Karena jauh dari angan ini yang ingin berbicara, aku ingin seperti pekatik-pekatik kuda yang janggal dalam mengayomi kuda-kudanya sendiri. Kuda itu seperti sebuah gambaran ilusi dari jiwa manusia, dimana ada kuda putih dan kuda hitam melambangkan jiwa manusia sendiri sebagai symbol.
Antara kebaikan dan kejahatan seperti gambaran warna yang terlitas dari kuda itu, apakah kita adalah bagian dari keduanya dimana jiwa kita terhubung pada jiwa-jiwa yang sama seperti yang terkandung dalam literasi tentang khazanah spiritual disana?
Sepertinya hidup adalah hal yang paling melelahkan, paling menjengkelkan dan hal yang paling dan harus benar-benar dihindari.
Mungkin ungkapan pada tahapan moksa menyatu dengan alam semseta menjadi cita-cita yang luhur dari manusia, tidak ingin lagi terikat dengan kehidupan yang terlalu fana ini dan dapat menggeruskan hati seperti layaknya hujan yang tak akan turun dimusim kemarau yang telah tiba dipertengahan bulan Juli.
Rasanya kegelapan semakin saja menggelap gulitakan relung hati yang tersimpan terlalu banyak penantian. Seperti seorang di sana yang menunggu jodoh dari hidupnya datang, mungkinkah sebuah penantian itu akan berlalu begitu saja?
Cerita dari teman yang menunggu jodohnya dimana dirinya sudah siap tetapi jodohnya belum datang juga seperti suatu pertanda bahwa waktu adalah hal yang paling sulit untuk disinkronisasi keberadaaannya, momentumnya, serta bentuk-bentuk pencapaiannya.
Justru yang sangat meletihkan sendiri tentang jodoh dari seorang manusia, mudah dikala hati belum siap, tetapi ketika siap, dihadapkan pada pertemuan yang sulit untuk diwujudkan.
Bagaimanakah ini, apakah penantian dalam kesiapan itu yang justru telah menodai sebuah pencarian akan jodoh bagi seorang manusia itu sendiri?
Rasanya sungguh sulit untuk dinalar, justru semua bentuk paradoxs ini, nyatanya menjadi nyanyian malam dari ruang tempat tidur yang mempertanyakan lagi dan lagi. Tempat tidur sepertinya merupakan tempat yang paling nyaman bagi manusia pencerita.
Tentu mereka bercerita pada imajinasi-imajinasi mereka sendiri yang justru mundur pada sebuah renungan kemalangannya hidup yang terbuai oleh tingkat ingin bahagia yang harus diraihnya.
Namun dalam kemalangan ini, kita sebenarnya tidak akan pernah sendiri. Banyak orang dengan nasib yang sama juga mengalaminya. Begitu bahagia pun tak selamanya dan hujan pun ada kalanya terang.