaan, mungkinkah hanya terasa ketika kita melihat orang lain saja yang terkesan bahagia? Mungkinkah mereka benar-benar bahagia dalam mereka menjalani hidupnya?

Anugrah dari kemalangan ini memang akan aku lukiskan pada perasaan yang tentu sangat membosankan untuk ditulis. Sastra sebagai bagian dari curhatan yang tidak dapat dikesampingkan kasiatnya, bagai jamu-jamu kehidupan yang perlu dilakukan olehku malam ini melepas kegundahan hati.

Saat aku gelengkan kepalaku, anugrah kemalangan adalah anugrah bagi diri yang mempertanyakan semestanya. Lalu akupun seperti terbuai pada obyek diriku bersama persepsi kemalangan hidup, yang dimana pencarian pada bentuk-bentuk rasa bahagia sepertinya akan semakin jauh dirasa ketika kita mengharapkan kebahagiaan itu untuk datang.

Kini, disaat ini, malam-malam kita memang seperti bersembunyi dibalik jutaan bintang yang terbujur kaku ditengah langit. Tentang anugrah apapun harus disadari, secarik bahagia, kemalangan, dan kekalutan yang terbungkus rapi pemikiran manusia. Layaknya seorang yang tersesat dalam pencarian, ia akan menemukan gurun dengan air yang melegakan tenggorokan dikala anugrah dari semseta itu datang pada waktunya.

Dan tentang sebuah anugrah kemalangan itu adalah cara bagaimana semseta menunjukan bawasannya apapuan termasuk kemalangan akan ada jeda dan lawan dari sebuah kemalangan adalah kebahagiaan diri menuju yang tentram, nyaman, dan perasaan lega.

Rasanya akupun ingin terus menulis untuk melepaskan seperti aku melepas kemalanganku pada setiap harpan-harapanku yang tak mungkin orang lain dapat menjawabnya kecuali diriku sendiri.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun